TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Fenomena Anggota DPRD Gadai SK, Ongkos Politik Capai Rp5 Miliar

Kebanyakan para anggota dewan yang baru dilantik gadaikan SK

ilustrasi uang pinjaman hasil gadai (unsplash.com/Mufid Majnun)

Medan, IDN Times - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menggadaikan Surat Keputusan (SK) pengangkatan usai dilantik bukan hal yang baru terjadi. Hal ini dianggap bukan sesuatu yang tabu dikarenakan adanya kepentingan setiap orang yang pasti berbeda.

Pengajar Ilmu Politik USU, Dr Fernanda Putra Adela, S.Sos, MA menjelaskan hal ini merupakan fenomena yang sudah biasa terjadi. Perbankan secara tidak langsung mendukung terjadinya hal tersebut.

"Nah, terkait fenomena itu kalau saya melihat artinya ketika anggota DPR itu sudah dilantik mereka diberikan fasilitas gaji, sehingga pihak perbankan pun menganggap ini sebagai peluang kepada para anggota DPR untuk memberikan pinjaman dengan cara potong gaji," ucapnya kepada IDN Times, Jumat (13/9/2024).

1. Banyak anggota dewan menggadaikan SK karena perhelatan pemilu legislatif telah menguras isi dompet

Dia menilai banyaknya anggota dewan yang tertarik untuk menggadaikan SK dikarenakan perhelatan pemilu legislatif tentu saja menguras isi dompet mereka. Sehingga, mereka harus memiliki deposit atau Save Money. Maka, hal ini akan dibebankan kepada gaji mereka. Namun, tentunya gaji tersebut tidak bisa 100 persen dipotong terkait pinjaman dan akan ada sisa bagi dewan itu.

Dikatakannya, untuk wilayah Medan atau Sumut juga pernah mendengar terkait adanya anggota dewan yang menggadaikan SK usai dilantik dan dianggap sudah lazim.

Dia menilai para anggota DPRD yang menggadaikan SK merupakan anggota DPRD yang baru dilantik. Sedangkan anggota dewan yang lama apalagi diakhir masa periode, tinggal melunaskan utang bukan meminjam. Hal ini kan menjadi sasaran empuk bagi para bank.

"Nah, nanti pasca pelantikan DPRD Sumut atau Medan, saya berkeyakinan hal itu akan terjadi kredit ke pihak bank itu. Dan ini bukan suatu fenomena yang aneh sebenarnya karena bukan hanya di dewan tapi mungkin banyak di aparatur sipil negara juga yang karena kebutuhan itu akhirnya harus menggadaikan sk mereka kepada bank untuk mendapatkan dana segar," jelas pengamat politik ini.

Diketahui, sebanyak 50 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Medan terpilih periode 2024-2029 dijadwalkan dilantik pada 17 September 2024. Pada hari yang sama ada 100 anggota DPRD Sumut yang akan dilantik.

2. Ongkos untuk duduk menjadi anggota DPRD bisa mencapai Rp5 miliar

Terkait ongkos mereka untuk menjadi para anggota DPRD, menurut Fernanda tidak diketahui pasti berapa angka yang dikeluarkan. Namun,menurutnya jika melihat secara matematis sebelum menjadi anggota DPRD ini dipaksa mandiri untuk berkonstestasi dengan lawan-lawan politik yang lain. Sehingga, setiap daerah tentu akan berbeda jumlah pengeluarannya.

Menurutnya fenomena vote buying (pembelian suara) sudah menjadi suatu hal yang masif. Temuan di lapangan, hal ini yang memperberat amunisi atau Sumber Daya Ekonomi daripada caleg karena harus ada kekuatan dana antara legislatif.

"Kalau kita bisa bayangkan vote buying yang diberikan kepada masyarakat di dalam kontestasi yang itu menjadi suatu yang masif Rp50 ribu/ kepala kalikan saja misalnya jumlah yang dia sebar untuk memenangkan dia sebagai caleg," kata pria yang baru menyelesaikan pendidikan Doktor di Universitas Indonesia ini.

"Mungkin bisa taksirannya kalau untuk di kota bisa Rp1 miliar atau Rp1,5 miliar. Kalau tingkat DPD yang lebih banyak mungkin bisa sampai di Rp3 miliar hingga Rp5 miliar," tambah Fernanda.

Namun ia meyakini tidak semua Caleg melakukan hal yang seperti itu. Misalnya anggota legislatif atau caleg yang sudah mengakar di masyarakat, tokoh masyarakat, tokoh ormas, tokoh agama tidak melakukan vote buying kepada masyarakat. Kebutuhan finansialnya hanya bentuk sosialisasi misalnya dalam pertemuan kepada publik atau kemudian memasang baliho atau spanduk.

"Nah, itu mungkin kisarannya di bawah Rp1 miliar mungkin," tambahnya.

Salah satu faktor yang paling menguras isi dompet bagi para caleg adalah pembelian suara, yang sudah menjadi rahasia umum. Menurutnya yang paling menguras itu adalah perilaku caleg untuk vote buying itu pasti sangat besar sekali. Tapi kalau caleg tidak melakukan vote buying, mau berkampanye, mau memanfaatkan waktu door to door dan kemudian dia menolak sistem atau gaya vote buying itu tentu tidak akan besar biayanya untuk memenangkan kontestasi.

"Pertanyaannya sekarang, apakah caleg tersebut siap untuk kerja sosial kepada masyarakat sebelum dia terpilih? Artinya yang kita lihat selama ini, para caleg ini akan tampil pada momentum pemilu. Sebelum pemilu atau jauh hari pemilu, atau bahkan hari ini sudah selesai pemilu mereka juga banyak yang tidak kelihatan lagi di akar rumput atau masyarakat untuk membagi sembako, dan bersosialisasi apalagi caleg yang tidak terpilih, dan tim sukses yang bekerja juga harus dibayar," tuturnya.

Berita Terkini Lainnya