Ilustrasi penerapan teknologi AI./Dok IBM
Penilaian ini selaras dengan temuan IBM dalam studi CEO dan COO 2025. Dalam studi tersebut, 60 persen CEO energi dan utilitas di seluruh dunia menyatakan bahwa organisasi mereka telah mengadopsi agen AI dan siap memperluas penerapannya. Di saat yang sama, 61 persen COO menyebutkan bahwa potensi peningkatan produktivitas dari otomatisasi dan AI begitu besar sehingga perusahaan harus berani mengambil risiko lebih besar untuk tetap kompetitif. Separuh dari COO menyatakan bahwa investasi AI akan menjadi katalis percepatan inovasi.
Pergeseran dari konsep menuju implementasi nyata pun semakin terlihat. Dua dari lima perusahaan utilitas di dunia kini menggunakan AI dalam operasi utama mereka, mulai dari optimalisasi tenaga kerja lapangan, pemeliharaan prediktif, dan manajemen pemadaman hingga manajemen permintaan serta integrasi energi terbarukan. Pada 2028, adopsi AI dalam pemantauan dan optimalisasi jaringan diperkirakan melonjak hingga 92 persen, dari hanya 26 persen pada tahun 2025, menunjukkan lonjakan eksponensial peran AI dalam transisi energi global.
Di lapangan, AI mengubah cara perusahaan utilitas bekerja dari hulu ke hilir. Dalam peramalan energi terbarukan, teknologi AI mampu menganalisis pola cuaca, data historis, serta masukan real-time untuk menghasilkan prediksi yang jauh lebih akurat. Sebuah perusahaan penyaluran listrik di Australia, misalnya, tercatat berhasil meningkatkan akurasi peramalan lebih dari 30 pers serta mempercepat waktu produksi peramalan lebih dari 90 persen, membantu operator jaringan menyeimbangkan pasokan dan permintaan secara lebih efektif.
Dalam pemantauan jaringan listrik, solusi berbasis AI seperti GridFM menggabungkan data cuaca, pola beban, sistem SCADA, smart meter, dan citra satelit untuk memprediksi pemadaman, menganalisis skenario darurat, mengoptimalkan aliran daya, dan memperkirakan output energi terbarukan secara terintegrasi. Teknologi ini menciptakan jaringan listrik yang lebih adaptif, tangguh, dan efisien.