Wisatawan lokal yang sedang menikmati libur di Huta Siallagan (Dok. Ferdy Siregar)
Ketika memasuki perkampungan ini, para wisatawan akan melewati gerbang dengan patung dan tulisan aksara Batak, dan menjumpai deretan rumah-rumah adat Batak yang berjejer rapi.
Selain itu, terdapat pula kumpulan meja dan kursi, atau yang sering di sebut dengan “Batu Persidangan“.
Lokasi batu persidangan berada di depan rumah raja, dan tepat berada di bawah pohon Hariara. Sebuah pohon yang di keramatkan oleh suku Batak.
Meja dan Kursi yang terbuat dari batu ini, di perkirakan telah berusia sekitar 200 tahun. Dahulu kala, tempat ini di pergunakan untuk mengadili para kriminal.
Tindak kejahatan tersebut bisa berupa mencuri, membunuh, memperkosa, dan menjadi mata-mata musuh. Hukumannya pun tidak main-main. Jika kejahatannya kecil, maka akan diberikan sangsi berupa hukuman pasung. Namun jika kejahatannya tergolong kejahatan berat maka pelaku akan dijatuhi hukuman pancung alias potong kepala.
Tanggal eksekusi pun akan ditentukan dari hari paling lemah si penjahat atau hari baiknya kapan. Pasalnya, rata-rata orang yang berani melakukan kejahatan diyakini mempunyai ilmu hitam. Untuk menentukan hari kapan untuk di eksekusi, dahulu menggunakan Manitiari atau Primbon Suku Batak.
Setelah tiba hari pemancungan pelaku kejahatan akan ditempatkan di sebuah meja batu dengan mata tertutup kain ulos. Tidak sampai di situ Jansen menuturkan Hukum pancung dibuat sedemikian dramatis. Pertama-tama penjahat akan diberi makan yang berisi ramuan dukun untuk melemahkan ilmu hitam.
Kemudian, pelanggar akan dipukul menggunakan tongkat tunggal panaluan, yaitu tongkat magis dari kayu berukir gambar kepala manusia dan binatang, dengan bagian atas berupa rambut panjang.