Cerita Jasinaloan Lestarikan Gordang Sambilan Sejak Kelas 4 SD
Generasi muda harus menjaga keberadaan Gordang Sambilan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Medan, IDN Times- Gordang Sambilan atau gendang sembilan adalah instrumen perkusi tradisional milik suku Mandailing yang unik. Disebut sebagai salah satu gendang terbesar di dunia, kesenian tradisional ini merupakan generasi ketiga dari tradisi musikal Mandailing yang memiliki nilai nilai kearifan tentang kehidupan manusia.
Gordang Sambilan merupakan generasi ketiga musik tradisional suku Mandailing yang mana sebelumnya ada Gordang Tano atau Gendang Tanah, dan Gondang Bulu atau Gendang Bambu.
Untuk menghasilkan bunyi irama yang merdu dan indah, Gordang Sambilan harus dibuat dengan kayu ingul yang telah berumur puluhan tahun dan dikerjakan secara manual. Gordang Sambilan memiliki irama yang sangat banyak seperti irama mamele begu memuliakan ruh orang yang meninggal dunia.
Ada juga irama alam seperti robana mosok, sampuara batu magulang dan irma udan potir. Dalam suku Mandailing Gordang Sambilan merupakan jati diri yang melekat mulai dari kelahiran sampai kematian.
Untuk itu pegiat seni, budayawan, dan penulis buku, Muhammad Bakhsan Parinduri atau lebih dikenal dengan Jasinaloan, terus melestarikan Gordang Sambilan, terutama pada generasi muda.
Baca Juga: 7 Alat Musik Tradisional Simalungun dan Cara Memainkannya
1. Sarana pemujaan roh leluhur
Dalam perkembangan awalnya, ensambel Gordang Sambil bukan musik, melainkan bagian dari ritual yang sakral yang digunakan sebagai rangkaian upacara, termasuk pemujaan terhadap Tuhan. dan penghargaan pada roh leluhur. Oleh karena sebelum mengenal agama Islam, etnik Mandailing sudah memiliki sistem kepercayaan terlebih dahulu yang dikenal dengan sistem kepercayaan Pamelebegu, yang artinya memuliakan ruh leluhur.
“Gordang Sambilan ini merupakan media untuk mendekatkan diri kepada penciptanya. Maka banyak irama irama gordang sambilan ini yang berhubungan itu (mitologi). Contoh ada irama gordang mamele begu, itu memuja nenek moyang. Gordang sibaso itu juga berhubungan dengan pemujaan, lebih 10 irama berhubungan dengan pemujaan. Setelah Islam kaffah (seluruhnya tanpa kecuali) di Mandailing, boleh dikatakan tidak digunakan lagi,” jelas Alumni Fakultas Budaya Universitas Sumatra Utara ini.
Baca Juga: Mengenal Upacara Adat Kematian Masyarakat Mandailing