Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ketua YAMANTAB Damai Mendrofa (kanan) menunjukkan sajadah yang terbuat dari kemasan bekas minuman ringan. Bank Sampah YAMANTAB menghasilkan produk bernilai jual dari hasil pengelolaan sampah. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Tapanuli Tengah, IDN Times – Mayoritas orang akan menjawab dengan sampah jika ditanya soal kerusakan lingkungan. Sampah sudah terbenak menjadi polemik serius yang belum teratasi di Indonesia.

Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yang dilansir dari databoks.com, menunjukkan volume timbulan sampah di Indonesia pada 2022 mencapai 19,45 juta ton. Memang, angka ini turun dari tahun sebelumnya sebesar 37,52 persen.

Sisa makanan mengambil porsi paling besar dalam kontribusi sampah nasional dengan 41,55 persen. Disusul plastik dengan proporsi 18,55 persen. Sisanya sampah seperti kayu, kertas, logam, kain dan lainnya.

Berbagai upaya dilakukan untuk menangani sampah. Namun belum memberikan dampak signifikan menekan laju kerusakan lingkungan.

Yayasan Masyarakat Penjaga Pantai Barat (Yamantab) memberikan fokus serius pada pola penanganan sampah. Selama ini Yamantab terus menggalang gerakan pengelolaan sampah.

Ketua Yamantab Damai Mendrofa mengatakan, penanganan sampah harus mengedepankan prinsip pengelolaan yang baik. Bukan hanya dengan memindahkan sampah ke tempat lain dan diabaikan begitu saja, karena dianggap tidak bernilai.

“Pengelolaan sampah memang membutuhkan komitmen kuat dalam visi besar perubahan perilaku,” ujar Damai kepada IDN Times, Sabtu (23/9/2023).

1. Perubahan perilaku jadi kunci penting bertanggung jawab atas sampah

Bank Sampah YAMANTAB menghasilkan produk bernilai jual dari hasil pengelolaan sampah. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Selama ini, masyarakat acapkali menjadi pesalah karena dianggap tidak memiliki kesadaran akan sampah. Bagi Yamantab, hal ini adalah asumsi yang keliru.

Sebenarnya, masyarakat memiliki kesadaran akan dampak buruk sampah. Lebih jauh yang terjadi karena belum ada perubahan perilaku sehingga, masyarakat bisa bertanggungjawab dengan sampah yang dihasilkan.

“Misalnya, selama ini kita membersihkan sampah dari pekarangan rumah. Itu baik. Namun, ke mana sampah itu? Jika dia dibakar, dibuang, apalagi dibuang sembarangan misal ke parit, sungai, laut. maka itu yang disebut tidak bertanggungjawab,” katanya.

Bagi Damai, perubahan perilaku menjadi kunci penting. Memang, diakui dia, untuk merubah perilaku agar mengelola sampah bukan hal mudah. Namun jika bisa dilakukan, dampaknya akan terasa.

“Hal sederhana misalnya. Kita mengurangi penggunaan kemasan wadah sekali pakai dan menggantinya dengan yang bisa digunakan ulang. 

“Kemudian, membiasakan perilaku membeli sesuai kebutuhan, agar tidak semakin banyak potensi sampah yang dihasilkan,” ujar Damai.

2. Damai: berhentilah membuang sampah

Editorial Team

Tonton lebih seru di