Rektorat USU Berdalih Tak Tahu Pelecehan di Kampusnya Jadi Viral

Medan, IDN Times - Kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) USU masih belum menemui titik terang. Para korban belum mendapat keadilan hingga kini.
Kampus juga belum mengeluarkan kebijakan apa-apa untuk menindak HS, dosen pengampu mata kuliah di Departemen Sosiologi, yang diduga menjadi pelakunya. HS juga kabarnya sudah berdamai dengan salah satu korban.
Korban lainnya masih mencari keadilan. Seperti Hindun (bukan nama sebenarnya) yang hingga kini masih dirundung trauma. Dia juga masih menjalani kuliahnya di Departemen Sosiologi.
Lantas bagaimana posisi kasus itu sekarang?. Kabar terakhir hanya menunjukkan, korban diminta membuat laporan tertulis kepada rektorat. Isinya, kronologis detail tindakan asusila yang dilakukan HS.
1. Aktivis perempuan pengin USU jadi contoh penyelesaian kasus pelecehan seksual di kampus
Para aktivis perempuan yang tergabung di Forum Pengadaan Layanan (FPL) mendatangi rektorat USU, Selasa (18/6). Mereka disambut Wakil Rektor I Bidang Akademi dan Kemahasiswaan Rosmayati.
Sayangnya dalam pertemuan itu, Rosmayati juga belum mengetahui jelas duduk permasalahan pelecehan seksual tersebut.
“Tadi ibu Ros (WR 1) bilang, rektorat bilang belum jelas masalahnya seperti apa. Jadi gak tau mau ambil tindakan apa. Karena belum resmi (laporan) sampai ke rektorat,” ujar Lely Zailani dari Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI).
Namun dalam pertemuan tadi, kata Lely, Rosmayati punya komitmen untuk menyelesaikan kasus pelecehan tersebut.
“Kami menaruh harapan besar, USU bisa menjadi contoh untuk penyelesaian kasus (seperti) ini,” tukasnya.
Baca Juga: Terduga Dosen 'Predator' USU Undur Diri dari Bitra Indonesia
2. Rektorat masih menunggu laporan korban
Pihak Rektorat USU mengaku masih menunggu laporan dari korban, ihwal kronologis lengkap kasus itu. Sehingga mereka juga belum mengeluarkan kebijakan apa-apa. Padahal sudah begitu banyak media yang memuat pemberitaan soal kasus itu. Bahkan, berita soal pelecehan seksual itu sudah sampai ke nasional.
Rosmayati mengatakan, kasus itu harusnya bisa ditangani di tingkatan fakultas saja. Apalagi FISIP USU diklaim sudah membuat kebijakan teguran keras untuk HS.
“Persoalan ini sudah terjadi di 2018. Jadi ini sudah sampai ke Prodi (program studi). Prodi sudah menginvestigasi korban, dan sudah menginvestigasi pelaku. Dari hasil investigasi itu, sudah ada pengakuan awal percobaan pelecehan dari pelaku. Dan itu sudah sampai ke Dekan. Yang jelas Dekan sudah membuat surat peringatan ke dosennya,” ujar Rosmayati.
3. Rektorat berdalih tak tahu soal kasus pelecehan seksual
Lebih jauh lagi, rektorat berdalih tidak mengetahui kasus itu. Karena posisi kasus yang sensitif itu masih berada di ranah fakultas.
“Kami (rektorat) gak tau apa-apa soal ini. Dekan saat bulan Mei baru nelpon saya ada kasus ini. Lho Saya gak tau kasus ini saya bilang. Karena kasus sebenarnya sudah bisa diselesaikan di tingkat Fakultas. Masalah puas gak puas itu tergantung si korban,” ungkapnya.
Rektorat mengaku baru mengetahui kasus ini saat disurati oleh lembaga pendamping korban. Bahkan Rosmayati juga merasa terkejut dengan kasus tesebut. “Masalah puas tidak puas itu masalah lain,” tukasnya.
4. Rektorat sebut HS sudah berniat baik mau mengaku
Rosmayati juga menyebut, pihak dekanat sulit menyelesaikan kasus itu karena tidak ada alat bukti yang kuat.
Pernyataan ini malah memunculkan pertanyaan baru. Bagaimana kasus sensitif seperti pelecehan seksual membutuhkan alat bukti seperti ada orang yang melihat atau bahkan bukti visum.
Bahkan Rosmayati juga menyebut HS sudah punya niat baik karena sudah mengakui perbuatannya. “Saya kira dari sisi positifnya kita bisa ambil, bahwa si pelaku berindikasi dia mau berniat baik. Dia mengakui itu. Saksinya tidak ada. Barang buktinya tidak ada. Hanya pengakuan," kata Rosmayati.
Rosmayati juga seperti menyayangkan soal korban yang malah melaporkan itu ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Padahal, pengakuan dari korban, dia benar-benar merasa tertekan sehingga harus menceritakan pelecehan yang dialaminya di luar lembaga kampus.
Meskipun, kata Rosmayati, di tingkat universitas mereka punya berbagai lembaga yang bisa menangani kasus itu. “Di tingkat Fakultas, tidak ada laporan ke Universitas. Kita punya alat, mekanisme. Ada kode etik untuk mahasiswa dan dosen. Kita punya peraturan pelanggaran dosen dan mahasiswa. Kita disini dari sisi investigasi lengkap. Kita punya psikolog, kita punya psikiater, kita punya ahli hukum. Kita lengkap di sini semua,” ungkapnya.
“Tapi kenapa si Mahasiswa tidak melapornya ke kita. Kenapa lapornya ke LSM. Saya WR 1 bidang akademik dan kemahasiswaan. Saya kan perempuan juga. Masa saya tidak membela perempuan. Kalau memang perempuan itu dilakukan pelecehan,” imbuhnya.
5. Dalam etika dosen, pelecehan seksual termasuk pelanggaran berat
USU masih menunggu laporan dari korban untuk melakukan tindakan. Meski pun dari banyak pemberitaan, HS sudah mengakui perbuatannya.
Rosmayati pun memastikan, jika pelecehan seksual termasuk dalam pelanggaran berat. Namun dia enggan merinci, sanksi seperti apa yang diberikan untuk pelaku pelecehan seksual.
“Wah itu harus kita buka dulu. Udah jelas lah itu pelanggaran berat. Tapi kita jangan menuduh dulu dosen itu melakukan pelecehan seksual. Jangan menuduh. Ini kan masih praduga tak bersalah. Kita belum punya alat bukti menuduh dia itu sudah pelecehan seksual,” terangnya.
6. Pengakuan HS belum kuat dijadikan alat bukti
Pengakuan HS soal pelecehannya yang dilakukannya berbeda dengan korban. Menurut rektorat HS masih akan melakukan pelecehan tersebut. Berbeda jauh dengan penuturan korban yang sebelumnya mengaku sudah dilecehkan dengan cara digerayangi.
“Saya bisa saja mengakui, bahwa saya dilakukan pelecehan seksual. Dia (HS) tidak mengakui bahwa dia melakukan pelecehan seksual. Pengakuannya tidak sampai di situ. Baru mau mengarah ke sana. Langsung si mahasiswa minta turun,” ungkap Rosmayati.
Rosmayati juga mengaku sudah mencoba menghubungi korban lewat telepon. Namun tidak dijawab. Lantaran, korban memang sedang trauma dan psikologisnya tertekan.
“Kenapa si mahasiswa itu tidak melapor ke kita kita kan orangtuanya. Saya telpon, saya kan dapat nomor dari bu Elvi (Humas USU), saya telpon. Diangkatnya pun tidak,” ungkapnya.
“Kenapa takut, kita kan orang tuanya. Yang saya takutkan, ketakutan itu dalam arti yang lain nanti,” imbuhnya.
Rosmayati juga mengatakan jika HS sampai saat ini masih aktif sebagai dosen. Bahkan Rosmayati bilang HS masih mengajar. “Masih (aktif). Karena belum ada pembuktian,” katanya.
7. Rosmayati tak tahu kasus pelecehan seksual viral di media
Rosmayati kembali menegaskan jika pihaknya mengetahui kasus itu saat ada laporan dari lembaga pendamping korban. Padahal kasus itu sudah banyak terbit di media massa. Bahkan Rosmayati juga mengaku tidak pernah melihat media massa.
“Saya gak tau dari media, saya dapat surat dari LSM ini. Dua kali saya dapat surat melaporkan kegiatan itu. Orang saya gak pernah lihat media. Yang tukang lihat media bu Elvi (Humas USU) ajah. Bu Elvi saja yang melaporkan kepada saya apa yang ada di media,”
“Oke yah, tolong dibuat beritanya jangan ada indikasi-indikasi yang lain yah. Kami di tingkat universitas belum tahu apa-apa,” pungkasnya.
Baca Juga: USU Dinilai Lamban Tangani Kasus Dosen 'Predator' di Kampusnya