Vonis Nanta Penjual Orangutan Ringan, FOKUS: Pertimbangan Hakim Keliru

Nanta sudah pernah masuk bui kasus perdagangan satwa

Medan, IDN Times – Vonis satu tahun enam bulan yang menjerat Nanta Agustia, penjual orangutan di Kota Langsa, Aceh mendapat kritikan dari pegiat konservasi. Vonis itu dinilai tidak berpihak pada keadilan ekologi. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Nanta dengan hukuman dua tahun enam bulan penjara.

Forum Konservasi Orangutan Sumatra (FOKUS) juga mengkritisi pertimbangan hakim. Dalam persidangan yang dipimpin langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Langsa Dini Damayanti, disebutkan barang bukti orangutan yang masih hidup jadi faktor pertimbangan meringankan hukuman Nanta.

“Pertimbangan hakim keliru. Majelis hakim mengabaikan fakta bahwa orangutan memiliki peran penting di dalam habitatnya. Anak orangutan memiliki perilaku akan hidup bersama induknya pada periode yang panjang. Dalam beberapa kasus perburuan, untuk mendapatkan anak orangutan biasanya pemburu akan melukai atau bahkan membunuh induknya. Ini menjadi kerugian ekologi yang tidak terhingga jumlahnya,” kata Ketua FOKUS Indra Kurnia, Jumat (3/11/2023).

1. Majelis hakim juga mengabaikan kasus yang menjerat Nanta sebelumnya

Vonis Nanta Penjual Orangutan Ringan, FOKUS: Pertimbangan Hakim KeliruSalah satu karya bergambar orangutan yang mejeng di Peringatan Hari Orangutan Internasional 2023 yang digelar Centre For Orangutan Protection (COP) di Kota Medan, Sabtu (19/8/2023). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menjatuhjan hukuman satu tahun enam bulan untuk menghindari disparitas hukuman, yakni perbedaan putusan pemidanaan terhadap tindak pidana yang sama. Nanta diketahui pernah dihukum 18 bulan penjara karena kasus pernyelundupan tulang gajah.

Bagi FOKUS ini juga menjadi kekeliruan. Indra mengatakan majelis hakim justru seakan mengabaikan fakta tindak pidana sebelumnya.

“Jika Nanta mendapat efek jera, dia tidak akan mengulangi perbuatan setelah dihukum dalam kasus tulang gajah. Artinya, hukuman satu tahun enam bulan dalam kasus itu, tidak memberikan efek jera. Kenapa dalam kasus serupa, Nanta malah dihukum ringan. Bahkan jauh dari tuntutan jaksa,” kata Indra.

Baca Juga: Penjual Orangutan di Langsa Divonis 1,5 Tahun Penjara

2. Hakim harus melek soal keadilan ekologi

Vonis Nanta Penjual Orangutan Ringan, FOKUS: Pertimbangan Hakim KeliruOrangutan Sumatra betina berbagi makanan dengan anaknya. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Putusan ringan acapkali terjadi dalam kasus perdagangan orangutan. Begitu jauh dari keadilan ekologi. FOKUS berpendapat, sistem peradilan dalam kasus perdagangan satwa belum melek dengan keadilan ekologi.

Dalam kasus perdagangan, kerugian negara begitu besar. Misalnya, satu orangutan yang menjadi korban perdagangan akan memberikan dampak signifikan di habitatnya. Orangutan menjadi satwa yang dikenal sebagai petani hutan. Sehingga, jika satu saja orangutan ke luar, peran tersebut akan hilang. Tidak ada yang menyebarkan biji ke lantai hutan yang nantinya akan tumbuh menjadi pohon baru.

Orangutan juga punya periode perkembangbiakan yang lama. Setelah melahirkan, induk orangutan butuh waktu 6-8 tahun untuk bereproduksi kembali. Selama masa itu, dia akan merawat anaknya untuk bisa mandiri. Jika induk orangutan mati karena diburu, maka potensi penurunan populasi akan terjadi.

“Hakim juga harus mempertimbangkan, bukanlah hal mudah untuk merehabilitasi anak orangutan yang menjadi korban perdagangkan. Butuh biaya yang tidak sedikit untuk merehabilitasinya. Siapa yang akan menanggung biaya ini. Pastinya negara. Artinya ada kerugian negara yang cukup besar dalam kasus ini,” kata Indra.

Maraknya kasus perdagangan harusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE) dinilai sudah tidak relevan lagi digunakan. Karena, beleid tersebut hanya mengisyaratkan hukuman maksimal 5 tahun penjara bagi penaggarnya. Melihat kerugian yang ada, kata Indra, hukuman yang diterapkan harusnya lebih tinggi.

3. Nanta diduga terlibat dalam jejaring perdagangan satwa ilegal lintas negara

Vonis Nanta Penjual Orangutan Ringan, FOKUS: Pertimbangan Hakim KeliruSatu dari sembilan individu Orangutan Sumatra yang dipulangkan dari Malaysia dan tiba di Bandara Kualanamu, Deliserdang, Jumat (18/12/2020). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Nama Nanta memang sudah tidak asing di dunia perdagangan satwa dilindungi. Dalam persidangan sebelumnya, Nanta disebut terlibat dalam jaringan perdagangan satwa dilindungi lintas negara. Namanya pernah disebut dalam kasus Thomas Di Raider.

Thomas Di Raider terungkap dalam kasus tertangkapnya Eddy Alamsyah. Seorang laki-laki di Kota Binjai yang divonis 8 bulan penjara dan denda Rp100 juta karena perdagangan orangutan pada Januari 2022 lalu.

Eddy dijerat dengan Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 21 ayat (2) huruf a UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Dalam kasus Eddy juga terungkap nama Irawan Shia alias Min Hua. Seorang narapidana Rutan Klas II Pekanbaru Riau. Dia dipenjara setelah tertangkap menyelundupkan Empat bayi Singa Afrika, seekor anak leopard (Panthera pardus pardus) dan 58 kura-kura Indian Star (Geochelone elegans). Atas kejahatan ini, Min Hua diganjar empat tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider tiga bulan kurungan  oleh Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, Kamis (16/7/2020) lalu.

Dari dalam Rutan, Min Hua menyuruh Eddy agar membeli orangutan dari Thomas. Min Hua dan Thomas selama ini sudah berkomunikasi untuk dicarikan orangutan. Keduanya pun sepakat. Pada Senin (31/1/2022) malam, anak buah Eddy mengambil paket orangutan itu di Terminal Binjai. Pengakuan Min Hua, orangutan itu akan dijual kepada Jecsen. Koleganya yang ada di Malaysia. Thomas juga mengakui bahwa orangutan itu didapatnya dari Nanta.

Nanta juga dikenal cukup licin. Dia dudga sudah beberapa kali berhasil lolos dalam operasi penangkapan.

Baca Juga: Bolang Ditangkap, Perannya Otak Pelaku Perdagangan 2 Orangutan

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya