W-20, Greenpeace dan Masyarakat Bentang Poster Kritik di Danau Toba

Hak perempuan adat dan isu lingkungan jadi sorotan

Simalungun, IDN Times – Gelaran Woman 20 (W20) Summit di Danau Toba diwarnai unjuk rasa, Rabu (20/7/2022). Sejumlah lembaga non pemerintah bersama masyarakat di kawasan Danau Toba, membentang poster di atas danau.

Aksi itu menarik perhatian. Terutama satu spanduk raksasa bertuliskan “Perempuan Sumatra Utara Lawan Deforestasi” yang dibentangkan di permukaan Danau Toba. Di sekeliling spanduk, sejumlah kapal melakukan pengawalan. Kapal – kapal itu juga ditumpangi oleh para pegiat yang didominasi perempuan.

Sejumlah lembaga yang  terlibat antara lain; KSPPM, Greenpeace Indonesia, KPA, AKSI, RAN, AMAN, BAKUMSU, BITRA, PDPK, Petrasa, YAK, Yapidi.

1. Sampaikan pesan kepada delegasi W20 soal pentingnya menjaga kawasan hutan dan masyarakat adat

W-20, Greenpeace dan Masyarakat Bentang Poster Kritik di Danau TobaGreenpeace dan kelompok masyarakat sipil menggelar aksi protes di sela gelaran W20 Danau Toba, Kabupaten Simalungun, Rabu (20/7/2022). (Dok: Greenpeace Indonesia)

Aksi ini jadi media pemnyampaian aspirasi masyarakat kepada para delegasi dan partisipan  W20. Mereka ingin menyampaikan bahwa betapa pentingnya menjaga hutan dan hak-hak masyarakat adat, khususnya perempuan adat dari ancaman deforestasi dan eksploitasi lahan.

“Aksi ini adalah bentuk penyampaian aspirasi kami bahwa pertemuan W20 Summit yang mengedepankan isu kesetaraan dan diskriminasi gender, ekonomi inklusif, perempuan marjinal dan kesehatan, seharusnya juga berkaca pada apa yang terjadi di hutan Sumatera Utara dan sekitarnya. Banyak masyarakat adat khususnya perempuan adat dan pedesaan terpaksa kehilangan ruang hidupnya akibat perampasan tanah dan hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, demi meraup keuntungan semata,” ujar Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/7/2022) siang. 

Baca Juga: 8 Poin Penting Pembahasan KTT W20 Summit di Danau Toba

2. Program pembangunan semakin memarjinalkan masyarakat adat

W-20, Greenpeace dan Masyarakat Bentang Poster Kritik di Danau TobaGreenpeace dan kelompok masyarakat sipil menggelar aksi protes di sela gelaran W20 Danau Toba, Kabupaten Simalungun, Rabu (20/7/2022). (Dok: Greenpeace Indonesia)

Rocky Pasaribu dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat  (KSPPM) menyampaikan, selama ini, masyarakat adat khususnya perempuan di Sumut atau pun hampir seluruh wilayah di Indonesia, kerap menjadi korban ketimpangan struktural dan pembangunan eksploitatif yang tidak memperhatikan aspek gender.

“Berbagai program pembangunan telah menimbulkan konflik sosial serta kehancuran lingkungan hidup yang kemudian mengesampingkan dan bahkan melanggar hak-hak perempuan,” ujar Rocky.

Dia menilai, perempuan masih menjadi kelompok yang paling rentan kehilangan sumber penghidupan akibat kasus penghancuran hutan dan perampasan lahan. Bahkan, tidak jarang juga yang menjadi korban kekerasan pada wilayah konflik agraria.

”Meskipun Presiden Jokowi telah menyerahkan 4 SK Hutan Adat di Danau Toba pada awal Februari 2022, namun belum menjawab persoalan masyarakat adat di Danau Toba. Masih banyak konflik agraria yang belum diselesaikan dengan serius. Atas nama pembangunan perampasan tanah terus terjadi. Selain perampasan tanah adat, kerusakan hutan dan lingkungan juga tidak serius ditangani. Perampasan tanah yang dilakukan akibat kehadiran PT TPL merupakan pemiskinan struktural yang telah terjadi lebih dari tiga dekade, dan berkontribusi besar memperburuk kualitas hidup perempuan,” tegas Rocky.

3. Kehadiran perusahaan besar dan program pemerintah dinilai menjadi sumber petaka

W-20, Greenpeace dan Masyarakat Bentang Poster Kritik di Danau TobaGreenpeace dan kelompok masyarakat sipil menggelar aksi protes di sela gelaran W20 Danau Toba, Kabupaten Simalungun, Rabu (20/7/2022). (Dok: Greenpeace Indonesia)

Di kawasan Toba, dalam keterangan tertulis itu, ada dua perusahaan besar yang dituding telah merenggut hak-hak perempuan di pedesaan. Bahkan menjadi penyebab, hilangnya kawasan hutan adat. Salah satu contohnya adalah hilangnya hutan kemenyan.  

Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi menyebabkan krisis iklim yang menyulitkan para petani untuk menentukan musim tanam. Para petani juga seringkali mengalami gagal panen akibat buruknya cuaca yang tidak dapat diprediksi.

Pada pertengahan 2020, datang ancaman baru seiring lahirnya proyek pangan skala besar atau Food Estate. Proyek yang digadang-gadang sebagai program ketahanan pangan untuk menangani krisis pangan di masa yang akan datang, nyatanya malah menghilangkan budaya, pengalaman, dan pengetahuan perempuan dalam corak pertanian lokal.

“Mereka harus berpatokan pada sistem pasar yang ditentukan oleh pemerintah dan korporasi besar. Proyek ini, sama halnya dengan proyek pertanian sebelumnya, hanya akan melahirkan konflik baru, industrialisasi pangan yang mengenyampingkan masyarakat, serta monopolisasi lahan-lahan pertanian dengan skema yang tampak baik di permukaan saja,” ujar Rocky.

Negara anggota G20 yang merupakan forum ekonomi utama dunia di mana secara kolektif mewakili dua per tiga atau sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia memiliki posisi strategis bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan penanganan krisis iklim.

“Indonesia sebagai pemegang Presidency G20 harus memastikan bahwa ada kesepakatan yang lebih ambisius yang harus dicapai untuk mengedepankan model pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, dengan beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan, dan menghentikan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berbasis lahan yang mendorong deforestasi, merampas hak- hak masyarakat adat dan petani, serta hanya menguntungkan segelintir elit,” pungkasnya.

Baca Juga: Menteri Sandi Sayangkan Ada Asap Kebakaran saat Event W20

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya