Peran Opium dalam Memicu Konflik Besar di Perang Riau Pertama

Opium dalam sejarah perdagangan dan konflik

Batam, IDN Times - Sejak tahun 1780, selat Singapura telah menjadi salah satu lalu lintas jalur perdagangan tersibuk di dunia. Perairan itu dahulu dikuasai oleh kerajaan besar Melayu, Kerajaan Riau Lingga di Rio atau Riau (Tanjung Pinang, Indonesia).

Jadi salah satu jalur perdagangan yang padat pada masa itu, menjadikan rempah-rempah berada di puncak kepopuleran sumber pendapatan kerajaan dari pajak-pajak penjualan.

Tidak hanya rempah, mulai menetapnya pengelana Tiongkok pada masa itu membuat maraknya peredaran Opium di lingkungan kerajaan Melayu ini. Opium merupakan getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum yang belum matang.

Peredarannya yang masif dan dilegalkan pula oleh Kerajaan Melayu Riau Lingga di Bandar Riau (Tanjung Pinang), menjadikan opium sebagai komoditas dagang terbesar nomor dua setelah rempah.

Namun, komoditas terbesar kedua ini mulai menuai pro-kontra di lingkungan masyarakat Melayu pada saat itu. Kehadirannya bahkan memicu berbagai konflik besar, seperti pemicu pecahnya perang Riau-Lingga pertama serta menjadi wabah narkotika pertama yang tercatat di Tanjung Pinang dan sekitarnya.

1. Opium menjadi pemicu perang Riau pertama

Peran Opium dalam Memicu Konflik Besar di Perang Riau PertamaPeta letak terusan Riau (Tanjung Pinang) (Istimewa)

Rendra Setyadiharja, yang merupakan pengurus Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau (LAMKR) Kota Tanjung Pinang dan Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisipol) Raja Haji telah berhasil membedah Tuhfat al - Nafis (penyerahan berharga) dari tiga manuskrip.

Manuskrip yang pertama adalah Tuhfat al - Nafis koleksi KITLV Or. 69, dilanjutkan dengan manuskrip Tuhfat al - Nafis koleksi Royal Asiatic Society 'Maxwell 2', dan terakhir manuskrip Tuhfat al - Nafis edisi Winstedt yang terbit di JMBRAS 1932.

Hasil pembedahan manuskrip Tuhfat al - Nafis itu dituangkan ke dalam buku berjudul 'Perang Riau dalam Tuhfat al - Nafis'. Buku ini dirangkai bersama dua rekan penulisnya, Priyo Joko Purnomo dan Yoan Sutrisna Nugraha.

Ditemui di Kota Tanjung Pinang, 17 Juli 2024, Rendra menyampaikan sejumlah peristiwa yang diketahuinya dari tiga manuskrip Tuhfat al - Nafis ini. Salah satunya terkait pemicu pecahnya perang Kerajaan Riau Lingga pertama melawan Belanda di tahun 1782-1784.

"Memang saat itu pemicu terjadinya perang pertama tersebut adalah Candu (Opium). Namun, sebelum hari besar itu terjadi, jauh sebelumnya telah terdapat beberapa permasalahan lainnya antara Kerajaan Riau Lingga dengan Belanda," kata Rendra.

Dimulainya, terdapat upaya untuk menjalin hubungan baik antara Belanda (Holanda) dan Riau pada tahun 1780-1781. Namun, Belanda kembali mendesak Riau untuk mematuhi perjanjian yang pernah di buat, sebelum Raja Haji Fi Sabilillah menjadi Yang Dipertuan Muda, yaitu Perjanjian 'Port Filipina Linggi' pada 1 Januari 1758.

Perjanjian ini, yang dikenal sebagai perjanjian persahabatan, perdamaian, dan teman serikat, ditandatangani oleh Daeng Kamboja atas nama Riau, Raja Tua atas nama Klang, dan Raja Adil atas nama Rembau dengan Belanda.

Sebagaimana dijelaskan oleh Natscher (1870) dan Winstedt (1982), perjanjian ini dibuat pada akhir perang Linggi karena Daeng Kamboja dan sekutunya kalah melawan Belanda.

Rendra menjelaskan, selanjutnya Raja Haji Fi Sabilillah mengirimkan utusan dengan membawa surat kepada Gubernur VOC Belanda di Malaka, Pieter Gerardus de Bruijn. Dalam surat itu Raja Haji memperkenalkan diri sebagai raja muda di Kerajaan Riau Lingga, dan menegaskan akan menaati segala perjanjian yang telah dilakukan oleh pendahulu.

"Saat itu Raja Haji Fi Sabilillah juga memohon untuk diberikan kebebasan dalam berdagang bagi utusannya. Hal itu disetujui Gubernur VOC Belanda di Malaka, Pieter Gerardus de Bruijn, pada 10 Juni 1782," lanjut Rendra.

Selanjutnya pada awal abad ke-18, situasi global sangat kacau dengan pecahnya peperangan di Eropa, yang melibatkan Belanda dan Inggris. Perairan Hindia Belanda (Indonesia) juga tidak terlepas dari kekacauan ini, dengan kapal-kapal Prancis yang merompak kapal-kapal Inggris.

Dominasi pergerakan armada Prancis pada masa itu membawa kapal Prancis, La Sainte Therese yang dipimpin oleh Kapten Mathurin Barbaron kepada Gubernur VOC Belanda di Malaka, Pieter Gerardus de Bruijn.

"Saat itu Prancis meminta agar Pieter Gerardus de Bruijn membantu perlawanan Prancis terhadap kapal-kapal perdagangan Inggris yang saat itu sering berlalu-lalang dari India menuju China membawa muatan Candu (Opium). Karena melalui kawasan Kerajaan Riau Lingga, maka disepakati setengah hasil rampasan turut menjadi bagian dari Kerajaan Riau Lingga," ujar Rendra.

16 Februari 1782, kapal Prancis, La Sainte Therese, yang dipimpin oleh Kapten Mathurin Barbaron menawan kapal Inggris Betsy yang bermuatan Opium di Teluk Riau (Teluk perairan Kota Tanjung Pinang).

"Kapal ini bermuatan 1.154 peti Candu (Opium) dari India yang akan menuju Cina, ini merupakan hasil tangkapan terbesar pada masa itu. Sebelum dibawa ke Malaka, Kapten Mathurin Barbaron mendapati persetujuan membawa hasil rampasan tersebut dari masyarakat lokal yang mengatasnamakan Raja Haji, saat ini kita sebut orang tersebut dengan istilah calo, dan rupanya orang tersebut memberikan pernyataan palsu dan tidak diketahui oleh Raja Haji Fi Sabilillah," lanjut Rendra.

Mendengar kabar kapal bermuatan penuh opium tersebut telah bergeser menuju Malaka, hal itu membuat Raja Haji Fi Sabilillah menjadi murka, mengingat Kerajaan Riau Lingga tidak mendapati bagian hasil rampasan, seperti yang telah disepakati sebelumnya.

"Hal itu memicu kemurkaan Raja Haji. Pada saat itu Raja Haji Fi Sabilillah menyurati Gubernur VOC Belanda di Malaka dan menentang perampasan atas kapal Betsy, tetapi tidak ditanggapi. Selanjutnya atas kemurkaan itu, Raja Haji Fi Sabilillah merobek surat perjanjian persahabatan, perdamaian, dan teman serikat antara Kerajaan Riau Lingga dengan Belanda. Kabar kemurkaan Raja Haji Fi Sabilillah ini sampai hingga ke telinga Gubernur VOC Belanda di Malaka," lanjutnya.

Tidak berhenti di situ, kemurkaan Raja Haji Fi Sabilillah juga sampai di telinga seantero Malaka. Seiring berjalannya waktu, cerita kemurkaan ini menjadi tebar-tebar fitnah rencana penyerangan Kerajaan Riau kepada Malaka. Fitnah ini akhirnya tersiar luas dan diketahui Gubernur VOC Belanda di Malaka.

"Raja Haji mau pukul Malaka, maka kita pukul dahulu," kata Rendra menirukan perkataan Pieter Gerardus de Bruijn.

2. Perang Riau pertama, kelahiran Kota Tanjung Pinang

Peran Opium dalam Memicu Konflik Besar di Perang Riau PertamaLukisan L.C Baane tentang ilustrasi perang Riau pertama di Tanjung Pinang (Istimewa)

Perseteruan antara Raja Haji Fi Sabilillah dan Gubernur VOC Belanda di Malaka terus memanas pada pertengahan tahun 1782. Rendra menjelaskan bahwa ketegangan terjadi ketika Raja Haji Fi Sabilillah memutuskan hubungan dagang dengan Belanda, serta menarik sebagian pedagang dari Malaka ke Bandar Riau (Tanjung Pinang).

Langkah berani Raja Haji Fi Sabilillah yang memutus ikatan dagang tersebut disusul dengan fitnah-fitnah yang beredar mengenai rencana penyerangan Kerajaan Riau Lingga terhadap Malaka.

Menanggapi situasi ini, Pieter Gerardus de Bruijn, Gubernur VOC Belanda di Malaka memerintahkan armada tempurnya untuk mengepung jalur perdagangan di Bandar Riau Tanjung Pinang. Pengepungan ini dipimpin oleh Tagor Abo dengan enam kapal niaga yang dipersenjatai meriam taktis dan perlengkapan tempur lainnya.

"Selama berbulan-bulan, pertarungan ini berlangsung sengit. Kerajaan Riau Lingga dan pasukannya tidak tinggal diam dengan upaya Belanda yang ingin menguasai Tanjung Pinang," ungkap Rendra.

Pada tanggal 6 Januari 1784, terjadi upaya dari kapal Komando Malaka's Welvaren untuk mendarat di Tanjung Pinang. Namun, kapal tersebut kandas di Pulau Paku (gundukan tanah yang berada di tengah teluk Tanjung Pinang).

"Saat Raja Haji Fi Sabilillah memeriksa setiap pos jaga pasukan Melayu di wilayah Teluk Keriting, Tanjung Pinang, beliau melihat salah satu kapal tersangkut di Pulau Paku. Seorang pasukan Melayu kemudian menembak kapal tersebut dari jarak jauh, dan timah panas yang dilontarkan mendarat tepat di tumpukan mesiu, sehingga kapal Komando Melaka's Welvaren meledak," jelas Rendra.

Ledakan kapal Komando Malaka's Welvaren mengejutkan semua pihak, termasuk pasukan Belanda yang saat itu sedang berusaha menduduki Tanjung Pinang.

"Saat itu, pasukan Belanda memilih mundur dari Tanjung Pinang dan kembali ke Malaka. Kerajaan Riau Lingga dinyatakan menang dalam perang pertama itu," tutupnya.

Kemenangan Kerajaan Riau Lingga atas Belanda pada 6 Januari 1784 akhirnya ditetapkan sebagai hari lahir Kota Tanjung Pinang dan terus dirayakan setiap tahunnya hingga saat ini.

3. Jejak perdagangan Opium di Kepulauan Riau 1783 - 1934

Peran Opium dalam Memicu Konflik Besar di Perang Riau PertamaPemandangan Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 1953 (Arsip Nasional Republik Indonesia)

Sementara itu, Peneliti Sejarah Pusat Riset Kewilayahan - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman turut mengungkap fakta menarik mengenai perdagangan opium di Hindia Belanda, khususnya di wilayah Keresidenan Riau di Tanjung Pinang.

Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, perdagangan Opium di wilayah Tanjung Pinang dilegalkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, jauh sebelum era legalisasi tersebut, perdagangan candu sudah berlangsung lama dan menjadi salah satu pemicu konflik besar di Riau.

"Salah satu peristiwa penting terkait perdagangan opium adalah Perang Riau yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Muda Riau IV, Raja Haji Fi Sabilillah. Perang yang berlangsung dari tahun 1783 hingga 1784 ini dipicu oleh isu opium yang melibatkan VOC Belanda. Surat-surat perjanjian antara Kesultanan Riau dengan VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda dari tahun 1784 hingga 1909 menunjukkan betapa candu menjadi bagian penting dalam hubungan kedua pihak," kata Dedi Arman, Selasa (6/8/2024).

Selanjutnya, pada tahun 1857, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah menandatangani perjanjian dengan Residen Riau, Eliza Netscher. Perjanjian ini mencakup cukai untuk opium, arang, judi, dan gadai di Pulau Lingga.

"Demikian juga dengan YDM Riau VII, Raja Abdurrahman, yang membuat perjanjian serupa dengan Residen Riau, W.A. de Kanter, yang mengatur cukai perdagangan opium dan beberapa komoditas lainnya di Pulau Tujuh," lanjutnya.

Dedi mengungkapkan, sistem pak opium (opiumpact), yaitu monopoli penjualan opium oleh negara, diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan menjadi sumber penghasilan penting.

Sultan Riau Lingga, Abdulrahman Muazzam Syah II, pada tahun 1894, mendapat sebagian besar penghasilannya dari perdagangan candu. Namun, sistem ini ditentang di Belanda karena dampak negatifnya terhadap rakyat, yang menjadi miskin dan sengsara.

"Penentangan terutama datang dari kelompok Anti Opium Bond pada tahun 1890, yang menyarankan pemerintah kolonial mengganti sistem opiumpacht dengan sistem opium regie. Dalam sistem opium regie, penjualan candu dimonopoli sepenuhnya oleh pemerintah, mulai dari impor hingga penjualan kepada konsumen. Sistem baru ini diadopsi dari model yang diterapkan oleh Prancis di Indochina," ungkap Dedi.

Meskipun perdagangan opium telah diatur ketat oleh pemerintah kolonial, penyelundupan tetap marak terjadi di wilayah Kepulauan Riau pada tahun 1930-an. Konsumen utama opium adalah komunitas Tionghoa yang menetap di Tanjung Pinang, Karimun, Pulau Tujuh, Lingga, dan daerah lainnya.

Pada tahun 1932, terjadi penangkapan penyelundupan opium terbesar. Surat kabar De Locomotief tanggal 6 Februari 1932 melaporkan bahwa sebanyak 700 kilogram opium diamankan oleh patroli yang dipimpin V.P. Haccou dan D.C. Koch di perairan Tanjung Pinang pada tanggal 27 Januari. Opium tersebut diperkirakan berasal dari India dan diselundupkan oleh orang Tionghoa.

Tidak hanya itu, surat kabar Algemeen Handelsblad tanggal 22 Desember 1932 melaporkan penangkapan penyelundupan opium seberat 430 kilogram di Pulau Baran (Lingga) dan Pulau Sitimbul (Karimun). Delapan peti opium yang disembunyikan dalam wadah karet hutan dan batu dilubangi, diamankan dengan nilai sekitar 40 ribu gulden.

Pada tahun 1933, surat kabar Algemeen Handelsblad tanggal 13 Desember melaporkan penangkapan 1558 tail opium senilai 30 ribu gulden di wilayah Karimun. Penangkapan ini menjadi prestasi bagi polisi Hindia Belanda. Tahun berikutnya, Bataviaasch Nieuwblad tanggal 15 Februari 1934 melaporkan penangkapan 1500 tail opium, dengan nilai sekitar 10 ribu gulden, di wilayah Karimun dan Pantai Bengkalis.

Terakhir, pada tahun 1934, surat kabar Soerabaijasch Handelsblad tanggal 26 November melaporkan penangkapan 10.000 tail opium oleh kapal pemerintah Belanda bernama Bengkalis yang memeriksa kapal ikan berbendera Jepang di pintu masuk selatan Perairan Riau. Nilai opium tersebut diperkirakan mencapai 300 ribu gulden.

"Maraknya penyelundupan opium memaksa pemerintah kolonial Belanda untuk meningkatkan pengawasan dan memberlakukan kebijakan memerangi penyelundupan opium di Kepulauan Riau. Polisi diminta untuk mengawasi perdagangan opium yang ilegal, seperti diberitakan oleh Batavia Nieuwblad," tutup Dedi.

Baca Juga: 8 Daerah di Riau Siaga Darurat Kebakaran Hutan dan Lahan

Putra Gema Pamungkas Photo Community Writer Putra Gema Pamungkas

🛵🛵🛵

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya