Tolak RUU Penyiaran, Tayangan Investigatif adalah Hak Masyarakat
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Medan, IDN Times – Pelarangan tayangan investigatif secara eksklusif yang termaktub di dalam Rancangan Undang-undang Penyiaran menuai polemik. Selain pasal-pasal lainnya yang dinilai kontra-produktif dengan kemerdekaan pers. Mayoritas masyarakat pers menolak RUU penyiaran ini.
Dalam beleid RUU penyiaran pada Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c) berbunyi; “Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi."
Dewan Pers sebagai induk lembaga konstituen pers sudah meyatakan menolak RUU Penyiaran. Bagi Dewan Pers, RUU penyiaran adalah upaya kesekian kalinya pemerintah untuk membungkam kemerdekaan pers.
1. Upaya pembungkaman pers gencar dilakukan sejak periode pertama Presiden Joko Widodo
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu membeberkan, upaya pembungkaman terhadap pers, santer dilakukan sejak 2014, bersamaan dengan kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode pertama. Kata Ninik, saat itu Dewan Pers mendapatkan dokumen yang memperlihatkan upaya untuk membungkam kemerdekaan pers. Meski pun Ninik tidak mendetil secara lugas, dokumen yang dimaksud.
Upaya pembungkaman juga terjadi di dalam RUU KPU pada 2017, hingga berlanjut pada Undang-undang Cipta Kerja dan KUHP baru.
“Ini sebagai wake up call bagi kita. Kemerdekaan pers itu bukan untuk memberikan perlindungan kepada jurnalis. Tapi ini merupakan perlindungan terhadap warga negara yang punya hak untuk mendapatkan informasi. Hak atas kebutuhan informasi yang tidak didapatkan masyarakat yang itu diwakili oleh pers,” kata Ninik saat ditemui di Kota Medan, Sabtu (18/5/2024).
2. Ada ungkapan tayangan eksklusif jurnalistik investigatif mendahului penegakan hukum, itu keliru!
Dalam berbagai dialog diungkap, pelarangan tayangan jurnalistik investtigatif dinilai mendahului penegakan hukum oleh sebagian pihak. Ninik menegaskan, itu merupakan sebuah kekeliruan. Kata Ninik, jurnalistik investigatif adalah cara untuk memenuhi hak warga negara untuk mendapatkan informasi. Ninik mengatakan, investigasi juga memberikan dampak bagi masyarakat.
Pelarangan dalam beleid RUU penyiaran itu, ditegaskan Ninik, adalah cara-cara untuk pembungkaman.
“Kalau ada yang mencoba-coba mengembalikan pers kepada situasi yang buram, bisa di-breidel, dan dibatasi, tata cara investigatif yang sudah didapatkan dan tidak boleh ditayangkan pada media secara eksklusif, ini artinya cara – cara pembungkaman. Bisa jadi nanti kalau dianggap, dengan indikator tertentu, dikatakan tidak bagus dan lainnya, maka bisa dihentikan, dibreidel dan lainnya. Ini kekhawatiran kita semua,” katanya.
Regulasi soal pers seyogyanya sudah diatur di dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999. Banyak pihak menilai, kehadiran RUU penyiaran akan mengakibatkan tumpang tindih regualasi.
3. Dewan Pers mengajak jurnalis melawan pembungkaman
Dalam kesempatan itu, Ninik mengajak seluruh insan pers untuk bersama-sama bisa memahami berbagai regulasi yang ada. Termasuk melawan aturan yang dinilai berpotensi berakibat pada pembungkaman.
Untuk diketahui, RUU penyiaran menjadi penyebab unjuk rasa jurnalis di berbagai daerah. Di Kota Medan, para jurnalis juga berencana untuk menggelar unjuk rasa menolak RUU Penyiaran.
Baca Juga: Progres Stadion Utama Sumut Sudah 41 Persen, Menpora Yakin Juli Tuntas