TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menyingkap Narasi Toba, Eksotisme Meat dan Rupa Warna 1.000 Tenda

Meat jadi destinasi menarik wisatawan milenial

IDN Times/Prayugo Utomo

Matahari merangkak naik di ufuk timur.
Berusaha menampakkan diri di sela perbukitan yang menjulang
Muda-mudi masih berjaket, berselendang kain menahan dingin yang menusuk.
Api unggun di depan tenda juga jadi penghangat.
Gemercik ombak kecil Danau Toba seperti nyanyian pagi hari.
Warna-warni tenda juga menambah cantik pemandangan.

Selamat Pagi Meat, Horas...

Bendera dari berbagai komunitas milenial terikat di tiang-tiang pancang. Menyambut pagi nan eksotis di Desa Meat, Sabtu (29/6) lalu. Sebuah desa kecil di Kecamatan Tampahan. Berjarak 14 Km dari Balige Ibu Kota Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.

Meat menjadi salah satu desa yang langsung menghadap ke Danau Toba. Keindahannya seakan tiada tara. Tak menjemukan mata siapapun yang memandangnya.

Dengan keindahannya pantas saja Meat dipilih jadi tuan rumah ajang 1.000 Tenda Kaldera. Ajang akbar yang digagas Rumah Karya Indonesia. Kelompok milenial kreatif yang juga ikut mempromosikan Toba sebagai destinasi wisata prioritas.

Setidaknya, lebih dari 4.000 pengunjung ikut dalam ajang tahunan itu. Pesertanya didominasi milenial. Mereka datang dari berbagai penjuru daerah di Sumut. Merasakan sensasi kamping di pinggiran danau terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan ada yang datang dari luar pulau Sumatera.

IDN Times/Prayugo Utomo

Jauh hari, panitia sudah melakukan persiapan. Pendaftaran peserta dilakukan secara daring. Konsep yang diusung pun disesuaikan dengan kebutuhan milenial saat ini. Kamping bareng, diskusi ala milenial hingga pentas musik dengan musisi lokal. Untuk diskusinya juga diisi para narasumber kelas wahid di tingkat nasional.

“Jadi tahun ini kita coba garap konsep kamping dan berbagi pengetahuan. Jadi ada diskusi dengan wacana kekinian. Pokoknya bagus-bagus dan keren-keren,” ungkap Siparjalang, Direktur 1.000 Tenda Kaldera.

Penyelenggara terkejut. Pesertanya membludak. Karena di awal mereka hanya menargetkan sampai 3.000 orang peserta saja.  

Setiap sudut lapangan hingga pantai yang menjadi lapak tenda sudah sesak. Nyaris tak ada ruang lagi untuk peserta yang datang dan mendaftar on the spot. “Ini sungguh diluar ekspektasi kita. Ternyata peserta yang datang belakangan juga banyak,” kata Direktur Festival 1.000 Tenda Kaldera Siparjalang.

Berbagai kalangan yang jadi pesertanya. Pelajar, mahasiswa dan berbagai komunitas pecinta alam. Jika dilihat dari atas bukit 1.000 tenda menyemut.

Panitia tak mematok biaya selangit untuk menjadi peserta 1.000 Tenda Kaldera. Hanya Rp20ribu per orangnya. Sebagian dana itu pun diserahkan ke masyarakat setempat untuk pengembangan Meat sebagai destinasi wisata yang kian dilirik.

Baca Juga: [FOTO] Mau Tahu Kehidupan Suku Batak? Yuk Bermalam di Meat

Manabi dan Mamurpur di bentangan Sawah Meat

IDN Times/Prayugo Utomo

Meat punya potensi yang sangat bagus untuk destinasi wisata. Baru kali ini pula ajang dengan ribuan peserta tumpah di Meat. Alam Meat menjadi daya tarik tersendiri. Persawahan yang menguning jadi pemandangan yang mantap. Sesekali peserta mengabadikan momen terbaik di pinggiran sawah.  

Setiap jengkal alam dan budaya di Meat jadi magnet. Ajang 1.000 Tenda Kaldera diadakan tepat saat musim panen. Peserta juga diajak memanen padi bersama warga setempat. Mereka langsung mendapat pengalaman bagaimana manabi (memotong padi) atau mamurpur (cara melepas butir padi dari kulit arinya).

Selain persawahan, alam Meat juga didukung dengan gugusan bukit yang mengelilinginya. Langsung menghilangkan bosan ketika kita memandang sekeliling.

Bukan tanpa alasan Meat dipilih sebagai lokasi acara. Selain bentang alam yang eksotis, penyelenggara juga ingin potensi ini menjadi pembangkit perekonomian masyarakat.

“Supaya masyarakat mendapatkan dampaknya. Banyak tempat bagus tapi tidak ada orang. Di sini ada masyarakatnya dan tempatnya bagus. Jadi harus memberikan efek domino kepada masyarakatnya,” ungkap Parjalang.

Pemkab Toba Samosir juga terkejut dengan membludaknya peserta. Wakil Bupati Toba Samosir Hulman Sitorus memang mengakui, jika daerah Meat masih belum dilengkapi sarana dan prasarana yang mumpuni untuk jadi destinasi wisata. Namun 1.000 Tenda Kaldera membuktikan jika potensi Meat memang besar. Ke depan, Meat bakal terus dikembangkan.

“Saya sendiri sangat terkejut. Karena ini yang pertama, tentu masih banyak kekurangan. Ini bukan acara yang diinisiasi pemerintah. Dan tidak membebebani pemerintah. Saya apresiasi seluruh anak muda yang terlibat,” ujar Hulman.

Melipir ke penenenun ulos Ragi Hotang dan pemukiman Raja Batak

IDN Times/Prayugo Utomo

Ternyata, tak jauh dari lokasi 1.000 tenda ada tempat bernama Ragi Hotang. Tempat para penghasil ulos tenunan. Pengrajinnya rata-rata sudah sepuh.

Pantas saja sejumlah peserta juga ikut melipir.  Mereka mau menyaksikan langsung bagaimana proses pembuatan ulos. Khususnya Ragi Hotang sebagai motif tenunan andalan daerah Meat.

Di Ragi Hotang, masih berdiri kokoh beberapa Jabu Bolon. Rumah adat Batak, tempat raja-raja dulu tinggal.

Kondisinya sangat terawat. Ukiran Gorga Batak juga masih menempel di dinding Jabu Bolon. Bahkan dijadikan penginapan untuk tamu-tamu yang datang ke Meat. Hanya Rp200 ribu per malam, kita bisa menikmati bagaimana sensasi tinggal di kediaman Raja Batak

IDN Times/Prayugo Utomo

Di depan rumah adat tinggallah Marsita boru Tampubolon. Perempuan 85 tahun yang masih menenun ulos dengan cara tradisional.  Begitu ramah, meski lebih banyak menggunakan bahasa Batak.

Saat ditemui, Marsita sedang menenun. Usianya yang senja tak membuat patah arang. Mata dan jarinya begitu awas menganik (menyatukan) setiap benang beragam warna. Ditenunnya, hingga mulai terlihat pola. “Ini namanya (pola) Ragi Hotang anakku,” ujar Marsita yang bersuara parau.

Ulos Ragi Hotang biasanya dipakai pesta adat pernikahan Batak. Diberikan kepada pengantin sebagai bentuk penghormatan.

Bagi Marsita, menenun bukan lagi soal untuk mencari penghidupan. Bagi dia itu kepuasan batin. Bisa tetap melestarikan keterampilan yang diwariskan secara turun temurun dari pendahulunya. Pantas saja Marsita bertahan selama 75 tahun menjadi penenun. 

Ulos ibarat bagian hidup dari Marsita yang tak bisa terpisahkan. Begitu juga dalam suku Batak. Ulos selalu melekat dalam tahapan kehidupan. Motif ulos yang begitu kaya juga digunakan sebagai penanda kelahiran, pernikahan hingga orang yang wafat.

Baca Juga: Festival 1.000 Tenda, Eksotisme Desa Meat Pukau Ribuan Pengunjung

Berita Terkini Lainnya