Begini Pola-pola Mafia Dalam Merampas Tanah Milik Warga

Dialog publik memerangi praktik mafia tanah

Binjai, IDN Times - Koordinator Lapangan Pusat Forum Korban Mafia Tanah Indonesia (FKMTI), Alfan Arsyad, mengajak seluruh elemen masyarakat di Indonesia, khususnya para kaum terpelajar, untuk bersatu dan ikut serta berjuang memerangi berbagai praktik mafia tanah.

Seruan ini disampaikan Alfan Arsyad saat tampil sebagai salah satu pembicara dalam dialog publik bertajuk "Menyikapi Pola Penguasaan Korporasi Mafia Tanah dalam Merampas Tanah Masyarakat di Indonesia", yang digelar Satuan Mahasiswa dan Pelajar Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (SAPMA AMPI) dan FKMTI Warkop Falco Wira Waakita, Jalan Jawa, Kelurahan Damai, Kecamatan Binjai Utara, Kota Binjai, Sumatra Utara, Kamis (19/1/2023).

1. Praktik mafia tanah tumbuh dengan subur dipicu oleh aparatur pemerintah korup

Begini Pola-pola Mafia Dalam Merampas Tanah Milik WargaDialog publik memerangi praktik mafia tanah (IDN Times/ Bambang Suhandok)

Di hadapan para mahasiswa peserta dialog publik, kata dia, sengketa tanah berbeda dengan perampasan tanah. Sebab, sengketa tanah biasanya berkaitan dengan konflik antar ahli waris soal kepemilikan tanah. Sedangkan perampasan tanah ialah konflik pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan pemodal ataupun antara masyarakat dengan pemerintah.

Alfan Arsyad menjelaskan, mafia tanah sama bahayanya dengan mafia narkoba dan koruptor. Sebab dengan dukungan finansial yang besar, para mafia tanah memiliki kemampuan nyata untuk mengkriminalisasi dan mengadu domba masyarakat, terutama rakyat kecil.

Menariknya, praktik mafia tanah tumbuh dengan subur di Indonesia karena dipicu perilaku aparatur pemerintah yang cenderung korup. "Sehingga tidak heran jika keadilan hukum masih sulit didapatkan masyarakat kecil saat mereka berhadapan dengan pihak yang mempunyai uang," terangnya.

Baca Juga: Sebelum Rumah Dilempar Molotov, Kades  Sempat Rusak Mesin Judi

2. Kinerja satgas pemberantasan mafia tanah tidak maksimal?

Begini Pola-pola Mafia Dalam Merampas Tanah Milik WargaSatgas yang terdiri dari unsur BPBD, Manggala Agni, TNI, Polri, Satpol PP, Damkar dan masyarakat bekerja sama untuk memadamkan titik api di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Jumat (30/7/2021). (Dok. BPBD Tanah Laut)

Diakui Alfan Arsyad, salah satu kasus yang saat ini menjadi perhatian pihaknya ialah dugaan kriminalisasi yang dialami Ketua Umum FKMTI, Supardi Kendi Budiardjo. Budiardjo menjadi korban paling nyata atas merajalelanya praktik mafia tanah di Indonesia.

Dalam kasus ini, tanah yang telah dibeli oleh Budiardjo di Cengkareng, Jakarta, pada 2006, justru dirampas oleh sebuah perusahaan swasta, karena mengklaim memiliki Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah terkait. Padahal Budiardjo memiliki dokumen yang lebih valid dan otentik.

Atas dasar itu dia meminta Pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Mafia Tanah, mengingat semakin banyak kasus perampasan lahan, kriminalisasi korban mafia tanah, dan pelanggaran hak azasi manusia terkait dengan konflik agraria, yang terjadi di Indonesia.

"Sebelumnya memang sudah ada dibentuk Satgas Pemberantasan Mafia Tanah. Tapi kinerjanya tidak maksimal. Bahkan banyak di antara anggotanya justru terindikasi terlibat dalam praktik mafia tanah," ujar Alfan Arsyad.

3. Ada empat penyebab utama terjadinya konflik pertanahan di Indonesia

Begini Pola-pola Mafia Dalam Merampas Tanah Milik WargaPemandangan kawasan hutan pinus Bulu Tanah di Dusun Bulu Tanah, Desa Mattampawalie, Kecamatan Lappariaja, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. (Instagram.com/mismoon0913)

Pembicaraan lainnya, Randa Faturrahman Hakim SH CPM, yang juga anggota Peradi Sumatera Utara, menyatakan, secara umum ada empat penyebab utama terjadinya konflik pertanahan di Indonesia.

Penyebab pertama ialah adanya kelalaian dari sang pemilik tanah karena tidak segera mendaftarkan tanah miliknya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini tentu saja membuka peluang bagi para mafia tanah maupun oknum pejabat pertanahan untuk mengajukan klaim atau menerbitkan sertifikat kepemilikan baru.

Penyebab kedua, sambung Randa, adanya upaya pendudukan secara sengaja oleh dua atau lebih pihak yang mengklaim kepemilikan satu objek tanah, sehingga menyebabkan terjadinya sertifikat kepemilikan ganda. "Biasanya kasus-kasus seperti ini muncul akibat  perselisihan dalam internal keluarga atau kerabat," ungkapnya.

4. Masyarakat harus lebih teliti dalam memeriksa seluruh dokumen pendukung tanah

Begini Pola-pola Mafia Dalam Merampas Tanah Milik WargaDokumen sporadik kepemilikan tanah milik warga di dalam area Sirkuit MotoGP Mandalika IDN Times/Ahmad Viqi Wahyu Rizki

Penyebab ketiga, lanjut Randa, berkaitan dengan ketidakcermatan pejabat pertanahan dalam memeriksa dokumen, terutama soal batas, luas, dan titik koordinat suatu objek tanah, yang kemudian memicu perselisihan.

Sedangkan penyebab keempat ialah perampasan atau pemaksaan klaim kepemilikan tanah oleh suatu pihak atas kepentingan tertentu, semisal dalam pengembangan perumahan, pemukiman, kawasan industri, pelaksanaan program pemerintah, dan lain sebagainya.

"Dengan banyaknya konflik yang dipicu perselisihan klaim kepemilikan tanah, maka hal ini diharapkan menjadi pelajaran penting bagi kita untuk lebih teliti dalam memeriksa seluruh dokumen pendukung, baik ketika hendak membeli atau mengurus sertifikat kepemilikan yang baru," seru Randa.

5. Munculnya konflik pertanahan merupakan bentuk ketidakmampuan pemerintah

Begini Pola-pola Mafia Dalam Merampas Tanah Milik WargaDialog publik memerangi praktik mafia tanah (IDN Times/ Bambang Suhandok)

Sementara itu, Aktivis HAM Medan, Effendi Sembiring, menyatakan munculnya konflik pertanahan merupakan bentuk ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan perselisihan atas klaim kepemilikan dan penguasaan tanah, serta adanya tumpang-tindih regulasi. Di sisi lain dia menyebut, tindakan propaganda antara dua atau lebih individu maupun kelompok masyarakat yang mengklaim kepemilikan tanah menjadi pola konflik yang paling umum ditetapkan para mafia tanah.

Bahkan untuk memperlancar tujuannya, para mafia tanah kerap memanfaatkan peran strategis aparatur pemerintah. "Makanya saya turut berpesan, jangan juga terlalu percaya dengan pihak-pihak yang kita anggap mampu menyelesaikan persoalan pertanahan, termasuk dengan keluarga sendiri," seru Effendi.

Kalaupun sampai terjadi kasus pelanggaran HAM berat akibat konflik pertanahan, dia meminta masyarakat tidak ragu mempublikasikannya di media massa atau melalui sosial. Sebab saat ini media sosial telah menjadi sarana komunikasi yang paling efektif.

Baca Juga: Gawat! Rumah Kepala Desa di Langkat Dilempar Bom Molotov

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya