Di Balik Pemerasan hingga Teror Polisi terhadap Transpuan Medan

Empat polisi pemeras Rp50 juta belum dijerat pidana

Medan, IDN Times – Pendamping dua transpuan korban pemerasan polisi Rp50 juta, Deca dan Fury dari Lembaga Persatuan Transpuan Sumatera Utara (Petrasu) mengaku kecewa dengan proses penegakan hukum yang bergulir Polda Sumut. Empat polisi yang terbukti melakukan pemerasan, Ipda PGMS, Bripka AK, Brigadir DCBD, dan Briptu AS hanya di sidang etik, tidak dipecat, bahkan hingga kini belum dijerat pidana.

Pasca-menjalani Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) tertutup yang tidak boleh diliput jurnalis di Bidang Propam Polda Sumut, 11 Juli 2023, keempatnya kembali bertugas seperti biasa. Putusan sidang etik, keempatnya dinyatakan bersalah dan hanya mendapat hukuman demosi 4 tahun.

Kini kedua korban sudah pergi keluar kota agar merasa aman dan tidak mendapatkan teror. Bahkan sudah tidak bisa dihubungi lagi.

Rere, Ketua Persatuan Transpuan Sumatera Utara (Petrasu) mengakui saat ini pekerjaan sebagai Pekerja Seks (PS) di Indonesia masih belum menjadi pekerjaan yang legal di mata hukum. Menurutnya, tidak mudah menjalani profesi ini dan tidak semua orang bisa terjun ke profesi ini. Tetapi yang harus diingat, PS baik itu Pekerja Seks Perempuan (PSP) maupun PS Transpuan  adalah manusia, warga negara Indonesia yang memiliki hak asasi untuk dilindungi negara.

Terkait penegakan hukum, tambah Rere, Petrasu sangat menghormati etos kerja kepolisian. Namun Petrasu mengutuk keras tindakan polisi yang menjebak, memeras, mengintimidasi PS, dan cara-cara kotor lain untuk mendapat keuntungan pribadi.

“Harapan kami jangan sampai terjadi lagi pada teman-teman transpuan maupun PS dijebak, diperas, hanya karena teman-teman ini tidak paham hukum. Harapannya juga kepolisian harus bijaksana dalam merespon hal-hal tersebut, jangan sampai menggunakan kekuasaannya untuk mencari keuntungan,” ungkap Rere pada IDN Times, Selasa (7/11/2023).

Rere berharap polisi lebih bijak melihat persoalan itu di tengah masyarakat karena masih banyak permasalahan kriminal lain, bahkan tindak pidana korupsi yang lebih mendesak ditangani dibanding memeras PS.

Rere menyoroti Polda Sumut yang mengabaikan pemerasan atas tuduhan kepemilikan narkoba sejak awal pelaporan.

“Sangat miris melihat persoalan ini, karena mereka (polisi) seperti menjadi pemburu untuk menjebak dan memeras PS hanya demi mendapatkan keuntungan. Kemudian korban diintimidasi agar tidak berdaya. Kami sangat hormat dengan lembaga kepolisian, namun menyesalkan polisi yang punya niat jahat,” pungkasnya.

Di Balik Pemerasan hingga Teror Polisi terhadap Transpuan MedanTeatrikal KontraS Sumut pada Sabtu (26/6/2021). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sumut, Komisaris Besar Hadi Wahyudi mengatakan kasus pemerasan yang melibatkan 4 personel Polda Sumut sudah selesai.

“Ya, sudah selesai, silakan tanya ke LBH. Prinsipnya kami selalu membuka ruang dalam proses penyelesaian secara kekeluargaan,” jawab singkat Kombes Hadi Wahyudi saat diwawancarai IDN Times, 25 Oktober 2023.

Hadi tak mau merinci seperti apa “sudah selesai” yang dia maksudkan. Apakah sudah ada perdamaian antara pelaku dan korban atau sudah selesai proses hukumnya?

“Saya tanya dulu sama kamu, polisi aja bisa mendamaikan orang yang berseteru dengan cara kekeluargaan, kenapa (perseteruan dengan) polisi gak?” tambahnya.

Pengamat Hukum dari Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP), Quadi Azzam menilai upaya-upaya perdamaian dalam kasus pidana yang melibatkan aparat penegak hukum sangat berdampak buruk pada penegakan hukum. Selain itu, perdamaian bukan selalu berarti kasus itu selesai, melainkan menjadi salah satu pertimbangan untuk meringankan hukuman pelaku.

“Kepercayaan publik pada proses penegakan hukum akan semakin tergerus,” kata pria lulusan Universitas Negeri Medan ini..

Penelusuran IDN Times, kedua korban yakni Deca dan Fury ternyata  mencabut kewenangan kuasa hukum dari LBH Medan pada akhir September 2023. Bahkan, dua transpuan ini sudah ke luar kota pasca-mencabut kewenangan kuasa hukum pengacara LBH Medan.

Keduanya keluar kota karena dugaan desakan kebutuhan ekonomi. Saat berada di rumah aman selama tiga bulan mereka tidak bisa bekerja untuk menghidupi diri dan keluarganya. Akhirnya mereka memilih keluar dari rumah aman dan keluar kota supaya bisa bekerja lagi.

“Mereka tidak tahan dengan proses hukum yang berlarut-larut. Kami sudah coba menguatkan mereka untuk bertahan hingga proses pidananya selesai. Tapi ternyata tidak mau juga, ya sudah dan tidak mungkin kami larang mereka,” ujar Wakil Direktur LBH Medan, M. Alinafiah Matondang, 23 Oktober 2023.

Selama ini, sejak kasus pemerasan dilaporkan ke Propam Polda Sumut pada 23 Juni 2023, Deca dan Fury mendapat perlindungan di rumah aman. Aktivitas hingga komunikasi keduanya sangat dibatasi demi keamanan karena keduanya mendapatkan berbagai jenis teror. Di antaranya dijemput paksa ke kos untuk menghadiri pemeriksaan tanpa surat resmi serta mendapat telepon dari beberapa orang tak dikenal yang membujuk keduanya untuk berdamai saja serta menerima pengembalian uang Rp50 juta.

Atas dasar ini, Deca dan Fury setuju untuk pindah ke rumah aman karena kos mereka dianggap sudah tidak aman. Namun risiko yang mereka terima adalah tidak bisa lagi bekerja seperti biasa selama berada di rumah aman. Tanpa penghasilan tentu membuat Deca dan Fury terpojok.

“Sebenarnya sejak awal mereka sudah minta untuk berdamai saja agar uang Rp50 juta tersebut dikembalikan dan mereka bisa bebas tidak tinggal di rumah aman lagi. Tetapi berulang kali kami kuatkan dan kami yakinkan bahwa pelaku harus dihukum agar kasus serupa tidak menimpa orang lain, khususnya untuk rekan-rekan mereka,” terang Ali.

Menurutnya, kasus pemerasan yang menimpa transpuan dan pekerja seks yang melibatkan oknum polisi jamak terjadi dengan berbagai modus. Namun, jumlah uang diminta tidak terlalu besar sehingga para korban hanya datang ke LBH Medan untuk curhat, tetapi tidak ingin meneruskan permasalahannya ke proses hukum.

“Banyak yang mengadu ke sini (LBH Medan) diperas (polisi), ada yang Rp3 juta, Rp5 juta, karena jumlahnya gak terlalu besar dan mereka nggak mau dibawa ke proses hukum karena bakal panjang. Nah kali ini (Kasus Deca dan Fury) jumlahnya besarnya (Rp50 juta) makanya kita siap fight untuk membawa ini ke jalur hukum agar tidak ada lagi korban lainnya,” ungkap Ali.

Korban ternyata tidak sanggup melewati proses hukum yang amat panjang. Upaya perdamaian ini juga sudah berkali-kali dilakukan Polda Sumut. Bahkan saat konferensi pers penetapan tersangka, Polda Sumut mengundang kedua korban untuk menerima pengembalian uang pemerasan sebesar Rp50 juta. Namun hal itu ditolak oleh tim kuasa hukum agar proses hukum pidananya berlanjut.

Kepala Bidang Propam Polda Sumut, Kombes Dudung Adijono mengklaim upaya pengembalian uang berjalan karena dalam kasus apapun Polda selalu mengedepankan perdamaian.

"Kami tetap akan mengembalikan. Kewajiban kami karena barang buktinya ada di Propam, kami amankan. Kami berniat baik untuk mengembalikan. Jika kedua korban menolak, maka uang tersebut akan dijadikan barang bukti pidana. Kalau pelapor mau mencabut (laporan) itu tergantung mereka. Kalau mau diproses, berarti barang bukti diproses pidana (tidak dikembalikan sampai proses hukum selesai)," ujar Dudung.

Di Balik Pemerasan hingga Teror Polisi terhadap Transpuan MedanKasus pemerasan oleh oknum penegak hukum di Sumut (IDN Times/Sukma Mardya Shakti)

Direktur LBH Medan, Irvan Syahputra mengaku heran karena Polda Sumut melindungi personelnya dengan tidak meneruskan kasus ini ke persidangan. Padahal, dalam sidang etik jelas-jelas sudah ditetapkan bersalah.

"Putusan etik membuktikan bahwa empat personel polisi itu (Ipda PG, Bripka AK, Brigadir D, dan Briptu AS) terbukti melakukan pemerasan kepada Deca dan Fury. Sudah sepatutnya secara hukum Ditreskrimum Polda Sumut menetapkan empat personel itu sebagai tersangka dan melakukan penahanan," bebernya.

Perlakuan itu berbeda dengan 4 polisi yang bertugas di Polsek Medan Area bernama Bripka Jenli Damanik, Aiptu Jefri Panjaitan, Brigadir Akhiruddin Parinduri, dan Aiptu Arifin Lumbangaol. Mereka berempat divonis 6 bulan penjara oleh hakim pengadilan Negeri Medan karena memeras warga Rp50 juta pada tahun 2019.

Bripka Panca Karsa Simanjuntak, personel Polsek Delitua juga dijatuhi vonis penjara 4 bulan pada 15 Maret 2022. Hakim PN Medan Bambang Joko Winarno mengatakan Panca terbukti melakukan pemerasan sebesar Rp200 ribu terhadap seorang mahasiswi dengan modus tilang di Jalan Dr Mansyur Medan pada tanggal 11 November 2021.

Kejaksaan juga menunjukkan langkah tegasnya kepada personelnya yang melanggar hukum. Baru-baru ini, Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejati Sumut juga memecat seorang jaksa berinisial EKT karena memeras guru SD di Batu Bara sebesar Rp80 juta. Kini, EKT hanya pegawai PNS biasa dan tidak bisa bersidang lagi.

Berdasarkan data yang dihimpun IDN Times dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Medan, sejak Januari 2012 hingga September 2023, ada 266 perkara pemerasan oleh sipil, polisi, dan pejabat yang pernah disidangkan. Hukuman beragam, dari 6 bulan hingga lebih dari 4 tahun.

Lantas mengapa perlakuan berbeda diterima oleh personel Polda Sumut, Ipda PGMS, Bripka AK, Brigadir DCBD dan Briptu AS yang telah terbukti memeras dua transpuan sebesar Rp50 juta? Apakah transpuan tidak dianggap sebagai warga negara?

Dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) Bidang Propam Polda Sumut pada 11 Juli 2023, keempatnya hanya wajib meminta maaf secara tertulis kepada Pimpinan Polri dan kepada pihak yang dirugikan.

"Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP dan secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan. Lalu kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan rohani, mental dan pengetahuan profesi selama 1 bulan," terang Hadi.

Irvan menyebut putusan komisi etik yang hanya memberi demosi adalah bentuk pembelaan institusi Polri terhadap anggotanya yang bermasalah. 

“Seharusnya Komisi etik polda sumut menjatuhkan putusan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH),” kata Irvan Syaputra. 

Menurut Irvan, dugaan rekayasa kasus dan pemerasan yang dilakukan di Markas Polda Sumut termasuk pelanggaran berat. Mereka juga melanggar etika kelembagaan, pribadi dan kemasyarakatan. Apalagi, satu dari tiga terduga pelaku juga berstatus sebagai perwira.  

“Perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja dan terdapat kepentingan pribadi dan/atau pihak lain. Kedua, adanya permufakatan jahat. Ketiga, berdampak terhadap keluarga, masyarakat, institusi dan/atau menimbulkan akibat hukum, Keempat, menjadi perhatian publik (Viral). Kelima, melakukan tindak pidana,” ungkapya. 

Ia juga mendorong perkara pidana rekayasa kasus dan pemerasan itu terus diproses di kepolisian.

“Jika hal tersebut tidak dilakuan (Polda Sumut) maka sudah seharusnya perkara ini diambil alih Mabes Polri. Guna terciptanya keadilan dan kepastian hukum terhadap masyarakat khususnya korban,” tegas Irvan.

Di Balik Pemerasan hingga Teror Polisi terhadap Transpuan MedanKUHP tindak pemerasan dan pengancaman (IDN Times/Sukma Mardya Shakti)

Quadi Azam memaparkan ada tiga prinsip dalam hukum pidana. Pertama, perdamaian itu tidak dapat dengan mudah menghilangkan persangkaan tindak pidana yang dilaporkan oleh korban atau keluarganya. Secara asas hukum pidana ‘tidak ada maaf untuk pelaku tindak pidana dan didahulukan kepentingan hukum bagi korban’.

“Mengapa demikian? Karena esensi dari tujuan hukum itu sendiri adalah keadilan, kepastian dan kebermanfaatan. Pencapain tujuan hukum harus memenuhi ketiga aspek sebagai tujuan hukum tersebut,” ujar dia.

Kedua, tambahnya, memang dalam perkembangan hukum, ada upaya untuk meminimalisasi pemidaan pada seseorang pelaku,  yakni dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Pendekatan ini dapat diterapkan jika ada pertimbangan yang sangat ketat, misalnya tindak pidana yang diadukan tergolong ringan dan korban telah dapat terpulihkan oleh pelaku di luar hukum dan lain-lain.

Namun jika pelakunya berasal dari aparat penegak hukum, tentu penerapan keadilan restoratif ini tidak pantas diterapkan begitu saja. Sumpah dan janji sebagai aparat penegak hukum itu berlapis dan menunjukkan berkomitmen tinggi.

“Jangan sampai pendekatan (restorative justice) ini malah berpotensi dimanfaatkan untuk membela atau melindungi pelaku tindak pidana,” tegas pria yang juga menjabat sebagai Koordinator SIKAP ini.

Ketiga, khusus bagi terduga pelaku yang berasal dari aparat penegak hukum, alangkah baiknya penerapan restoratif ini di arahkan ke peradilan. Ruang peradilan dijadikan sebagai ruang yang imparsial dan akuntabilitas untuk menguji seseorang pelaku dari aparat penegak hukum dapat atau tidaknya diterapkan keadilan restoratif.

“Jangan dibiarkan ada istilah jeruk memakan jeruk, kawan membela kawan walaupun belum tentu benar,” ungkapnya.

Terakhir, semua proses hukum harus terbuka dan transparan. Jika budaya perdamaian untuk pelaku aparat penegak hukum terus diterapkan, maka kepercayaan publik terhadap penegak hukum menjadi berkurang. Selain itu, tidak memberi efek jera pada pelaku dan kejahatan serupa berpotensi berulang atau bahkan menginspirasi penegak hukum yang lain untuk melakukan hal yang sama.

“Kecurigaan-kecurigaan masyarakat akan semakin tinggi atau tingkat kepercayaan publik akan semakin rendah terhadap penegak hukum, ini berpotensi mendegradasi kualitas layanan dalam penegakan hukum,” pungkasnya.(*)

Kronologi pemerasan yang dialami Deca dan Fury

Di Balik Pemerasan hingga Teror Polisi terhadap Transpuan MedanKronologi pemerasan oleh 4 polisi yang bertugas di Polda Sumut (IDN Times/Sukma Mardya Shakti)

Kasus pemerasan diduga melibatkan 4 personel Polda Sumut terhadap dua WNI Transpuan yakni Deca dan Fury pada 19 Juni 2023. Lalu kasus itu dilaporkan kuasa hukum dari LBH Medan ke Polda Sumut dan diterima dengan nomor laporan STTLP/B/758/VI/2023/SPKT/ POLDA SUMUT pada 23 Juni 2023.

Saat konferensi pers di Kantor LBH Medan, 23 Juni 2023, Deca menceritakan kejadian bermula dari dirinya mendapat pesan singkat sekaligus melalui WhatsApp dari seorang laki-laki bernama Hans untuk melayani hasrat seksualnya.

Dia diminta melayani di sebuah hotel di kawasan Jalan Ringroad, Kota Medan, pada Senin 19 Juni 2023 lalu.

"Jadi di jam 19.11 WIB, aku dapat WhatsApp dibilang lu bisa open BO ST katanya, aku bilang bisa. Dia tanya tarif berapa terus," kata Deca.

Kemudian, laki-laki tadi meminta dirinya untuk mencarikan lagi satu orang temannya waria agar bisa berhubungan dengan dua waria sekaligus atau threesome.

Deca dijanjikan uang tambahan jika berhasil membawa seorang lagi teman warianya. Kemudian Deca pun menghubungi rekannya bernama Fury.

Lalu Fury datang ke indekos Deca, dan mereka berangkat ke hotel di kawasan Jalan Ringroad, Kota Medan.

Sesampainya ke hotel mereka langsung naik ke lantai 3 dan masuk ke kamar 301. Di dalam kamar ia dan rekannya langsung bertemu dengan laki-laki yang memesannya. Sebelum berhubungan badan mereka meminta uang yang dijanjikan. Lalu transaksi terjadi di kamar mandi.

Ketika selesai transaksi, dua waria ini mereka diminta membuka seluruh pakaiannya oleh pria bernama Hans.

Saat keduanya melepas pakaian dan hendak menggunakan pakaian jenis lingering ternyata pria tadi bergegas ke kamar mandi dengan alasan bersih-bersih. Tak lama kemudian tiba-tiba bel kamar berbunyi dan Hans yang berada di kamar mandi langsung buru-buru membuka pintu.

Begitu pintunya dibuka, ternyata ada sejumlah pria berpakaian preman yang diduga oknum polisi sekitar delapan orang.

"Di situ terjadi penggerebekan itu, nggak ada alasan apapun, mereka langsung nangkap kami. Ada sekitar delapan orang," bebernya.

Ketika itu, Deca mengungkapkan bahwa dirinya sempat memberontak dan mempertanyakan surat penangkapan terhadap dirinya dan temannya itu.

"Kami tanya mana surat penangkapan, cuma ditunjukin kertas saja," ungkapnya.

Deca mengatakan, saat itu pria yang datang diduga oknum polisi itu melakukan pemeriksaan di kamar. Namun tiba-tiba pria bernama Hans tadi mengeluarkan benda yang diduga narkoba.

"Jadi tamu kami itu pura-pura ngeluarin bungkusan, langsung kami dibilang mau makai narkoba di hotel itu," katanya.

Singkat cerita, ketiganya dibawa menggunakan mobil ke Polda Sumut. Namun, mereka dibawa secara terpisah menggunakan dua unit mobil.

"Kami dibawa, handphone saya di tahan, dia nakut-nakutin aku dia bilang aku kena pasal perdagangan orang," ujarnya.

Disampaikan, tak lama mobil yang membawa itu pun tiba di Polda Sumut dan mereka dibawa langsung ke sebuah ruangan di sana. Namun sejak saat Hans tidak pernah terlihat lagi oleh Deca dan Fury.

"Sampai di Polda, kami (berdua) diinterogasi mereka memaksa aku buka rekeningku. Kami diperiksa di sana, dia ngomong gol ini," bebernya.

Selama ditahan, Deca dan Fury ditawarkan untuk berdamai dengan catatan harus membayar Rp100 juta. Deca akhirnya hanya menyanggupi Rp50 juta sebagai DP perdamaian. Setelah transfer dilakukan, Deca dan Fury dibebaskan. Sedangkan Hans tidak diketahui kabarnya hingga saat ini.

Karena merasa jadi korban rekayasa penangkapan dan intimidasi oleh polisi di markas Polda Sumut, Deca dan Fury meminta pendampingan hukum ke LBH Medan. Sebanyak 8 polisi dilaporkan LBH Medan ke Polda Sumut atas kasus pemerasan dan rekayasa kasus. Namun, SPKT Polda Sumut hanya menerima laporan soal dugaan pemerasan saja dan menetapkan 4 tersangka.

Hingga kini, kasusnya seperti menguap begitu saja. Keempat pelaku hanya disidang etik  dan bebas dari jerat hukum pidana.

 

*Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #RawatHakDasarKita oleh 6 media massa di Pulau Sumatera dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).

Baca Juga: Lara Aspal, Cerita Kapal Kandas yang Bikin Nelayan Nias Menderita

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya