Mengutip Hatta, Menemukan Paragraf Demokrasi 

Demokrasi Indonesia tak lepas dari gagasan dan manuver Hatta

“…Bagi kita, rakyat itu yang utama, rakyat yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereiniteit) karena rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita. Dengan rakyat kita naik dan dengan rakyat kita kita turun. Hidup matinya Indonesia Merdeka semua itu tergantung pada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan terpelajar baru berarti, kalau dibelakangnya ada rakyat yang sadar dan insyaf akan kedaulatan dirinya.”

Rakyat yang Menentukan

Mengutip Hatta, Menemukan Paragraf Demokrasi Mohammad Hatta. ©Koleksi pribadi keluarga

Sepenggal kalimat di atas ditulis Hatta dalam edisi perdana Majalah Daulat Ra’jat yang terbit pada 20 September 1931, 14 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, 24 tahun sebelum pemilu pertama digelar dan 73 tahun sebelum pemilu langsung dilaksanakan. Sang proklamator dari Ranah minang tersebut secara tegas mendudukan posisi kedaulatan rakyat yang bahkan disebut menentukan hidup matinya Indonesia merdeka. Menariknya, Hatta kembali menekankan defenisinya pada rakyat yang sadar dan insyaf akan kedaulatannya.

Bung Hatta, secara jelas dalam meggubah pikiran kebangsaanya dalam bentuk kehendak sadar menjadikan Indonesia sebagai negara yang melayani rakyat (the sercive state). Rakyat tidak boleh memberikan seluruh kekuasaanya secara tidak terbatas kepada Negara. Sehingga ia mendorong satu jaminan bahwa warga negara memiliki ruang dan jaminan untuk berpendapat, berkumpul, bersidang atau menyurat.

Bahkan, Hatta menekankan kedaulatan rakyat tersebut harus menunjukkan keinginan bagaimana rakyat hendak diperintah dan keputusan rakyat merupakan keputusan yang menjadi aturan main bagi pemerintah dalam menjalankan mandat kekuasaan yang diberikan rakyat. Rakyat yang berdaulat dan sadar akan kedaulatannya menjadi gambaran pikiran nyata Hatta mendorong lahir, tumbuh dan berkembangnya demokrasi di Indonesia.

Baca Juga: Lagi Panas Dingin, Segini Jumlah Harta Gubernur Edy Vs Wagub Ijeck

‘Demokrasi Air’ Bung Hatta 

Mengutip Hatta, Menemukan Paragraf Demokrasi Arsip Nasional Republik Indonesia

Awal januari 1949, Ketika Hatta, Mr Asaat, Komodor Suryadi Suryadarma serta AG Pringgodigdo ditawan Belanda pasca agresi militer kedua Belanda. Berada di pengasingan di sebuah pesanggrahan milik perusahaan timah Belanda di Menumbing, Bangka. Hatta memberi semacam wejangan kepada para penghuni barui yakni Ali Sastroamidjojo dan Muhammad Roem, Hatta menegaskan perlunya memegang teguh asas demokrasi. “Misalnya,” ujar Hatta sebagaimana dikutip Ali dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku, “Kalau mandi, janganlah memakai air sesukanya sendiri. Saya sudah mengukur isi tempat air mandi dan ternyata airnya cukup kalau saudara-saudara masing-masing hanya memakai 10 gayung tiap-tiap kali mandi." Mereka pun tertawa.

‘Demokrasi air’ ala Bung Hatta ini dimaknai serius sebagai sikap tanggung jawab dengan kepatuhan terhadap aturan main yang disepakati. Antara tanggung jawab dan hak dinyatakan secara tegas untuk mengatur cara hidup dan interaksi sesama penghuni pengasingan Menumbing, Bangka.

Praktik demokrasi Hatta bukan hanya hidup dalam gagasannya, melainkan juga ia jewantahkan dalam prilaku hidup yang mencerminkan betapa Hatta menyandarkan nilai-nilai kehidupan pada wujud demokrasi Indonesia yakni kekeluargaan, kebersamaan dan kemanusiaan. Demokrasi dalam Imajinasi Hatta begitu jelas tergambar, sebagai warisan pemikrian tentang Indonesia yang dikelola berdasarkan musyawarah mufakat dengan prinsip-prinsip keadilan, kolektivisme dan pemerataan.

Hatta menyadari betul, Indonesia yang majemuk, heterogen dengan riwayat sejarah masa lalu yang beragam perlu dipersatukan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang kerap ia sebut sebagai ‘Demokrasi kita’. Tatanan kehidupan berbangsa yang menjamin kedaulatan warga negaranya sebagai manusia merdeka yang dipersatukan oleh cita-cita. Sehingga koridor bernama demokrasi perlu menjadi bingkai utama pengelolan negara. Jika kita lihat lebih jauh, maka kedaulatan rakyat versi Hatta tidak hanya berhenti pada jaminan negara terhadap hak individu warganya, melainkan kedaulatan rakyat tersebut harus tumbuh dalam kesadaran warga negara terhadap kedaulatan yang ia miliki. Sehingga perlibatan warga negara menjadi indikator utama dalam gagasan demokrasi yang diusung oleh Hatta.

Hatta meyakini jalan Demokrasi

Mengutip Hatta, Menemukan Paragraf Demokrasi Arsip Nasional

Sejarah mencatat, perjalanan demokrasi di Indonesia tidak lepas dari gagasan dan manuver Hatta, salah satu momentumnya dapat dilihat dari kebijakan Hatta saat ditandatanganinya Maklumat No X, Maklumat 1 November, Maklumat 3 Nopember 1945, telah mengubah sistem pemerintahan Indonesia dan Kabinet Presidensiil menjadi Kabinet Parlementer yang merupakan jalan ke arah pemerintahan yang demokratis.

Melalui Maklumat X, muncul legitimasi untuk pembentukan partai politik dan mempersiapkan pelaksanaan pemilu tahun 1946. Meskipun akhirnya pemilu baru dapat diwujudkan pada tahun 1955 atas berbagai alasan, tapi Hatta telah menetaskan gagasan demokrasinya dengan pelaksanaan pemilu sebagai jaminan kedaulatan rakyat.

Sekali lagi upaya Hatta ini menjadi bagian paragraf pertama Demokrasi yang dengan mendorong sisitem parlementer menempatkan peran kedaulatan dan partisapasi warga sebagai jaminan dari kedaulatan rakyat yang dicita-citakan Hatta. Keyakinan Hatta pada masa depan sistem politik Indonesia pada demokrasi dipegang teguh meskipun hal tersebut memicu pertengkaran pikiran dengan sejawat proklmator Soekarno. Saat itu hatta mengkritik habis-habisan demokrasi terpimpin (1959-1966) sebagai sistem otoriterian yang menindas demokrasi.

Demokrasi Hari-hari ini 

Mengutip Hatta, Menemukan Paragraf Demokrasi Arsip Nasional Republik Indonesia

Pemilu tahun 2024 menjadi momentum untuk menyelami gagasan Hatta tentang demokrasi, bahwa kedaulatan rakyat dan rakyat adalah yang utama bagi sebuah negara. Sehingga rakyat menjadi “pemain” utama yang menentukan arah Indonesia ke depan. Tentunya dengan prasyarat kesadaran kedaulatan tersebut sungguh-sungguh dipraktekkan.

Pemilu tahun 1955, tahun 1971, tahun 1982, tahun 1989, tahun 1992. tahun 1997, tahun 1999, tahun 2004, tahun 2009, tahun 2014 dan tahun 2019 merupakan ruang kelas panjang tempat kita memahami demokrasi. Seharusnya di hari-hari ini, kita telah mampu mewujudkan pikiran hatta dalam wujud sesungguhnya. Demokrasi yang menjamin partisipasi warga baik secara kaulitas dan kuantitas, sehingga ruang tarung gagasan hidup dan menghidupi demokrasi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Ongkos pemilu yang besar, sebagai wujud jaminan kedaulatan rakyat, sepantasnya dibayar tunai dengan praktik demokrasi yang berkeadilan, satu tatanan suksesi kepemimpinan yang mampu melemparkan setiap usaha money politics ke tong sampah peradaban. Sehingga tidak menjadi benalu akut yang menggerogoti demokrasi dengan tukar tambah persoalan demi persoalan. Untuk menciptakan luaran pemilu yang beradab, kedaulatan rakyat tentu harus menjadi aktivitas sadar dimana setiap orang meyakini setiap tujuan baik tidak dilakukan dengan cara-cara yang tidak bermartabat. Hatta, demokrasi dan Pemilu adalah bagian rangkaian paragraf kedaulatan rakyat yang mesti dibaca dan dipelajari oleh setiap generasi.

Baca Juga: Gubernur Edy Rahmayadi Kalah dalam Gugatan di PTUN Medan

Bambang Saswanda Photo Community Writer Bambang Saswanda

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya