Mengenal Buya HAMKA, Pahlawan yang Pernah Jadi Pemred Majalah di Medan

Buya HAMKA dipenjara karena dituduh pro-Malaysia

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa disingkat HAMKA, lahir pada 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dari pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah.

Nama Buya HAMKA mendadak viral di twitter pada 19 April 2023 lalu karena bertepatan dengan penayangan perdana film Buya HAMKA Vol. 1 di layar bioskop seluruh Indonesia.

Film ini menceritakan autobiografi Buya HAMKA sebagai pemimpin Muhammadiyah, pendakwah, penulis novel roman, sekaligus wartawan dan redaktur di media massa.

Ia kemudian mendapat tawaran sebagai Pemimpin Redaksi majalah Pedoman Masyarakat yang berada di Kota Medan. Akhirnya ia pindah dari Makassar ke Kota Medan.

Berikut profil Buya HAMKA, Tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas karena novel berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj dan Di Bawah Lindungan Ka'bah.

1. Lahir dari keluarga ulama

Mengenal Buya HAMKA, Pahlawan yang Pernah Jadi Pemred Majalah di Medaninstagram @buyahamkamovie

Hamka lahir dari pasangan Dr. H. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Siti Safiyah Binti Gelanggar. Ayahnya dikenal sebagai ulama pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau serta salah satu tokoh utama dari gerakan pembaharuan yang membawa reformasi Islam (kaum muda).

Nama Hamka sendiri merupakan akronim dari namanya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, sedangkan sebutan Buya adalah panggilan khas untuk orang Minangkabau. Kata Buya sebenarnya berasal dari kata abi, atau abuya dalam bahasa Arab yang berarti ayahku atau orang yang dihormati. 

Jika banyak tokoh berpengaruh yang bertahun-tahun menimba ilmu di sekolah formal, tidak demikian halnya dengan Hamka. Pendidikan formal yang ditempuhnya hanya sampai kelas dua Sekolah Dasar Maninjau.

Setelah itu, saat usianya menginjak 10 tahun, Hamka lebih memilih untuk mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah Islam yang didirikan ayahnya sekembalinya dari Makkah sekitar tahun 1906.

Di sekolah itu, Hamka mulai serius mempelajari agama Islam serta bahasa Arab. Sejak kecil Hamka memang dikenal sebagai anak yang haus akan ilmu. Selain di sekolah, ia juga menambah wawasannya di surau dan masjid dari sejumlah ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Pada tahun 1924, Hamka yang ketika itu masih remaja sempat berkunjung ke Pulau Jawa. Di sana ia banyak menimba ilmu pada pemimpin gerakan Islam Indonesia diantaranya Haji Omar Said Chakraminoto, Haji Fakharudin, Hadi Kesumo bahkan pada Rashid Sultan Mansur yang merupakan saudara iparnya sendiri.

Selanjutnya pada 1927, berbekal ilmu agama yang didapatnya dari berbagai tokoh Islam berpengaruh tadi, Hamka memulai karirnya sebagai Guru Agama di Perkebunan Tebingtinggi, Sumatera Utara.

Dua tahun kemudian, ia mengabdi di Padang masih sebagai Guru Agama. Masih di tahun yang sama, Hamka mendirikan Madrasah Mubalighin.

Bukan hanya dalam hal ilmu keagamaan, Hamka juga menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik.

Baca Juga: Mengenal Tengku Amir Hamzah, Pahlawan Asal Langkat yang Mati Dipancung

2. Pernah jadi wartawan, pemred hingga medianya dibredel

Mengenal Buya HAMKA, Pahlawan yang Pernah Jadi Pemred Majalah di MedanBuya Hamka (dok.alif.id)

Dikutip dari Tokohindonesia.com, Hamka pernah menekuni bidang jurnalistik dengan berkarir sebagai wartawan, penulis, editor dan penerbit sejak awal tahun 1920-an. Ia tercatat pernah menjadi wartawan berbagai surat kabar, yakni Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Pendiri Muhammadiyah 1912 Muhammadiyah.

Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dunia politik dengan menjadi anggota partai Ketua Sarekat Islam (SI) Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan Pendiri Muhammadiyah 1912 Muhammadiyah untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang.  Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953.

Pada tahun 1928 hingga 1932, Hamka pernah menjadi editor sekaligus penerbit dari dua media yang berbeda, yakni majalah Kemajuan Masyarakat yang terbit hanya beberapa nomor serta majalah al-Mahdi di Makassar.

Kemudian ia mendapat tawaran menjadi Pemimpin Redaksi atau hoofdredacteur majalah Pedoman Masyarakat di Kota Medan dan  Yunan Nasution sebagai redakturnya.

Pedoman Masyarakat adalah majalah keagamaan yang terbit di Medan dan kemudian menyebar ke seluruh Nusantara pada masa penjajahan Belanda di awal abad ke-20.

Pada masanya merupakan salah satu surat kabar dengan oplah tertinggi hingga 4.000 eksemplar. Majalah Pedoman Masyarakat didesain sebagai media dakwah dan kebudayaan Islam dengan motto "Memajukan pengetahuan dan peradaban berdasarkan Islam".

Buya Hamka dan Pedoman Masyarakat adalah dua hal yang saling berkaitan. Lewat majalah ini, Buya Hamka mengeluarkan pikiran hebat yang digemari para intelek di seluruh Nusantara. Beberapa karya Hamka yang terkenal dalam Pedoman Masyarakat antara lain adalah Tasawuf Modern dikumpulkan dalam rubrik Bahagia dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dari kumpulan cerita roman bersambung di rubrik Sastra.

Majalah Pedoman Masyarakat berfungsi untuk mencerdaskan anak bangsa dan mengobarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan bersama dengan majalah Islam lainnya seperti Panji Islam di Medan dan Adil di Solo.

Penerbitan dan penyebaran majalah Pedoman Masyarakat terhambat ketika Jepang masuk ke Indonesia khususnya kota Medan karena perhatian masyarakat Indonesia dialihkan untuk membantu Jepang berperang melawan sekutu. Penerbitan Pedoman Mayarakat terbengkalai dan akhirnya terhenti pada bulan Maret 1942.

Setelah kembali ke Padang Panjnag, bersama dengan KH Fakih Usman Hamka menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat pada Juli 1959. Majalah ini menitikberatkan soal-soal kebudayaan dan pengetahuan agama Islam.

Majalah ini kemudian dibredel pada 17 Agustus 1960 dengan alasan memuat karangan Dr Muhammad Hatta berjudul ‘Demokrasi Kita’, yang isinya mengkritik tajam konsep Demokrasi Terpimpin.

Majalah ini baru terbit kembali setelah Orde Lama tumbang, tepatnya pada 1967. Hamka sendiri dipercaya sebagai pimpinan umum majalah Panji Masyarakat hingga akhir hayatnya.

3. Dari Muhammadiyah hingga partai Masyumi

Mengenal Buya HAMKA, Pahlawan yang Pernah Jadi Pemred Majalah di Medaninstagram @buyhamkamovie

Di sela kegiatannya sebagai jurnalis, Hamka memulai kiprahnya di dunia politik dengan menjadi anggota partai Ketua Sarekat Islam (SI) Sarekat Islam pada tahun 1925. Di waktu yang hampir bersamaan, ia ikut mendirikan Pendiri Muhammadiyah 1912 untuk menentang khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di Padang Panjang.

Selanjutnya Hamka terlibat dalam kepengurusan organisasi Islam tersebut dari tahun 1928 hingga 1953. Mulai tahun 1928, ia mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Setahun kemudian, ia mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Pada 1931, ia menjabat sebagai konsul Muhammadiyah di Makassar.

Lima tahun berselang, usai menjabat sebagai Konsul Muhammadiyah, Hamka pindah ke Medan. Kemudian di tahun 1945, ia kembali ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Saat itulah, bakatnya sebagai pengarang mulai tumbuh.

Buku pertama yang dikarangnya berjudul Khathibul Ummah, yang kemudian disusul dengan sederet judul lain yakni Revolusi Fikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, Negara Islam, Sesudah Naskah Renville, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman, Dari Lembah Cita-Cita, Merdeka, Islam dan Demokrasi, Dilamun Ombak Masyarakat, dan Menunggu Beduk Berbunyi.

Saat perang revolusi, Hamka juga turut berjuang mengusir penjajah. Lewat pidato, ia mengobarkan semangat para pejuang untuk merebut kedaulatan negara. Dalam kisah perjuangannya, Hamka juga pernah ikut serta menentang kembalinya Belanda ke Indonesia dengan bergerilya di dalam hutan di Medan.

Selain didorong rasa cinta pada Tanah Air yang demikian besar, semangat perjuangan Hamka juga senantiasa berkobar tiap kali mengingat pesan ayahnya yang diucapkan ketika Muktamar Muhammadiyah tahun 1930 di Bukittinggi, “Ulama harus tampil ke muka masyarakat, memimpinnya menuju kebenaran.”

Pasca kemerdekaan, Konferensi Muhammadiyah memilih Hamka untuk menduduki posisi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto di tahun 1946.

Lalu pada 1947, ia menjabat sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional yang beranggotakan Chatib Sulaeman, Udin, Rangkayo Anggota DPA 1959-1965
Rasuna Said dan Karim Halim. Hamka juga mendapat amanat dari Proklamator, Wakil Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1956)
Mohammad Hatta untuk menjabat sebagai sekretaris Front Pertahanan Nasional.

Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pada tahun 1951-1960, Hamka mendapat mandat dari Menteri Agama Indonesia untuk duduk sebagai Pejabat Tinggi Agama.

Namun belakangan, ia lebih memilih untuk mengundurkan diri sebab pada waktu itu Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Presiden Soekarno memintanya memilih antara menjadi pegawai negeri atau berkiprah di dunia politik.

Pada tahun 1955, Hamka memang tercatat sebagai anggota konstituante Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan berpidato dalam Pemilu Raya di tahun yang sama. Meskipun pada akhirnya, partai yang didirikan di Yogyakarta pada 7 November 1945 itu dibubarkan Presiden Soekarno di awal tahun 1960.

Hamka kembali ke dunia pendidikan pada tahun 1957 setelah resmi diangkat menjadi dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang.

Karirnya sebagai pendidik terus menanjak, setelah ia terpilih sebagai rektor pada Perguruan Tinggi Islam, Jakarta, kemudian dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas Moestopo, Jakarta, dan Universitas Islam Indonesia.

Di samping sering memberi kuliah di berbagai perguruan tinggi, Hamka juga menyampaikan dakwahnya melalui Kuliah Subuh RRI Jakarta dan Mimbar Agama Islam TVRI yang diminati jutaan masyarakat Indonesia di masa itu.

4. Dipenjara karena dituduh pro-Malaysia

Mengenal Buya HAMKA, Pahlawan yang Pernah Jadi Pemred Majalah di MedanBuya Hamka (dok. Falcon Pictures / Buya Hamka)

Menjelang tumbangnya rezim Orde Lama, persisnya tahun 1964, Hamka pernah mendekam dipenjara selama dua tahun karena dituduh pro-Malaysia. Meski secara fisik ia terkurung, Hamka terus berkarya.

Jika kebanyakan orang usai menjalani hukuman sebagai tahanan politik lebih memilih untuk mengeluarkan buku kecaman terhadap rezim penguasa, tak demikian halnya dengan Hamka. Ia justru menghasilkan mahakarya yang membuat namanya tersohor hingga ke mancanegara, yakni tafsir Al Quran yang diberi nama Tafsir Al-Azhar, sesuai dengan nama masjid tempat Hamka selalu memberikan kuliah subuh.

Tafsir Al-Azhar yang berisi terjemahan Al-Quran sebanyak 30 juz lengkap itu merupakan satu-satunya Tafsir Al Qur’an yang ditulis oleh ulama melayu dengan gaya bahasa yang khas dan mudah dicerna. Diantara ratusan judul buku mengenai agama, sastra, filsafat, tasauf, politik, sejarah dan kebudayaan yang melegenda hingga hari ini, bisa dibilang Tafsir Al-Azhar adalah karya Hamka yang paling fenomenal.

Di samping dikenal sebagai ulama dan politisi berpengaruh, sejarah juga mencatat Hamka sebagai seorang sastrawan yang cerdas.

Dengan kemampuan bahasa Arabnya yang mumpuni, ia dapat mendalami karya para ulama dan pujangga besar asal Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Tak hanya itu, ia juga dapat meneliti karya sarjana Barat seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.

Hamka juga banyak menyampaikan pemikirannya tentang Islam lewat sejumlah bukunya yang antara lain berjudul Agama dan Perempuan, Pembela Islam, Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Mi’raj, dan masih banyak lagi.

Sementara dalam hal agama dan filsafat, Hamka juga mengarang beberapa buku yang diberi judul Tasauf Moderen, Falsafat Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Pedoman Muballigh Islam, dan lain-lain.

Tak hanya piawai menghasilkan karya yang bernafaskan Islam, Hamka juga cukup produktif menghasilkan beberapa karya sastra kreatif seperti novel, diantaranya Tenggelamnya Kapal Van Der Wickj , Merantau ke Deli, serta novel terbitan tahun 1936, Di Bawah Lindungan Ka’bah, yang telah dua kali diangkat dalam film layar lebar.

Karya-karya Hamka bahkan tidak hanya dipublikasikan oleh penerbit nasional sekelas Balai Pustaka dan Pustaka Bulan Bintang melainkan juga diterbitkan di beberapa negara Asia Tenggara bahkan dirilis di berbagai situs, blog dan media informasi lainnya.

5. Wafat dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional

Mengenal Buya HAMKA, Pahlawan yang Pernah Jadi Pemred Majalah di MedanFoto Buya Hamka (instagram.com/matapadi)

Pada tahun 1974, Hamka menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia dari pemerintah Malaysia melalui Perdana
Menteri Tun Abdul Razak sebagai bentuk penghargaan atas pemikiran dan sumbangsihnya dalam memajukan perkembangan agama Islam, serta kegigihannya dalam berdakwah terutama di tanah Melayu.

Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama RI Prof. Dr. Mukti Ali mempercayakan jabatan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Hamka. Berbagai pihak waktu itu sempat ragu apakah Hamka mampu menghadapi intervensi kebijakan pemerintah Orde Baru kepada umat Islam yang saat itu berlangsung dengan sangat massif.

Hamka rupanya berhasil menepis keraguan itu dengan memilih masjid Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI ketimbang harus berkantor di Masjid Istiqlal. Istilahnya yang terkenal waktu itu adalah kalau tidak hati-hati nasib ulama itu akan seperti kue bika, yakni bila MUI terpanggang dari atas (pemerintah) dan bawah (masyarakat) terlalu panas, maka situasinya akan menjadi sulit. Bahkan bukan tidak mungkin, MUI bisa mengalami kemunduran serius.

Pada 21 Mei 1981, Hamka meletakkan jabatan sebagai Ketua MUI. Dua bulan setelah pengunduran dirinya itu, Hamka dilarikan ke rumah sakit karena komplikasi penyakit kencing manis, gangguan jantung, radang paru-paru, dan gangguan pada pembuluh darah yang dideritanya.

Setelah tiga hari menjalani perawatan di ruang (ICU) RS Pusat Pertamina, Hamka akhirnya menghadap Sang Khalik di usia 73 tahun pada hari Jumat, 24 Juli 1981 pukul 10.41. Setelah disholatkan di Masjid Al-Azhar, jenazahnya kemudian dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta.

Akhir tahun 2007, sebuah panitia yang dibentuk oleh Universitas Prof Dr Hamka Jakarta telah menyelenggarakan beberapa kegiatan penting dalam rangka 100 tahun Buya Hamka di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan, salah satunya adalah meluncurkan buku 100 tahun Buya Hamka.

Buya Hamka ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 7 November 2011.

Itulah profil singkat seputar Buya HAMKA. Semoga lewat film autobiografinya yang sedang tayang di bioskop, generasi millennial bisa semakin mengenal sosok dan pemikiran Sang Pahlawan asal Minangkabau tersebut.

Baca Juga: Jangan Lupakan Sejarah! Ini 12 Sosok Pahlawan Nasional dari Sumut

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya