Sederet Cerita Rakyat dari Desa Rumah Liang, Banyak Hal Mistis

Diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi

Deli Serdang, IDN Times - Desa Rumah Liang secara geografis terletak di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda (STM) Hulu, Kabupaten Deli Serdang. Lokasinya berdekatan dengan Desa Tanjung Raja dan Desa Liang Muda. Desa tersebut memiliki ketinggian sekitar 1000 mdpl karena posisinya yang berada di perbukitan.

Desa Rumah Liang terkenal dengan tugu juang 45. Berdasarkan catatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatra Utara, desa ini dahulunya menjadi saksi bisu dari masyarakat Karo dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Para pejuang di bawah pimpinan Letjend Jamin Ginting kala itu melintasi desa ini sebagai jalan alternatif menuju dataran rendah. Tugu juang 45 dibuat sebagai memoar para pahlawan yang bergerilya karena jalur utama yang biasa dilalui ditutup oleh musuh.

Meskipun Desa Rumah Liang lekat dikenal dengan sejarah kemerdekaan Indonesia, namun Desa yang dihuni mayoritas suku Karo itu ternyata juga menyimpan legenda yang sedari dulu telah diyakini banyak masyarakatnya secara turun-temurun.

Kepercayaan tersebut masih dijaga erat oleh penduduknya, dan masyarakat luar cukup jarang mengetahui cerita rakyat khas dari desa yang lahannya banyak dibuat sektor pertanian bawang itu.

1. Legenda Labu Kuning

Sederet Cerita Rakyat dari Desa Rumah Liang, Banyak Hal MistisMakam Labu Kuning yang berada di dekat Tugu Juang 45 (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Pria tua bernama Ginting, mengisahkan cerita rakyat yang berada di desanya yakni Rumah Liang. Ia mengatakan jika cerita-cerita rakyat tersebut diperolehnya sejak kecil dari nenek-neneknya terdahulu, termasuk legenda Labu Kuning. Konon, dahulu ada seorang manusia yang wujudnya seperti labu.

"Nenek-nenek kami dahulu menceritakan kalau ada manusia yang lahir namun wujudnya seperti labu, bulat. Karena tak lahir seperti manusia, lah, orang tuanya menjadi tak suka sama dia," tutur Ginting.

Dirinya lanjut menceritakan jika anak yang berwujud labu itu kerap sengaja ditaruh dan ditelantarkan di tangga depan rumah oleh orang tuanya. Namun, meskipun ditelantarkan di tangga depan rumah, masih ada yang simpati dan mendekati anak itu. Ditaruh di bawah kolong rumah pun sama halnya, masih ada masyarakat lain yang peduli.

"Akhirnya dia meninggal. Meninggalnya waktu ada petir. Dan sampai sekarang, makamnya disucikan sama penduduk sini," kata pria berumur lebih dari setengah abad itu.

Penduduk Desa Rumah Liang dan beberapa penduduk lain di luar desa yang turut menyucikan makam Labu Kuning itu kerap datang berkunjung. Beberapa dari mereka berdasarkan ucapan Ginting ada yang datang meminta hajat dan memberi semacam sesajen.

"Dulu ada yang datang mau menapak tilas ke atas. Padahal sudah kami buat batas dan peringatan bahwa 'pagar ini jangan diganggu'. Tapi ternyata pendatang itu bersikap tidak senonoh, dan setelah dari sana ia mengaku perutnya sakit," aku Ginting.

2. Pulau Berhala si Anak Durhaka

Sederet Cerita Rakyat dari Desa Rumah Liang, Banyak Hal MistisPerbukitan yang berada di Desa Rumah Liang (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Layaknya cerita asal tanah Minang, ya, Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya, ternyata Desa Rumah Liang juga memiliki cerita rakyat yang mirip dengan kisah Malin Kundang. Penduduk desa menyebutnya dengan legenda Pulau Berhala.

Ginting menceritakan jika dahulu ada seorang anak laki-laki dan ibunya yang tinggal di desa terpencil, yakni di kawasan Rumah Liang. Sebab ingin maju dan memulai hidup yang lebih menjanjikan, sang anak izin kepada ibunya pergi ke kota untuk merantau. Sang ibu mengizinkan dan ia tinggal sendiri di kampung.

"Ceritanya, sudah sukseslah si anak ini di kota. Dan telah menikahi perempuan yang jelita. Suatu saat, si Ibu mengetahui kabar anaknya ini dan di mana anaknya tinggal. Bersama anjing kesayangannya sang Ibu yang jalannya menggunakan tongkat itu pergi mendatangi anak kandungnya di kota," kata Ginting.

Sang ibu pada akhirnya berhasil menemukan keberadaan putranya. Yang menyapanya terlebih dahulu adalah sang menantu. Lalu dipertemukanlah sang Ibu kepada anak kandungnya.

"Anak laki-laki ini tidak mengakui ibunya. Karena dirinya malu melihat kondisi ibunya yang berantakan, dengan bertopangkan tongkat dan mulut merah-merah bekas nyirih. Karena rasa malu itu, si anak mengatakan jika yang datang bukanlah ibunya. Namun dirinya mengucapkan jika anjing yang dibawa perempuan tua itu adalah anjingnya." Ginting mengisahkan.

Sedu sedanlah perasaan sang ibu kala itu. Bagaimana dirinya tak terluka jika anak kandungnya sendiri tak mengakuinya? Akhirnya dengan jalan yang tergopoh-gopoh dibantu sebuah tongkat, sang ibu balik ke kampungnya dan mendaki ke bukit yang dikenal masyarakat Rumah Liang sebagai bukit Sipis-pis.

Singkat cerita kala anaknya pergi ke laut dan sang ibu masih meratapi kesedihannya di atas bukit Sipis-pis, anaknya yang durhaka itu dikutuk. Akhirnya anak itu jadi sebuah pulau yang dikenal dengan Pulau Berhala. Sedangkan sang ibu kini menjelma menjadi sebuah batu besar di bukit Sipis-pis.

"Di hutan bukit Sipis-pis ada batunya, lebar dan bulat. Dialah ibunya Pulau Berhala. Ada tongkatnya dan ada batu-batu kecil di dekatnya. Ada semacam tongkat yang berdiri, ada juga semacam pohon bambu.  Ibu Pulau Berhala bisa kita lihat di hutan itu," tambah Ginting yang turut menegaskan pula jika cerita-cerita rakyat ini dirinya dapatkan dari nenek-neneknya terdahulu.

Baca Juga: Cerita Susanna Merajut Mimpi Anak-anak Pedalaman dari Desa ke Desa

3. Legenda mata air yang berpindah

Sederet Cerita Rakyat dari Desa Rumah Liang, Banyak Hal MistisSungai yang berada di Desa Rumah Liang (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Tak hanya cerita Labu Kuning dan Pulau Berhala, di Desa Rumah Liang dan desa sekitarnya turut berkembang pula cerita rakyat yang menyimpan nilai kehidupan dan ekologi yang sangat besar. Masyarakat rumah Liang mengenalnya dengan cerita mata air yang berpindah.

Konon, ada cerita sebuah mata air yang jernih dan cukup deras mengalir di antara dua desa. Masyarakat setempat memanfaatkan mata air tersebut sebagai irigasi pertanian, minum, dan lain-lain. Mata air tersebut memiliki peranan yang cukup penting pada saat itu.

"Suatu ketika, terjadilah cek-cok antara dua kelompok. Karena situasi kampung pada saat itu gaduh dan rusuh, mata air ini seolah merajuk dan berpindah tempat, tidak mengaliri desa-desa yang sebelumnya ia aliri," ucap Ginting.

Mata air itu konon dianggap sangat tidak menyukai orang-orang jahat dan suatu pertengkaran. Jadi, pada saat pertengkaran tersebut telah melerai, mata air muncul kembali di antara desa-desa itu. Dan memiliki fungsi seperti sedia kala.

"Namun, masyarakat setempat berulah lagi. Ia melakukan hal yang serakah, dengan tak membagi aliran air ke ladang-ladang masyarakat lain, alias hanya dirinya yang boleh memanfaatkannya. Karena melihat pertengkaran kembali terjadi dan keegoisan salah satu masyarakat desa, akhirnya mata air itu kembali hilang dan berpindah," kata Ginting menceritakan.

Namun, setelah pertengkaran tersebut mulai mereda, mata air perlahan-lahan muncul lagi. Dan masyarakat setempat telah menyadari betapa pentingnya hidup damai dengan sesama masyarakat lain dan berbagi aliran air untuk kepentingan irigasi ladang mereka.

Baca Juga: Tapak Umang, Legenda Mistik yang Diyakini Masyarakat Desa Rumah Liang

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya