Sejarah Pulau Rempang, Tempat Para Prajurit Melayu Dilahirkan 

Pemerintah diminta tak merelokasi penduduk Pulau Rempang

Batam, IDN Times - Pulau Rempang yang terletak di sebelah tenggara Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) memiliki berbagai sejarah, dan menjadi monumen heroisme perlawanan terhadap para penjajah pada masanya.

Budayawan Melayu di Provinsi Kepri, Prof Abdul Malik mengatakan, konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang beberapa waktu lalu merupakan tamparan keras bagi pemerintah.

Pasalnya, pemerintah pusat dan daerah dinilai gagal dalam menjaga Pulau Rempang yang memiliki nilai-nilai sejarah perlawanan dari masa ke masa.

"Seharusnya pemerintah menghargai mereka (Masyarakat asli Pulau Rempang) karena ini merupakan anak cucu prajurit Melayu terdahulu. Jauh sebelum masuknya Portugis, Belanda dan penjajah dari negara lainnya, mereka sudah menempati Pulau Rempang," kata Profesor Abdul Malik saat ditemui di Kota Tanjungpinang, Senin (4/12/2023).

1. Masyarakat Pulau Rempang adalah prajurit penjaga wilayah pesisir

Sejarah Pulau Rempang, Tempat Para Prajurit Melayu Dilahirkan Masyarakat Kampung Tua Pasir Merah Sembulang, Pulau Rempang saat beraktivitas di laut (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Profesor Abdul Malik menjelaskan, pesisir Pulau Rempang telah dihuni jauh sebelum masa Kesultanan Melayu Melaka abad ke-15.

Kawasan Pulau Rempang pada masa silam juga merupakan kawasan dari Kerajaan Bintan-Temasik pada abad ke-12 yang wilayahnya mencakup seluruh Kepri, Selatan Semenanjung Malaysia dan Singapura serta penduduknya tersebar di sepanjang wilayah pesisir.

Setelah usainya masa Kerajaan Bintan-Temasik, Kepulauan Riau berada di bawah pengaruh Kesultanan Melayu Malaka yang para rajanya adalah keturunan Kesultanan Bintan-Temasik. Menurutnya, sejak era Kesultanan Malaka orang melayu Rempang adalah prajurit yang gagah berani dan dipimpin oleh laksamana Hang Tuah dan selanjutnya laksamana Hang Nadim.

Prajurit-prajurit pesisir ini ditakuti oleh Portugis dan Belanda. Mereka juga disebut Celates oleh Portugis dan Slatter oleh Belanda atau disebut sebagai bajak laut.

Penyebaran para prajurit yang masif di wilayah pesisir ini bertujuan untuk mempermudah melakukan pengawalan dan memata-matai para musuh yang masuk ke wilayahnya.

"Masyarakat di Pulau Rempang ini sudah eksis jauh sebelum masuknya Portugis. Bahkan pada abad ke-15, masa kejayaan Kesultanan Malaka, para prajurit sudah tersebar ke wilayah Bintan, Pulau Rempang, Lingga hingga Natuna. Tujuannya untuk mempermudah kerajaan dalam memata-matai musuh yang melintasi perairannya," ujarnya.

Bahkan, setelah keberalihan Kesultanan Melayu Melaka dengan masuknya Kerajaan Riau Lingga, para prajurit di pesisir Pulau Rempang ini masih tetap eksis dari tahun ke tahun.

Tidak hanya itu, para prajurit yang tinggal di pesisir Pulau Rempang juga mendapati berbagai anugrah dari Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II, Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke-4.

Anugrah yang diberikan tersebut berupa hadiah surat tanah yang diberikan oleh kerajaan kepada para prajurit yang menempati di pesisir wilayah Pulau Rempang dan sekitarnya.

"Jadi sejak saat itu mereka sudah ditempatkan disitu dan yang hebat adalah kampung mereka itu merupakan anugrah atau hadiah dari Kerajaan Riau Lingga atas bakti para prajurit ini kepada kerajaan," ungkapnya.

Baca Juga: Polisi Limpahkan Berkas Perkara Kasus Hoaks Soal Pulau Rempang

2. Menangi peperangan, Belanda minta surat tanah para prajurit pesisir kerajaan Melayu digantikan

Sejarah Pulau Rempang, Tempat Para Prajurit Melayu Dilahirkan Pemukiman masyarakat Kampung Tua Pasir Panjang, Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Runtuhnya Kesultanan Riau Lingga oleh Belanda pada tahun 1913 menyebabkan adanya berbagai perubahan kebijakan kepada seluruh rakyat yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Riau Lingga.

Salah satu kebijakan yang diperotes para prajurit Melayu pesisir ini adalah perubahan syarat tanah yang diberikan kerajaan Malaka dan Riau Lingga, di mana surat tanah tersebut diminta untuk diubah atas nama kolonial Belanda.

"Belanda hanya memaksakan syarat tanah dari Sultan itu tidak boleh atas nama kerajaan lagi, melainkan harus atas nama Belanda. Saat itu warga setempat termasuk di Pulau Rempang melawan karena jika menerima, maka mereka secara langsung mengakui kedaulatan Belanda di negeri mereka. Itulah akibatnya mereka tidak ada surat-surat tanah karena dulu ya suratnya banyak yang sudah dikuasai Belanda," ujarnya.

3. Masyarakat asli Pulau Rempang tidak boleh dipindahkan

Sejarah Pulau Rempang, Tempat Para Prajurit Melayu Dilahirkan Seorang Masyarakat Kampung Tua Pasir Panjang sedang membawa Bunga Mayang dan Pulut Paha (IDN Times / Putra Gema Pamungkas)

Saat ini, Budaya Melayu di Pulau Rempang berada di ujung tanduk titik kehancuran setelah keasliannya dianulir pemerintah usai adanya rencana investasi bersekala jumbo.

Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam bekerjasama dengan pengembang swasta, PT Makmur Elok Graha (MEG) untuk mengelola kawasan Pulau Rempang sebagai proyek Rempang Eco City. Di dalam proyek ini, secara perdana PT MEG menggandeng Xinyi Glass Holdings Ltd, produsen kaca dan panel surya asal China.

Rencana investasi tahap awal di Pulau Rempang ini, Xinyi Glass akan menggelontorkan investasi sebesar Rp178 triliun. Investasi ini juga akan menghasilkan investasi sebesar Rp381 triliun pada tahun 2080 mendatang.

Di dalam tahapannya, terdapat penolakan dari masyarakat asli Pulau Rempang dan gejolak pertama pecah pada 7 September 2023 lalu. Pecahnya aksi penolakan ini terjadi ketika BP Batam bersama para personel yang dipersenjatai memaksa memasuki wilayah Pulau Rempang. Masyarakat kalah saat itu, 12 orang diamankan pihak kepolisian.

Selanjutnya, gerakan lebih besar terjadi pada 11 September 2023 lalu, di mana saat itu ribuan para pendukung dari berbagai penjuru Indonesia memusatkan perhatiannya atas kasus agraria yang terjadi di Pulau Rempang.

Saat itu, ribuan massa aksi solidaritas untuk Rempang melakukan aksi penolakan di depan gedung BP Batam, Kota Batam. Massa aksi tidak bisa dibendung dan pengerusakan gedung BP Batam oleh massa susupan terjadi.

Pihak kepolisian tidak tinggal diam, menggunakan peralatan lengkap pihaknya melakukan pukul mundur massa aksi dan diakhiri dengan ditangkapnya 35 massa aksi. Total 42 orang diamankan dan proses hukumnya berjalan hingga saat ini. 

Profesor Abdul Malik menilai, langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk memaksa masyarakat Pulau Rempang menerima investasi ini adalah suatu kejahatan yang serius.

"Tidak tau saya apa itu kriminal kalau mempertahankan kampung halamannya, bagi saya manusiawi jika setiap orang mempertahankan rumahnya. Yang sangat kita miris itu adalah, ini kan di bangsa kita sendiri yang menurut dari kajian-kajian saya selama ini, Belanda saja dahulu tidak melakukan hal-hal seperti ini. Kelebihan Belanda itu menjajah kita tapi tidak menggusur orang-orang," lanjutnya.

Agar investasi ini dapat terus berjalan, ia menilai agar pemerintah tidak melakukan relokasi terhadap masyarakat setempat, melainkan dapat memperdayakan masyarakat untuk kembali mengedepankan nilai-nilai sejarah budaya.

Dengan masuknya investasi yang besar dan nilai budaya yang istimewa, Pulau Rempang dinilai kedepannya akan menjadi lokasi investasi yang baik dengan mengedepankan nilai-nilai sejarah masyarakat setempat.

"Jadi jangan dipindahkan. Biarkan mereka (masyarakat) tetap berada di kampungnya dan investasi berjalan secara berdampingan. Pemerintah dapat memperdayakan masyarakat setempat melalui pariwisata yang kaya akan budaya, seperti di Jogja," tutupnya.

Baca Juga: Kejari Batam Terima Berkas Perkara 42 Tersangka Demo Rempang

Putra Gema Pamungkas Photo Community Writer Putra Gema Pamungkas

🛵🛵🛵

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya