Politik Uang dan Dampaknya Terhadap Demokrasi Kita

Politik uang jadi ancaman bagi demokrasi Indonesia

Kontestasi politik di Indonesia, akan digelar tepat pada tanggal 14 Februari 2024 nanti. Beberapa tahapan sudah berjalan, mulai dari tahapan verifikasi partai politik yang dibagi menjadi dua tahap yaitu verifikasi administrasi, dan verifikasi faktual.

Tahapan pun terus berjalan, sampai pada saat ini (Mei 2023) tahapan berada pada pendaftaran calon DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten Kota. Euporia perhalatan akbar pemilihan umum tahun 2024 sudah terasa kian dekat.

Komisi pemilihan umum (KPU) dan jajarannya, sampai pada tingkat panitia pemungutan suara (PPS), sudah berhasil merekap Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk pemilihan umum tahun 2024 nanti

1. Generasi milenial jumlah terbanyak

Politik Uang dan Dampaknya Terhadap Demokrasi Kitaunsplash/austindistel

Jika dilihat secara seksama, total pemilih sementara untuk pemilu 2024 nanti adalah 205.853.518 jiwa yang terdiri dari laki-laki 102.847.040 jiwa, dan perempuan 103.006.478 jiwa. Jumlah yang fantastis ini akumulasi dari beberapa  generasi.

Mulai dari generasi pre-boomer (sebelum 1945), baby boomer (1946-1964), gen x (1965-1980), milenial (1981-1996) dan gen z (1997-2012). Persentase terbanyak diisi oleh generasi milenial yang menyumbang 33,55% dari total Daftar Pemilih Sementara (DPS) secara keseluruhan.

Disusul oleh gen x 28,05%, gen z 22,84%, baby boomer 13,79%, dan terakhir pre-boomer 1,77%. Rekapitulasi jumlah pemilih sementara ini nantinya akan disempurnakan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terjadwal pada 24 Mei 2023 (PKPU Nomor 7 Tahun 2023).

Suara dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) inilah yang nantinya akan diperebutkan oleh para peserta pemilu di tahun 2024 nanti.

2. Amanat yang Dilanggar

Politik Uang dan Dampaknya Terhadap Demokrasi KitaIlustrasi Pemilu. (IDN Times/Mardya Shakti)

Demi menyambut perhalatan akbar pemilihan umum di tahun 2024 nanti, Masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih para pemimpin mereka yang mereka anggap memiliki integritas, inspiratif, komunikatif, memiliki jiwa kepemimpinan yang baik, aspirasif, serta memiliki kecerdasan dalam menemukan solusi-solusi dari masalah yang ada di masyarakat.

Masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. sebagai wujud dari Asas Pemilu yang diamanahkan oleh undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, yang telah diubah menjadi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu Nomor 1 Tahun 2022).

Beberapa kriteria pemimpin ideal inilah yang harusnya menjadi barometer masyarakat dalam menentukan pilihannya pada pemilu tahun 2024 nanti. Dalam pelaksanaannya, pemilu sering kali dinodai dengan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para peserta pemilu, guna mendapatkan kemenangan dalam pelaksanaan pemilu.

Tentu ini sangat bertentangan dengan Asas pemilu dan prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil (Pasal 2 & 3 UU Nomor 7 Tahun 2017, yang telah diubah menjadi Perpu Nomor 1 Tahun 2022). Praktik politik uang, menciptakan persaingan yang tidak sehat antara peserta pemilu.

3. Bentuk-Bentuk Politik Uang

Politik Uang dan Dampaknya Terhadap Demokrasi KitaIlustrasi politik uang (IDN Times/Helmi Shemi)

Jika dipahami dan dicermati maka praktik politik uang (money politics), merupakan tindakan untuk mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan uang, benda, atau materi lainnya, guna mendapatkan keuntungan secara politis. Dalam praktiknya, politik uang memiliki beberapa bentuk.

Pertama, berbentuk uang. Biasanya dilakukan ketika masa kampanye berjalan, dan ini sering sekali terjadi.

Kedua, berbentuk barang, maupun materi lainnya yang biasa dijanjikan oleh peserta pemilu, berupa fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan sosial di masyarakat. Misalnya pembangunan (renovasi) tempat ibadah, jalan, irigasi air, tempat olahraga (seperti lapangan futsal, badminton, volley), dan lain-lain.

Dalam penerapannya, praktik politik uang (money politics) dijalankan dengan beberapa strategi yang bahkan istilah dan sebutannya sudah sangat familiar di kalangan masyarakat.

Salah satu contohnya adalah “serangan fajar”. Istilah serangan fajar, digunakan untuk menyebut praktik politik uang dalam rangka membeli suara pemilih yang dilakukan oleh peserta pemilu, untuk mendapatkan komitmen dari pemilih agar nantinya yang bersangkutan mendukung (memilih) peserta pemilu yang mencalonkan diri pada pemilihan umum (pemilu), maupun di pemilihan kepala daerah (pilkada).

Pada umumnya serangan fajar ditargetkan kepada masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah (middle-low), sebagai sasaran para peserta pemilu dalam menjalankan praktik politik uang.

4. Penyebab Politik Uang

Politik Uang dan Dampaknya Terhadap Demokrasi KitaPinterest

Pengerahan masyarakat (mobilisasi massa) juga kerap terjadi pada masa-masa kampanye, yang dibalut dengan iming-iming nominal (uang dalam jumlah tertentu) untuk turut serta berpartisipasi dalam kegiatan kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu. Beberapa contoh yang terjadi misalnya dalam bentuk uang dengan dalih biaya transportasi, uang makan, minum, dan lain-lain.

Tentu praktik-praktik seperti ini sangat dilarang, selain memunculkan persaingan yang tidak sehat antar peserta pemilu, juga akan menimbulkan efek negatif bagi para pemilih kedepannya nanti.

Para pemilih cenderung bersikap pragmatis, dikarenakan praktik politik uang yang sudah mengakar dan membudidaya di kalangan mereka (pemilih). Ada beberapa faktor penyebab praktik politik uang (money politik) tetap berjalan di tengah-tengah masyarakat:

1. Sudah menjadi tradisi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa praktik politik uang (money politics) berjalan terus-menerus secara berkesinambungan. Hal ini terjadi karena sebagian dari masyarakat (atau bahkan mayoritasnya) yang memiliki hak pilih, menyambut praktik ini. Sehingga, praktik politik uang (money politik) ini, terus-menerus berkembang dan berkesinambungan ketika pemilu atau pilkada digelar.

Proses yang berkesinambungan ini, seolah menjadi tradisi bagi para peserta pemilu untuk menjalankan praktik ini, sebagai kewajiban untuk memperoleh suara dari para pemilih.

2. Persaingan antar peserta pemilu.

Persaingan yang ketat antar peserta pemilu, menjadi pemicu untuk berbuat curang dengan membeli suara dari pemilih, dengan menggunakan strategi politik uang. Ini sangat mungkin terjadi, dikarenakan persaingan yang ketat dan semakin banyaknya peserta pemilu yang ingin ikut dalam kontestasi politik di Indonesia.

Sehingga segala macam cara dilakukan, demi untuk bisa menduduki jabatan yang diinginkan, walaupun dengan menggunakan cara politik uang (money politics).

3. Faktor ekonomi.

Faktor ekonomi juga menjadi penyebab suburnya praktik politik uang di masyarakat. Para pemilih yang memiliki kelemahan dalam ekonomi (finansial), menjadi sasaran para peserta pemilu sebagai objek target suara yang bisa mereka beli.

4. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang pemilu.

Rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pemilu dan urgensitas memilih pemimpin yang baik, menjadi penyebab praktik politik uang tetap subur dan menjamur di masyarakat. Beberapa penyebab di atas tentu menjadi sponsor utama subur dan berkembangnya praktik politik uang.

Sehingga jika praktik ini tetap dan terus berjalan, maka sangat memungkinkan akan terjadi kemunduran demokrasi di Indonesia, mengingat proses demokrasi untuk memilih pemimpin itu adalah sesuatu yang sakral, sehingga tidak boleh ternodai dengan praktik-praktik yang buruk seperti halnya praktik politik uang (money politics).

5. Upaya meminimalisir berkembangnya praktik politik uang

Politik Uang dan Dampaknya Terhadap Demokrasi KitaIlustrasi Pemilu (IDN Times/Arief Rahmat)

Ada beberapa solusi untuk meminimalisir berkembangnya praktik politik uang (money politics) antara lain :

1. Mengoptimalkan pengawasan dan pencegahan pada seluruh tahapan pemilu.

Pengoptimalan pengawasan dan pencegahan pada seluruh tahapan pemilu, dapat meminimalisir praktik politik uang di masyarakat. Ini menjadi tanggung jawab badan pengawas pemilu (Bawaslu) dan jajarannya secara hirarkis, mengingat bawaslu dibentuk untuk fokus mengawasi jalannya proses pemilu.

2. Mengikutsertakan masyarakat dalam pengawasan.

Partisipasi masyarakat dalam pengawasan menjadi bagian yang penting untuk meminimalisir praktik politik uang. Jika masyarakat dilibatkan dalam pengawasan, maka hal itu melahirkan tanggung jawab pada diri mereka, sehingga mereka merasa bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab dalam mengawal proses pelaksanaan pemilu.

3. Mengedukasi masyarakat lewat kegiatan-kegiatan kepemiluan.

Memberikan edukasi kepada masyarakat akan bahaya politik uang dalam proses demokrasi. Karena output dari praktik ini (politik uang) akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang pragmatis, tidak jujur, atau bahkan tidak mau tahu tentang kondisi masyarakat (rakyatnya) dikemudian hari.

Mudah-mudahan demokrasi kita semakin dewasa, dan para peserta pemilu semakin sadar. Sehingga, tercipta proses yang benar-benar jujur dan adil, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu (telah diubah menjadi Perpu No.1 tahun 2022) yaitu di pasal 2 dan 3.

Julkifli Photo Community Writer Julkifli

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya