Langit berubah jingga
Surya menembus celah Comulunimbus
Berpendar di atas Kaldera Toba
Semilir angin pun menambah rindu
Toba Samosir, Prayugo Utomo
Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB saat saya berada di Kecamatan Balige, Ibu Kota Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Saya bergegas, berkendara dengan sepeda motor. Menanjak ke arah Desa Lintong ni Huta. Tepatnya di Kecamatan Tampahan.
Kelokan khas perbukitan saya jajal. Beradu cepat dengan roda empat. Saling salip, hingga sepeda motor matik yang saya tunggangi bertemu persimpangan.
Simpang yang cukup sempit untuk dua mobil berlawanan arah itu kadang tak terlihat. Jika silap pasti bakal keterusan. Hanya tugu kecil dan persawahan yang menjadi tanda.
Masuk ke dalam, jalanan sudah beraspal. Meski di beberapa titik masih berlubang dan berbatu.
Hamparan sawah menyambut ketika kita masuk ke kawasan Desa Lintong ni Huta. Hijaunya sawah, membuat mata kembali segar setelah terkena angin jalan lintas.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan,” saya bergumam dalam hati.
Saya melambatkan laju kendaraan. Pemukiman penduduk masih sangat jarang. Hanya menumpuk di beberapa titik. Ukiran Gorga Batak tersemat di beberapa hunian.
Di salah satu kelokan terdengar suara orang bernyanyi. Melodinya begitu syahdu. Meskipun saya tak mengerti lagu Batak yang dinyanyikan mereka. Pastinya, suara mereka begitu lantang. Beradu dengan rambasan gitar yang khas.
Ternyata itu warga yang sedang berkumpul. Semuanya laki-laki. Dihadapan mereka tersaji gelas berisi tuak. Minuman khas etnis Batak.
Konon, tuak juga yang membuat suara mereka semakin nyaring. Mampu memanjat nada-nada tinggi. Pantas saja orang Batak dikenal punya suara merdu nan lantang. Sebut saja Judika Sihotang atau pun Rita Butar-butar, penyanyi legendaris itu.
Tibalah saya di hamparan padang rumput yang cukup luas. Berbatas dengan sawah.
“Ini namanya Bukit Singgolom, bang,” sebut seorang bocah dengan logat Bataknya.