WALHI Sumut: Kerusakan Lingkungan Masih Langgeng di 2023

Pemerintah abai, bencana ekologi menjadi akibatnya

Medan, IDN Times – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatra Utara menyebut pemerintah masih abai dalam memastikan hak lingkungan yang baik kepada masyarakatnya. Terbukti sepanjang 2023 kerusakan lingkungan masih terjadi.

Kerusakan ini pun menuai petaka. Bencana menimpa Sumut dalam setahun terakhir. “Pengelolaan lingkungan dan Sumber Daya Alam (SDA) yang berkeadilan di  Sumut masih mandek. Kerusakan Lingkungan Masih Langgeng di 2023. Permasalahan lingkungan hidup dan SDA terus hadir tanpa ada Solusi penyelesaian dari pemerintah,” ujar Direktur Walhi Sumut Rianda Purba dalam keterangan Catatan Akhir Tahun 2023 mereka kepada IDN Times, Jumat (29/12/2023).

Selama setahun terakhir, WALHI Sumut melakukan pemantauan langsung ke beberapa kasus lingkungan. Advokasi mereka tentang kerusakan lingkungan terus bergulir. Mereka menemukan banyak kasus masih terjadi di Sumut.

1. Kasus pencemaran, pembalakan liar, kebakaran hutan dan pertambangan masih tinggi

WALHI Sumut: Kerusakan Lingkungan Masih Langgeng di 2023Aktifitas tambang emas ilegal di Sungai Batang Natal, Madina. (IDN Times)

Hasil analisis WALHI Sumut menunjukkan, sepanjang 2023 ada 13 kasus pencemaran lingkungan yang terjadi disumatra Utara. Mulai dari pencemaran air, pencemaran laut, tanah, Sungai, hingga udara. Aktifitas industri diduga menjadi pemicu utamanya.

Salah satu kasus pencemaran yang mencolok adalah kandasnya kapal MT AASHI yang membawa aspal bitumen di perairan Kabupaten Nias Utara pada Februari 2023. Sampai akhir tahun ini, tidak ada langkah konkret dari pemerintah untuk melakukan tindakan. Pembersihan juga tidak maksimal dilakukan. Nelayan terancam semakin miskin karena kesulitan mendapat ikan.

“Nelayan mengalami kerugian sosial dan ekonomi yang sangat besar. Kerusakan lingkungan juga terjadi mulai dari terumbu karang, konservasi mangrove dan pesisir pantai,” kata Rianda.

WALHI Sumut juga menyoroti kebakaran hutan. Catatan mereka, ada 5 titik kebakaran hutan yang terjadi sepanjang 2023. Sebanyak dua kasus di Kabupaten Karo, dan tiga lainta di Dairi, Humbanghasundutan dan Padanglawas. Selain itu, WALHI Sumut juga masih menemukan kasus pembalakan liar yang terjadi di Sumut.

Aktivitas pertambangan, baik legal atau pun ilegal juga menjadi pemicu besar kerusakan lingkungan sepanjang 2023. WALHI Sumut mencatat, ada 18 kasus kerusakan lingkungan akibat pertambangan. Beberapa Perusahaan yang terindikasi sebagai pelaku diataranya: PT Harazaki Ananta dan PT Nusantara Hidrotama, PT Karya Sejati Utama, PT. ANRA, PT Karya Sejati Utama, PT. Jaya Konstruksi, CV Par T, dan pengusaha perorangan tanpa izin.

“Paling banyak terjadi pada Galian C,” kata Rianda.

2. Kerusakan lingkungan berujung petaka, bencana terjadi

WALHI Sumut: Kerusakan Lingkungan Masih Langgeng di 2023Petugas SAR menggunakan alat berat menyingkirkan kayu sisa tanah longsor di Desa Simangulampe, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, Sabtu (9/12/2023). (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio)

Kerusakan lingkungan yang terjadi di Sumatra Utara memicu bencana alam. Sepanjang 2023, ada 40 bencana ekologis yang melanda Sumut. Didominasi oleh banjir dan longsor. Setahun ini, ada 22 orang meninggal dunia dan lebih dari 1.000 orang mengungsi karena bencana ekologi.

Sebut saja kasus banjir bandang dan longsor di Desa Simagulampe Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbanghasundutan, awal Desember 2023. Sebanyak dua orang ditemukan meninggal dunia, dan 10 orang lainnya masih hilang.

Banjir di kawasan Danau Toba itu, menurut analisis WALHI Sumut disebabkan oleh hilangnya hutan bentang Tele. “Tidak belajar, sebuah kata yang tepat ditujukan ke Pemerintah. Bencana tersebut merupakan pembiaran. Pembiaran hilangnya hutan area tangkap air. Justru, kelola hutan diberikan kepada Perusak hutan dan alam,” katanya.

Diketahui, Bentang Tele memiliki fungsi ekologis yang sangat penting untuk kawasan Danau Toba. Bentang ini adalah kawasan hutan terakhir yang masih mungkin untuk diselamatkan, untuk memastikan keberlanjutan stabilisasi iklim dan kontrol debit air Danau Toba.

Kajian WALHI menunjukkan, bentang tele ini sedang menghadapi ancaman, baik legal via konsesi tebang milik PT Toba Pulp Lestari seluas 68.000 hektar, maupun illegal, oleh perusahaan - perusahaan kayu di sekitar kawasan itu. Laju kehilangan tutupan pohon di kawasan Bentang Alam Tele meningkat dalam 10 tahun terakhir dan 92,5  persen berasal dari wilayah Konsesi PT TPL.

3. 18 kasus konflik agraria dan terjadi karena adanya pembiaran

WALHI menyoroti angka kasus konflik agraria dan sumber daya alam yang masih tinggi di Sumut. Mereka mencatat, ada 18 kasus yang terjadi sepanjang 2023. Luasan total lahan yang menjadi objek konflik mencapai 18.141 Ha. Sebanyak sembilan kasus di kawasan hutan dan sembilan lainya di kawasan areal penggunaan lain.

Sekitar 7.000 - an Kepala Keluarga harus hidup dalam bayang-bayang konflik, ketidaknyamanan, dan bayang-bayang kehilangan sumber penghidupan. Sebanyak 16 orang dikriminallisasi akibat konflik tersebut. Aktor konflik, menurut WALHI mulai dari perkebunan BUMN dan sektor swasta. Selain itu ada institusi kehutanan hingga koperasi militer.

4. Hukum dan kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada ekologi

WALHI Sumut: Kerusakan Lingkungan Masih Langgeng di 2023ilustrasi krisis ekologi (pixabay.com/Anja)

Kerusakan lingkungan, konflik dan lainnya memicu terus berkurangnya luasan kawasan hutan di Indonesia. Ekspansi perkebunan, pertambangan dari sektor pemerintah dan swasta seperti dibuatkan karpet merah agar tetap langgeng merambah kawasan hutan.

WALHI menyoroti penegakan hukum yang tidak berkeadilan dalam pengelolaan lingkungan. WALHI menyentil Undang-undang Cipta Kerja yang memberikan pengampunan pada perkebunan yang masuk ke dalam kawasan hutan. Terutama melalui pasal 110 A dan 110 B Undang-Undang Cipta Kerja, menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan ketergantungan negara pada korporasi.

“Analisis data menunjukkan bahwa sebagian besar korporasi tersebut terkait dengan industri kelapa sawit dan terlibat dalam berbagai pelanggaran, termasuk konflik dengan masyarakat.Keputusan pemutihan sawit dalam kawasan hutan menciptakan kerugian ekonomi dan lingkungan besar bagi negara dan masyarakat,” katanya.

Di Sumut, kata Rianda ada 157.054 Ha Perkebunan Sawit yang berada di dalam kawasan hutan yang sedang mengurus keterlanjuran ini di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pengusul mayoritas adalah Perkebunan sawit.

Ada 43 perkebunan sawit dengan luas mencapai 128.288 Ha. Kemudian 10.553 Ha diusulkan oleh 5 koperasi. Selanjutnya ada 22 Kelompok Tani dan Ormas yang mengusulkan total 11.829,32 Ha. Dan ada 43 perorangan yang mengusulkan lahan seluas 6383,6 Ha.

5. Penegakan hukum jauh panggang dari api

WALHI Sumut: Kerusakan Lingkungan Masih Langgeng di 2023ilustrasi borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Dari seluruh kasus ekologi yang ada, penegakan hukum dinilai WALHI masih jauh panggang dari api. Pemerintah dinilai abai yang berujung pada deforestasi dan alih fungsi hutan untuk investasi.

Sejak tahun 2017, WALHI Sumatera Utara telah mendorong Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam mendorong efektivitas penegakan hukum di sektor kehutanan untuk menghentikan alih fungsi hutan menjadi pertambangan, perkebunan, pertambakan, dan investasi yang tidak berkelanjutan.

Upaya-upaya tersebut meliputi penegakan hukum sampai kepada pencabutan izin-izin tambang yang berada di kawasan hutan di Sumatera Utara yang dilakukan WALHI bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui kerjasama dalam Tim Join Monitoring.

Sampai saat ini, WALHI Sumatra Utara juga sedang menginisiasi pembentukan Tim Terpadu Penanggulangan dan Pemulihan Kerusakan Kawasan Hutan di Sumatera Utara.

Namun, Berbagai upaya mendorong peningkatan efektivitas penegakan hukum di sektor kehutanan mendapat tantangan. Minimnya pengetahuan tentang hukum lingkungan di kalangan stakeholder dan masih adanya pandangan teknokratik yang sangat kuat di dalam birokrasi. Masih kuatnya ego sektoral antarlembaga pemerintah yang menangani penegakan hukum di sektor kehutanan.

Menutup catatan akhir tahun ini, WALHI Sumut mendesak pemerintah mencabut Undang-undang Cipta Kerja yang dinilai justru berkontribusi pada kerusakan ekologi. Pemerintah juga didesak menata ulang struktur agraria dan SDA secara menyeluruh melalui program reforma agraria. Pemerintah juga harus melakukan penguatan pada penegakan hukum.

“Perjuangan untuk lingkungan yang lebih baik harus terus digaungkan untuk warisan baik bagi generasi mendatang,” pungkasnya.

Baca Juga: WALHI: Pemerintah Belum Beri Hak Lingkungan yang Baik untuk Rakyat

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya