Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Kampung Madras Medan (Mangara Wahyudi)
Kampung Madras Medan (Mangara Wahyudi)

Intinya sih...

  • Kampung Madras lahir dari migrasi tenaga kerja Tamil pada 1873, membentuk enklave budaya yang berkembang menjadi kawasan unik.

  • Toponimi kolonial terasa kuat di kawasan ini, dengan nama jalan mengacu pada kota-kota India dan Sri Lanka.

  • Gentrifikasi sejak 1990-an mengubah morfologi kota, menyebabkan situs bersejarah 'tenggelam' oleh ruko dan bangunan modern.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kampung Madras adalah salah satu kawasan paling berlapis identitas di Kota Ini. Banyak dari kita mengenalnya sebagai “Little India”, padahal sejarah dan dinamika sosial yang melekat pada tempat ini justru jauh lebih kompleks. Di balik kuil warna-warni dan deretan kedai rempah, ada perjalanan panjang diaspora Tamil dan India Muslim yang membentuk wajah kawasan ini sejak abad ke-19.

Semua itu benar adanya. Kawasan ini dulunya disebut Kampung Keling, nama kolonial yang kemudian ditinggalkan karena dianggap merendahkan. Komunitas Tamil Medan memilih memakai nama “Kampung Madras”, merujuk pada kota Madras (kini Chennai), pusat kebudayaan Tamil. Pergeseran nama ini bukan semata pergantian istilah, ia gerakan yang memulihkan martabat dan sejarah komunitas yang bertransformasi dari buruh perkebunan menjadi salah satu komunitas paling dinamis di kota Medan.

Peradaban berjalan dan terus berlalu, kini Kampung Madras bukan hanya hunian etnis, tetapi ruang ekonomi, ritual, kuliner, dan perayaan budaya yang mengesankan. Meski kawasan ini semakin ditekan perkembangan kota, denyut tradisinya bertahan dalam festival besar, jejak kolonial pada nama jalan, dan memori kolektif yang tak pernah benar-benar hilang. Dari semua sisi menarik yang ada, IDN Times menyuguhkan kamu lima fakta unik yang menggambarkan kekhasan kawasan ini. Mari ikut dan simak!

1. Berawal dari 25 kuli Tamil yang didatangkan ke Deli pada 1873

Warna-warni khas India di tengah hiruk pikuk Medan. Shri Mariamman Temple selalu jadi spot ikonik di Little India, Kampung Madras (Mangara Wahyudi)

Kampung Madras lahir dari arus migrasi tenaga kerja Tamil yang dibawa ke Sumatra Timur pada masa kolonial. Pada 1873, sebanyak 25 pekerja pertama didatangkan dari Penang untuk bekerja di perkebunan tembakau Deli. Mereka menangani pekerjaan berat yang memerlukan kekuatan fisik mulai dari membuka hutan, menarik kereta lembu, hingga membangun parit drainase.

Dari kelompok kecil ini, terbentuklah komunitas yang kemudian berkembang menjadi enklave budaya. Mereka mendirikan rumah, tempat ibadah, dan struktur sosial yang mereplikasi kehidupan kampung halaman di India Selatan. Fondasi itulah yang kelak menjadi Kampung Madras seperti yang dikenal masyarakat hari ini.

2. Nama jalan di kawasan ini dulu memakai nama kota-kota India dan Sri Lanka

Kampung Madras Medan (Mangara Wahyudi)

Toponimi kolonial sangat terasa di Kampung Madras. Pada masa Belanda, jalan-jalannya dinamai sesuai kota-kota di India dan Sri Lanka, ada Calcuttastraat, Madrasstraat, Colombostraat, Negapatamstraat, hingga Ceylonstraat. Penamaan itu adalah bentuk penanda administratif bahwa kawasan ini merupakan pusat permukiman komunitas India.

Walaupun nama-nama tersebut diubah setelah kemerdekaan menjadi Zainul Arifin, Jenggala, Muara Takus, Teuku Umar, dan lainnya, memori lokal mengenai “Kalkuta” dan “Madras” tetap hidup. Bahkan hingga kini, identitas kawasan terasa jelas ketika menelusuri rute-rute lama yang menyimpan jejak sejarah migrasi Tamil di Medan.

3. Perubahan morfologi kota membuat situs warisan ‘tenggelam’ oleh ruko

Kampung Madras Medan (Mangara Wahyudi)

Dulu, Kampung Madras didominasi rumah kayu dan halaman terbuka. Namun sejak 1990-an, gentrifikasi mengubah kawasan ini menjadi ruko yang padat. Pembangunan pusat perbelanjaan besar seperti Sun Plaza mempercepat arus komersialisasi dan mendorong penduduk untuk mengalihfungsikan lahan menjadi ruang usaha.

Akibatnya, beberapa situs bersejarah tertutup oleh bangunan baru. Masjid Ghaudiyah, misalnya, kini berada di tengah deretan ruko sehingga akses visualnya nyaris hilang. Kuil-kuil kecil juga banyak yang terhimpit bangunan modern. Kawasan ini menghadapi paradoks yang perlu dipikirkan kedepannya, bahwa nilai budaya yang dipromosikan justru terancam oleh perkembangan kota yang tidak ramah terhadap konservasi dan perlindungan terhadap nilai-nilai heritage kota.

4. Pusat festival Hindu terbesar di Sumatera, Thaipusam

Detail penuh warna di gerbang utama Shri Mariamman Temple, bikin suasana Medan serasa India kecil. (Mangara Wahyudi)

Thaipusam di Medan adalah salah satu festival Hindu terbesar di Indonesia. Prosesi Kereta Kencana berusia 130 tahun, ritual kavadi aattam, dan arak-arakan yang melintasi jalan besar membuat festival ini menjadi tontonan sekaligus ritual spiritual yang kuat. Setiap tahun, ribuan orang turut menyaksikan jalannya prosesi.

Perayaan ini juga menjadi simbol klaim ruang oleh komunitas Tamil. Saat arak-arakan melewati jalan-jalan utama kota, mereka secara simbolis “menyatukan” Medan dengan akar budaya yang telah hidup di sini selama lebih dari satu abad. Tak heran pejabat kota dan tokoh publik selalu hadir dalam perayaan ini.

5. Kawasan kuliner rempah sekaligus titik keramaian malam tahun baru

Kampung Madras Medan (Mangara Wahyudi)

Kampung Madras dikenal sebagai kawasan kuliner rempah dengan identitas Tamil yang kuat. Karakter rasanya terbentuk dari rempah India Selatan seperti kapulaga, cengkeh, lada hitam, dan jintan yang mendominasi hisdangan kari, briyani, thali, hingga aneka gorengan berbumbu. Baik komunitas Hindu maupun Muslim India sama-sama berkontribusi pada ragam kuliner yang berkembang di kawasan ini.

Uniknya, kawasan ini juga menjadi salah satu titik keramaian malam tahun baru di Medan. Area sekitar Jalan Zainul Arifin khususnya koridor kuliner dan kawasan dekat Sun Plaza, sering dipadati warga yang datang untuk countdown dan menonton pesta kembang api. Perayaan tahun baru di sini berlangsung meriah karena memadukan suasana kuliner malam dengan tradisi berkumpul hangat masyarakat kota.

Kampung Madras adalah potongan sejarah Medan yang hidup. Setiap jalan, masjid, kuil, dan aroma rempah di kawasan ini memuat jejak panjang migrasi, kolonialisme, perubahan kota, hingga pertahanan identitas budaya yang terus berdiri dihantam kemajuan peradaban.

Meski ruangnya semakin padat dan ditekan oleh pembangunan vertikal, kekuatan komunitas Tamil dalam menjaga tradisi membuat Kampung Madras tetap menjadi salah satu denyut paling penting di Medan. Selama festival tetap hidup dan rempah tetap mengepul di udara, kawasan ini akan terus menjadi saksi perjalanan multikultural kota yang tak pernah berhenti berubah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team