Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Taman Sri Deli Medan (Mangara Wahyudi)
Taman Sri Deli Medan (Mangara Wahyudi)

Intinya sih...

  • Nama asli Taman Sri Deli adalah Taman Tengku Chadijah, didirikan oleh Sultan Deli ke-10 pada tahun 1924.

  • Taman ini dirancang dengan perpaduan gaya arsitektur India, Mesir, dan Turki oleh seorang arsitek Italia.

  • Pada masa Kesultanan Deli, taman ini berfungsi sebagai ruang tunggu eksklusif untuk Sultan dan keluarganya menjelang waktu shalat Maghrib.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bagi masyarakat Kota Medan, Taman Sri Deli adalah salah satu landmark yang paling dikenal. Sebagai ruang terbuka hijau, taman ini menjadi tempat favorit masyarakat untuk berolahraga, bersantai, atau sekadar menikmati suasana asri di tengah kepadatan kota. Lokasinya pun sangat strategis, berada di pusat kota dan berdekatan dengan berbagai ikon sejarah lainnya.

Popularitas taman ini tidak lepas dari kemudahannya untuk diakses. Pengunjung bisa masuk tanpa perlu membayar tiket alias gratis dan mengunjunginya hampir sepanjang hari, dari pagi hingga malam. Hal ini menjadikannya sebuah ruang publik yang penting bagi warga, baik untuk kegiatan santai harian maupun untuk acara-acara besar yang diselenggarakan pemerintah kota.

Namun, di balik fungsinya sebagai taman kota modern, Taman Sri Deli menyimpan lapisan sejarah panjang yang menarik. Taman ini adalah saksi bisu transformasi Kota Medan dari era kesultanan. Berikut adalah lima fakta menarik tentang sejarah dan arsitektur taman ini, yuk kita simak!

1. Nama Aslinya adalah Taman Tengku Chadijah, Nama Istri Sultan

Taman Sri Deli Medan (Mangara Wahyudi)

Sebelum dikenal luas dengan nama Taman Sri Deli, taman ini memiliki nama asli yang jauh lebih personal, yaitu Taman Tengku Chadijah. Taman ini didirikan sekitar tahun 1924 oleh Sultan Deli ke-10, yakni Sultan Amaludin Sani Perkasa Alamsyah.

Penamaan tersebut diambil langsung dari nama istri sang Sultan. Hal ini menegaskan karakter awal taman sebagai ruang yang sangat privat dan personal bagi keluarga kerajaan. Nama "Taman Sri Deli" baru digunakan setelah era kemerdekaan, sejalan dengan perubahan statusnya dari taman privat menjadi ruang publik.

2. Perpaduan 3 Peradaban, Dirancang Arsitek Italia

Taman Sri Deli Medan (Mangara Wahyudi)

Salah satu daya tarik utama taman ini adalah desain arsitekturnya yang unik dan eklektik. Jika diperhatikan, bangunan dan pilar-pilar yang masih kokoh di taman ini memamerkan perpaduan gaya arsitektur yang terinspirasi dari tiga peradaban besar dunia: India, Mesir, dan Turki.

Lebih unik lagi, perpaduan gaya arsitektur Orientalis ini ternyata dirancang oleh seorang arsitek berkebangsaan Italia. Pilihan ini diyakini mencerminkan visi kosmopolitan Sultan Deli pada masa itu, yang ingin memproyeksikan citra Kesultanan Deli sebagai kerajaan yang modern dan setara dengan peradaban besar lainnya.

3. Fungsi Awal untuk Ruang Tunggu Privat Sultan Menjelang Maghrib

Taman Sri Deli Medan (Mangara Wahyudi)

Saat ini, Taman Sri Deli terbuka bagi siapa saja. Namun, pada masa Kesultanan Deli, taman ini berfungsi sebagai ruang yang sangat eksklusif. Area ini tertutup untuk umum dan hanya diperuntukkan bagi Sultan beserta keluarganya.

Fungsi taman ini pada masanya juga sangat spesifik. Taman Tengku Chadijah sengaja dibangun tepat di seberang Masjid Raya Al Mahsun. Tujuannya adalah sebagai tempat bagi keluarga Sultan untuk bersantai atau "berangin-angin" sembari menunggu datangnya waktu shalat Maghrib.

4. Bagian dari 'Segitiga Emas' Peradaban Deli

Taman Sri Deli Medan (Mangara Wahyudi)

Taman Sri Deli tidak dirancang sebagai bangunan yang berdiri sendiri. Lokasinya merupakan bagian integral dari sebuah tata ruang yang lebih besar, yang sering disebut sebagai "segitiga populer" atau "Segitiga Emas" peradaban Kesultanan Deli.

Tiga titik dalam konstelasi warisan ini melambangkan pilar-pilar utama kerajaan. Tiga serangkai itu adalah Istana Maimun (sebagai simbol kekuasaan politik), Masjid Raya Al-Mashun (sebagai simbol kekuatan spiritual/agama), dan Taman Sri Deli (sebagai simbol rekreasi dan alam bagi keluarga kerajaan).

​5. Realitas Taman Publik di Perkotaan

Taman Sri Deli Medan (Mangara Wahyudi)

Sebagai taman yang gratis dan terbuka untuk siapa saja, Taman Sri Deli tentu memiliki tantangan pemeliharaan yang biasa ditemukan di ruang publik. Pengunjung mungkin akan melihat kondisi perawatan taman yang tidak konsisten. Di beberapa area, misalnya, rumput bisa tampak tumbuh panjang dan butuh dirapikan kembali.

​Kolam ikonik di tengah taman juga sering punya fungsi lain bagi pengunjung. Selain sebagai pemandangan, kolam ini tidak jarang menjadi tempat anak-anak bermain air atau berenang. Karena sifatnya yang terbuka, taman ini juga menjadi titik kumpul berbagai kalangan, termasuk terkadang adanya pengemis atau anak jalanan. Ini semua adalah bagian dari pemandangan yang lazim di sebuah taman kota.

​Taman Sri Deli merupakan sebuah cerminan masa lalu dari sejarah Kota Medan. Taman ini menyimpan cerita perubahan dari yang dulunya tempat santai pribadi keluarga Kesultanan, lengkap dengan arsitektur megah dan fungsi yang sangat khusus. Perannya dalam "Segitiga Emas" Deli membuktikan betapa pentingnya taman ini dalam tata ruang kerajaan masa lalu.

​Kini, taman tersebut telah sepenuhnya menjadi ruang publik yang bisa dinikmati siapa saja. Meskipun memiliki tantangan yang wajar dialami taman kota baik soal perawatan maupun kehidupan sosial di dalamnya, Taman Sri Deli tetap menjadi peninggalan sejarah yang sangat berharga. Sebagai warisan yang terus hidup dan beradaptasi dengan kehidupan Kota Medan modern.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team