Akademisi Menilai Trawl Masih Jadi Masalah Ekosistem Laut

Beberapa kali trawl pernah dimodifikasi tapi tak berdampak

Medan, IDN Times - Amanatul Fadhullah atau akrab disapa Dila, selaku Akademisi atau Dosen Menejemen Sumber Daya Perairan dari Universitas Sumatera Utara, angkat bicara terkait permasalahan trawl di wilayah Sumatera Utara yang sampai saat ini masih berlanjut.

Menurutnya, permasalahan pukat harimau/pukat hela ini tidak selesai karena kembali hadirnya perizinan yang diperbolehkan alat tangkap trawl tersebut. Sehingga dampak yang terjadi dari alat tangkap yang tidak ramah lingkungan ini dapat mengganggu ekosistem perairan.

“Artinya adalah ikan yang ditangkap itu ikan yang dimana tidak selektif, seharusnya alat tangkap yang selektif itu ikan yang tertangkap ukurannya itu cukup 1 jenis ukuran dan juga 1 jenis spesies. Kalau hasil tangkapannya itu beragam spesiesnya pun banyak itu namanya selektifitasnya sangat tinggi,” ujarnya.

Diketahui, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan nomor 18 tahun 2021 tentang Penempatan Alat Oenangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas Serta Penataan Andon Penangkapan Ikan.

1. Alat tangkap trawl menyapu hingga ke dasar perairan

Akademisi Menilai Trawl Masih Jadi Masalah Ekosistem LautPolairud Polres Sergai berhasil menangkap dua kapal pukat trawl yang beroperasi di perairan Sergai, Kamis (12/8/2021)

Kemudian, trawl ini dinilai tidak ramah lingkungan karena adanya hasil tangkapan sampingan (bycatch).

“Jadi, ketika nelayan menangkap ikan itu lebih banyak hasil tangkapan yang terbuang yang tidak terpakai ketimbang hasil tangkapan yang utama. Contoh, yang disebut dengan hasil tangkapan yang tidak layak atau bycatch tadi ikannya belum cukup usianya untuk ditangkap,” ucapnya.

Hal ini menjadi sangat miris, saat ikan atau seafood yang masih melakukan pemijahan sudah masuk pada alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yakni trawl hingga mengakibatkan kerusakan habitat ekosistem.

“Nah, trawl sendiri. Kalau tetap beroperasi ya sampai sekarang masih akan merusak ekosistem. Kita lihat cara operasinya dengan dia menyapu dasar perairan kemudian hasil tangkapan pun banyak,” ucap Dila.

“Artinya dia juga mengambil wilayah nelayan tradisional, nelayan-nelayan kecil yang seharusnya dibatasi supaya ikan ini tetap berkelanjutan,” tambahnya.

Dila menjelaskan bahwa, alat tangkap trawl ini merupakan alat tangkap yang sangat meresahkan para nelayan kecil.

2. Beberapa kali trawl pernah diubah atau dimodifikasi tapi masih tidak berdampak pada nelayan kecil

Akademisi Menilai Trawl Masih Jadi Masalah Ekosistem LautPerjuangan nelayan tradisional melawan pukat trawl di Tanjung Balai (IDN Times/Indah Permata Sari)

Sementara, terkait modifikasi alat tangkap trawl ini sudah diubah menjadi cantrang berdasarkan ukuran lebih kecil dan pengoperasiannya ditengah atau middle tidak berdampak ke arah yang baik juga untuk para nelayan kecil.

“Faktanya, walaupun sudah di modifikasi itu dia ternyata dilapangan pun alat tangkapnya masih sangat besar. Jadi, walaupun dia sudah tidak disasar tapi dia masih tetap menangkap dengan jumlah yang sangat banyak dan juga tidak selektif tadi,” jelas Dila.

Selanjutnya, dimodifikasi lagi cantrang menjadi payang. Meskipun Payang di permukaan dan masih menggunakan penarikan manual dapat membantu untuk ekosistem karena tidak menyapu dan tidak di zona tengah (middle). Namun, ukurannya sangat besar.

“Baiknya kalau dibilang tidak ada trawl, Tidak. Kalau menurut saya, trawl itu sudah hapuskan selesai. Maksudnya memang dilarang kalau kita bicara solusi pemerintah kan katanya kan diberi modal, pengganti alat tangkap yang baru ya itu kan monggo. Tapi kalau misalnya saya bilang trawl no selesai, maksudnya jangan dipakai kembali,” harapnya.

Lanjutnya, jikapun sudah dilakukan beberapa kali modifikasi yang dianggap menjadi solusi tapi ternyata indikatornya masih menyapu kedasar laut, menggunakan kapal penarikan, ukurannya masih besar, kantong jaring berukuran kecil yang masih bisa akan menangkap semua jenis maka sebaiknya tidak usah dipakai lagi.

“Kalau menurut saya itu masih belum solusi, karena walaupun diatur daerah penangkapannya. Terus kemudian, kalau pun memang ada peraturan itu apakah yakin kalau itu terealisasi ketika memang dilapangan,” tuturnya.

3. Pihak pengawasan dan pelabuhan diminta untuk mencatat data ikan dan melakukan pengecekan lebih ketat

Akademisi Menilai Trawl Masih Jadi Masalah Ekosistem LautPerjuangan nelayan tradisional melawan pukat trawl di Tanjung Balai (IDN Times/Indah Permata Sari)

Jumlah hasil tangkapan juga seharusnya menjadi catatan pada pihak dari pengawasan dan pelabuhan dalam mendata ikan setiap harinya. Melakukan pengecekan mulai dari pemberangkatan sampai mereka kembali ke daratan.

“Kalau di selat malaka pelabuhannya itu adalah pelabuhan, misalnya di Sumatera ya pelabuhan kita kan pelabuhan perikanan ada Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) kemudian Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pelabuhan Pangkalan Pendaratan. Di Sumatera Utara itu ada Pelabuhan Perikanan Samudra Belawan,” sebut Dila.

Dila menilai bahwa, dari beberapa riset yang sudah dilakukan pendataannya masih kurang lengkap atau belum terlalu terbuka di Pelabuhan Perikanan.

Sedangkan, untuk permasalahan nelayan tradisional belum bisa maju atau meningkatkan ekonomi karena tidak memiliki modal untuk melakukan upgrade alat tangkapnya.

“Kalau menurut saya, nelayan tradisional ini mengkhawatirkan dalam hal belum adanya bentuk support dari Pemerintah yang betul-betul membantu mereka. Akhirnya hasil tangkapan yang didapat pun adalah ikan-ikan yang kurang berekonomis tinggi. Ketika dijual pun, mereka hanya menjual paling bisanya ke tetangga atau nelayan-nelayan kecil lagi. Mereka tidak sampai bisa mendapatkan pendapatan yang lebih karena ikan yang tertangkap bukan ikan hasil tangkapan yang ekonomis tinggi,” katanya.

4. Dampaknya terumbu karang banyak yang sudah mati dan lamun alami kerusakan

Akademisi Menilai Trawl Masih Jadi Masalah Ekosistem Lautilustrasi terumbu karang (unsplash.com/Francesco Ungaro)

Kondisi biota laut, Dila mengatakan bahwa berdasarkan riset terakhir yang dilakukan melalui data 5 tahun terakhir (tahun 2018) untuk ikan tembang di Belawan mengalami over fishing dilihat dari nilai potensi lestari dan upaya penangkapan lebih dari 100 persen atau over mencapai hingga 120 persen.

“Nah, kalau sudah melebihi itu seharusnya dikurangi upaya penangkapannya dengan mengurangi armada penangkapannya dibatasin sekian tonnya. Jadi, kalau misalnya berdasarkan data yang sudah diteliti ada beberapa kali itu memang untuk ikan pelagis ya khususnya memang over fishing,” jelasnya.

Sehingga, kondisi laut bisa dilihat dari ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem lamun tempat habitat mereka berlindung, tempat habitat memijah, hingga ikan yang ingin mencari makanan sudah sulit.

Menurutnya, berdasarkan penelitian dan riset kondisi terumbu karang banyak sekali yang sudah mati dan lamun mengalami kerusakan.

“Bisa karena faktor alat tangkap, bisa karena faktor iklim, alam dan juga ulah manusia juga bisa pencemaran antropogenic jadi misalnya kayak pembangunan-pembangunan yang dipinggir pantai. Limbah-limbahnya dilarikan ke laut itu akan merusak perairannya.

Faktor ini juga sebagian merupakan dari ulah manusia dan faktor penangkapan yang ilegal. Salah satu hal yang menjadi solusi untuk para nelayan tradisional adalah, pemasangan rumpon untuk melakukan penangkapan ikan.

5. Diharapkan pihak pengawasan peduli terhadap ekosistem laut sumber daya ikannya dan produksi ikan

Akademisi Menilai Trawl Masih Jadi Masalah Ekosistem LautIlustrasi ekosistem laut. (pexels.com/Hung Tran)

Selain alat tangkap trawl di wilayah Sumatera Utara, Dila menyebutkan ada bahan peledak yang menjadi ancaman.

Disebutkan Dila juga bahwa alat tangkap pukat purse seine, gillnet dan long line sejauh ini mereka tidak membahayakan lingkungan. Tapi bisa bisa menjadi alat tangkap yanh tidak ramah ketika ukuran mata jaringnya dimodifikasi yakni gilnet.

“Jadi ikan yang tertangkap itu bukan ikan yang seharusnya target utamanya. Yang seharusnya dia tangkap ikan tongkol tapi diganti jadi lebih kecil jadi tertangkaplah ikan pelagis yang seharusnya tidak boleh ditangkap juga,” jelasnya.

Dila menyebutkan alat tangkap trawl yang masih banyak beroperasi di perairan selat malaka seperti wilayah Serdang Bedagai (Sergai) dan Batubara. Kalau dilihat dari bahayanya alat tangkap trawl, menggunakan bantuan dua kapal yang masih ada di perairan 12 mil.

“Pengawasan saat ini kalau menurut saya masih belum pro terhadap ekosistem laut karena kalau saya ini bicara lebih memikirkan ada aspek perekonomian nelayan dan untuk keberlanjutan ekosistem laut,” katanya.

Diharapkan pengawasan bisa lebih ketat lagi dan benar-benar peduli terhadap ekosistem laut sumber daya ikannya dan produksi ikan.

“Dari pihak pengawasan pun mungkin ya masih kurang turun kelapangan, yang seharusnya dia memang didapatkan alat tangkap yang dilarang itu yang harusnya ditangkap. Supaya ada sifat jera bagi nelayan yang melakukannya tapi faktanya masih berulang dan tetap masih ada. Artinya dari pihak pengawasan pun tidak atau belum optimal untuk melakukan pengawasan,” pungkasnya.

Baca Juga: Dorong Lahirnya Penulis Baru, Obelia Publisher Bikin Cakap Asyik

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya