Sulap Sertifikat Lahan Mangrove Hutan Langkat

Nelayan menjaring petaka laku culas mafia tanah

Pohon-pohon mangrove tampak berjajar di sisi kanan dan kiri sungai di Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Seorang nelayan berinisial Wan membawa Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Sumatera Utara menelusuri sungai yang kerap digunakan sebagai jalur utama perahu warga sekitar untuk melaut itu.

Sekilas, tak ada yang aneh dari mangrove itu. Namun, jika dilihat lebih dalam, ternyata barisan bakau, bagai kedok untuk menutupi perkebunan kelapa sawit yang tersembunyi di belakangnya. 

“Waktu masih ada bakau. Melaut satu mil, dua mil sudah dapat banyak ikan. Kita pun di alur sungai ini cari ikan gampang. Kalau sekarang udah payah,” kata Wan akhir September 2022 lalu.

Perahu yang ditumpangi KJI sempat merapat di salah satu dermaga kecil. Wan menuntun naik ke jalan setapak. Melewati pohon bakau dan menunjukkan pemandangan asli kawasan mangrove: sejauh mata memandang hanya terlihat ratusan pohon sawit berdiri tegak.

Tinggi sawit-sawit tersebut sekitar 10 meter. Jika dilihat dari diameter batang pohon dan daun, usianya diperkirakan sudah cukup tua. Buah yang masih ada di pohon juga tidak terlihat segar. Di antara rapi baris sawit, ada puluhan sapi digembalakan.

Pada beberapa titik, perkebunan sawit masuk ke dalam Suaka Margasatwa Karang Gading Langkat Timur Laut (SM KG-LTL). Eksploitasi terhadap kawasan terus terjadi. Selain perkebunan sawit, ekspansi tambak hingga perambahan kayu bakau untuk produksi arang menjadi ancaman serius bagi 15.765 hektare luas suaka. 

Perkebunan buah penghasil minyak mengambil andil serius dalam kerusakan kawasan mangrove di Pantai Timur Sumatera. Ada yang dikelola oleh perorangan hingga  perusahaan. Penguasaan lahan di kawasan SM KG-LTL sudah berlangsung lama. Dugaan pembiaran dari otoritas terkait terus menguat. Upaya perlindungan dan penegakan hukum terhadap pelanggar minim. 

November 2021, Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Nomor Print-16/L.2/Fd.1/11/2021. Mereka menduga kuat ada rasuah dalam  penerbitan sertifikat tanah di atas SM KG-LTL. Perintah penyidikan ini terbit tidak lama setelah Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo menginstruksikan jajarannya untuk mengusut mafia tanah.

Sprindik ini terbit berdasar penyelidikan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara medio November 2021. "Tim penyelidik telah menemukan adanya peristiwa pidana dengan bukti permulaan yang cukup, bahwa di SM KG-LTL, di Tanjung Pura ditemukan fakta bahwa sebagian kawasan telah dialihfungsikan yang seharusnya menjadi hutan bakau," ujar Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung saat itu, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, Senin (6/12/2022) lalu.

Dalam kasus yang diumumkan, ada 210 hektare lahan yang diduga dikuasai mafia tanah. Jika dibikin perbandingan, lahan seluas itu bisa digunakan untuk membuat 194 lapangan bola berstandar FIFA. Total luas satu lapangan sepak bola yakni 10.800 meter persegi atau 1,08 hektare.

Sebanyak 60 sertifikat lahan terbit atas nama perorangan. Ada 28 ribu batang sawit yang tumbuh di atasnya. 

Modus penguasaan lahan diduga melibatkan koperasi. Dalam kasus yang tengah bergulir, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, menemukan Koperasi Serba Usaha (KSU) Sinar Tani Makmur yang diduga dijadikan tameng.

“Lahan hanya dikuasai satu orang yang diduga mafia tanah,” ujar Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati Sumut Yosgernold A Tarigan, Rabu (21/9/2022).

Kasus penyerobotan kawasan lindung ini sudah bergulir hampir setahun di Kejaksaan. Belum ada satupun yang ditetapkan menjadi tersangka. Kabar teranyar, tidak kurang dari 40 saksi yang sudah diperiksa. 

Di antara saksi, ada sejumlah nama mantan pejabat di antaranya; DH (Kepala BPN Langkat 2002-2004), SMT (Kepala BPN Langkat 2012), Nurhayati  (Kepala BPN Langkat 2009 - 2012), Saut Ganda Tampubolon (Kepala BPN Langkat 2013). Kasten Situmorang (KS) (Kepala BPN Langkat 2015), dan RM selaku mantan Kepala Seksi Penetapan Lahan pada Kantor BPN Langkat.

Kejaksaan juga sudah memeriksa Alexander Halim alias Akuang (AK) yang merupakan pemilik lahan. Kemudian R alias A (mantan karyawan perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit), R (Ketua Koperasi STM), Kepala Desa Tapak Kuda Imran. Termasuk Camat  dan lainnya yang terlibat dalam koperasi. 

Kejati Sumut sudah melakukan penggeledahan di dua lokasi. Kantor Pertanahan Langkat dan Kantor Wilayah Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sumut. Tim membawa banyak dokumen dan data dari dua tempat yang digeledah untuk melengkapi barang bukti. Pihaknya juga sudah melakukan peninjauan di objek perkara.

Sulap Sertifikat Lahan Mangrove Hutan LangkatKondisi mangrove di kawasan Desa Tapak Kuda, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Jejak Pemain Lahan

KJI Sumut melakukan penelusuran jejak kasus dugaan penyerobotan lahan SM KG-LTL oleh Akuang. Sepak terjangnya menguasai dan berbisnis perkebunan sawit di sana sudah cukup lama. “Sudah sejak 1990 an,” ujar Kepala Dusun V Desa Tapak Kuda Amrun, Minggu (27/9/2022).

Versi Amrun, dia mengenang, ketika era 1990 an hutan bakau di kawasan Tapak Kuda begitu lebat. Bahkan, untuk mencari ikan begitu gampang.

“Memancing di depan rumah langsung dapat. Sekarang dapat seekor saja susah. Dulu kepiting di sini naik-naik ke darat,” ungkapnya.

Amrun berkisah, kala itu masyarakat baru dipindahkan oleh pemerintah dari Desa Tapak Kuda Lama. Satu pulau kecil yang penduduknya terpaksa direlokasi karena pulau yang terancam akan tenggelam. Perencanaan pemindahan mulai dibahas pada 1985 (Sumber: Arsip Tempo 1985 dan 1991). Ancaman tenggelamnya pulau di Selat Malaka itu sudah terjadi sejak 1975. Ombak kian deras menghantam dan menggerus daratan. Pasang air yang naik ke darat kian tinggi. Penebangan bakau secara masif disinyalir kuat menjadi penyebab pulau yang semula memiliki luas 150 hektare. 

Relokasi masyarakat kemudian dilakukan bertahap mulai 1987 sampai 1992. Masyarakat dipindahkan ke wilayah Desa Pangkal Pasar Bubun. Setelah mereka pindah, wilayah itu berganti nama menjadi Desa Tapak Kuda. Saat ini dikenal sebagai Tapak Kuda Baru.

“Kementerian Sosial sama Kementerian Kehutanan yang memindahkan. Satu orang dikasih rumah,  di atas  tanah berukuran 20 x 30 meter. Ini juga rumah kami masih kawasan suaka kalau di peta,” kata Amrun sembari menunjukkan satu rumah yang bentuknya masih asli sejak awal pemindahan.

Amrun adalah warga asli di Tapak Kuda lama. Hanya makam moyangnya yang tersisa di sana. Belakangan, di pulau Tapak Kuda, kembali ditanami mangrove. Di Desa Tapak Kuda yang baru, Amrun sudah menjabat sebagai Kepala Dusun 30 tahun lamanya. Dia menjadi saksi hidup, bagaimana mangrove di sekitar lokasi tempat tinggalnya dibantai, disulap menjadi kebun sawit.

Amrun mengetahui sedikit jejak Akuang. Versi dia, pembukaan lahan dimulai di akhir 1990-an. Ada alat - alat berat yang masuk. Bahkan, Amrun cerita, tidak hanya Akuang yang mengusahai lahan di kawasan konservasi. Mereka juga masuk dan mengusahai kawasan di tahun - tahun yang tidak jauh berbeda dengan Akuang. 

Amrun heran, kenapa orang lain bisa dengan gampang masuk ke kawasan dan membabat hutan. Sementara, masyarakat sampai saat ini kesulitan untuk mendapatkan lahan. Pun ada, statusnya hanya hak pengelolaan melalui kemitraan konservasi dengan pemerintah.

Persekongkolan Pemerintah Desa

Dari Amrun, KJI beralih ke narasumber lain. Dua orang masyarakat Adi dan Rusli –bukan nama sebenarnya–  membeberkan cerita bagaimana Akuang bisa menguasai lahan. KSU Sinar Tani Makmur yang diduga bodong menjadi ‘kendaraannya’. Hanya bermodal plang, dan pengurus yang tidak jelas.

Persekongkolan penguasaan lahan diduga melibatkan pemerintahan desa. Adi dan Rusli menunjukkan salinan dokumen bertahun 1998 berjudul Surat Pernyataan Bersama soal ganti rugi. Warkat berlogo garuda di sudut kiri atas itu diteken Djamian sebagai Kades Pematang Cengal dan Ismail, Kades Tapak Kuda.

Ada lima poin pernyataan yang tertulis di dalam dokumen. Di antaranya adalah, bahwa Djamian menguruskan ganti rugi tanah masyarakat Desa Tapak Kuda seluas 400 hektare.  Besaran ganti rugi yang dibayarkan, Rp400 ribu per persil (sebidang tanah dengan ukuran tertentu) untuk masyarakat dan Rp300 ribu untuk pemerintah Desa Tapak Kuda. 

Ganti rugi yang diserahkan Djamian, diduga berasal dari Akuang. Kedua Kades diduga terlibat menjadi makelar laki-laki beretnis Tionghoa itu untuk menguasai lahan. “Kepala desa bekerjasama menjualkan lahan itu,” kata Adi.

Lahan - lahan yang diganti rugi seolah pernah dikelola masyarakat. Bahkan, Adi juga mendapat keterangan dari orang yang diminta seolah menjual lahan dan diberikan ganti rugi. 

“Dari yang menjual itu bilang. Kami disuruh tebas. Kemudian diambil satu pancang -satu pancang.” imbuhnya. 

KJI juga menemukan sejumlah salinan sertifikat lahan plus surat iuran pembangunan daerah ber-tarikh 1975 milik orang-orang yang bukan penduduk Tapak Kuda.  Salinan surat-surat berharga itu diteken Kepala Sub Direktorat Agraria - Kepala Seksi Pendaftaran Tanah bernama NT Silangit. 

Nama-nama pemilik di antaranya berinisial IA dan H. Adi menyebut H sudah dipanggil ke Kejaksaan. Dia menjelaskan, H adalah anak dari salah satu kepala desa yang pernah menjabat selain Ismail. Sementara itu, lahan milik IA dipindahkuasakan kepada D pada 2007. Persil-persil ini kemudian diduga menjadi bagian yang dijual kepada Akuang. 

“Itu semua melalui kepala desa. Kami juga gak tahu belakangan ada sertifikat yang terbit. 60 sertifikat (yang sedang diperkarakan)  itu kita itu gak tahu siapa – siapa saja namanya. Tapi rata-rata orang luar Tapak Kuda,” ungkapnya.

Adi mengingat, Akuang mulai melakukan pembersihan lahan pada awal 2000 - an. Setelah hutan bakau bersih, barulah ditanami sawit. Saat pembukaan lahan, masyarakat setempat tidak ada yang terlibat. Akuang menggunakan pekerja dari luar Tapak Kuda.

Sulap Sertifikat Lahan Mangrove Hutan LangkatPerkebunan sawit mengambil andil serius dalam kerusakan kawasan mangrove di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Duduk Perkara Versi Kejaksaan Tinggi

Sampai saat ini, Kejaksaan terus melakukan penyidikan kasus. Tidak hanya dugaan korupsi, mereka juga melibatkan ahli lingkungan untuk menghitung kerugian ekologi.

 “Kita sedang meneliti sejak kapan sawit itu berdiri. Kenapa di kawasan konservasi  ada sawit. Kan sudah jelas ada dasar hukumnya. Kasus ini terus berlanjut. Kita bersinergi dengan ahli,” kata Kasipenkum Kejati Sumut Yosgernold A Tarigan yang ditemui, Senin (10/10/2022).

Yos – sapaan akrabnya –, mulai menjelaskan gambaran mulai dari jual beli lahan hingga penerbitan sertifikat. Akuang mulai membeli lahan yang dikuasainya pada rangkaian 2009 hingga 2012. Namun dalam akta jual beli, dia menggunakan nama - nama karyawannya. Dalam rentang waktu itu satu per satu sertifikat terbit. 

“Tidak semua dengan nama karyawan. Ada nama AK  juga,” katanya. 

Pihaknya mensinyalir, ada keterlibatan perangkat desa untuk memuluskan jalan Akuang. Pembelian lahan dibuat seolah dari masyarakat kepada Akuang. 

“(Kemudian) mereka menaikkan status ke sertifikat,” katanya. 

Temuan Kejati Sumut menunjukkan, pada 2013, sertifikat yang masih menggunakan identitas orang lain dibaliknamakan oleh Akuang. Kini sebagian besar dari 60 sertifikat yang terbit sudah atas nama dirinya. 

Kata Yos, apa yang dilakukan Akuang sudah jelas merupakan perbuatan melanggar hukum. Namun pihaknya masih terus menggali lebih jauh duduk perkaranya. 

“Kita secara prinsip ingin ini cepat. Cuma secara pemberkasan, maunya ini mumpuni dan komprehensif,” ujarnya.

KJI mencoba mengonfirmasi Akuang. Dua nomor ponselnya  tidak tersambung. Begitu juga dengan pesan singkat yang dikirimkan. KJI sudah mengirimkan surat permintaan wawancara kepada petugas di kebun Akuang. Sama sekali, tidak ada jawaban.

Kepala Desa Tapak Kuda, Imran yang juga diperiksa sebagai saksi, mengaku tidak banyak mengetahui soal duduk perkara penerbitan sertifikat. Imran baru saja dilantik pada Agustus 2022. Pengakuannya, dia juga pernah menjadi Kepala Desa Tapak Kuda periode 2010 - 2015.

Dia tahu Akuang memiliki lahan di sana. Dalihnya, lahan yang diusahai Akuang bukan kawasan lindung. 

“Tidak ada pemberitahuan kepada kita sebagai pimpinan wilayah, kalau itu masuk ke dalam wilayah konservasi,” kata Imran lewat sambungan telepon, Senin (10/10/2022) petang. 

Imran mengaku tidak mengetahui soal proses jual beli lahan yang dilakukan Akuang. Kata dia kawasan itu sudah dikelola masyarakat sejak awal 1990 - an. Akuang sudah memiliki sertifikat lahan sejak 2000-an. “Setelah bermasalah ini, baru kita tahu (itu konservasi),” imbuhnya. 

Imran justru mempertanyakan kinerja Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut. Mengapa seakan tidak ada pencegahan, penindakan dan pengawasan yang jelas. 

“Semenjak saya duduk (menjabat), lahannya sejak 2000-an sudah bersertifikat. 2000-an awal itu. 2001 atau 2005. Ada yang 2001, ada yang 2005,” kata Imran. 

Dia juga bingung, kenapa BPN menerbitkan sertifikat di areal konservasi. Harusnya, BPN melakukan pengecekan.

“Saya juga bingung, pihak yang bertanggung jawab ini siapa. Kita tidak ada dikasih tahu. Pemberitahuan bahwa itu kawasan juga gak ada. Sertifikat itu kan bukan bim salabim. Kan panjang lho. Bukan mau mengeluarkan rapor anak sekolah. Jadi saya pun bingung lah,” tukasnya.

Kepala Seksi Wilayah II BBKSDA Sumut Herbert Aritonang yang dikonfirmasi akhir September 2022 meminta KJI mencari informasi dari Kejati Sumut. Padahal, KJI ingin mengetahui, sejauh mana peran mereka dalam melakukan pengawasan. Kepala Sub Bagian Data Evlap dan Kehumasan BBKSDA Sumut Andoko Hidayat pun kompak. 

“Saya izin pimpinan dulu,” kata Andoko, Kamis (6/10/2022).

Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran Kanwil BPN Sumut Indra Imanuddin memilih tidak berkomentar. Indra hanya menyarankan untuk mengonfirmasi BPN Langkat.

Syafrizal Pane, Kepala BPN Langkat, sampai berita ini dirilis, tidak menjawab telepon dan  pesan singkat yang dikirim KJI. 

Culas alih fungsi kawasan menjadi polemik serius di Indonesia. Sentra Advokasi untuk Hak Dasar Rakyat (SAHdAR) mencatat, ada dua kasus alih fungsi lahan di Sumatra Utara berujung di meja hijau.

Pertama, kasus yang melibatkan Bupati Toba Samosir (Sekarang Toba) Pandapotan Kasmin Simanjuntak. Dia divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi pengadaan lahan pembangunan PLTA Asahan III di atas hutan register 44 dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Dia divonis 18 bulan penjara. 

Kemudian kasus yang menjerat Kepala Desa Sampali, Kecamatan Percut Seituan, Kabupaten Deli Serdang Sri Astuti. Dia diganjar empat tahun penjara karena menerbitkan 405 Surat Keterangan Tanah (SKT)/Surat Keterangan Penguasaan Fisik Tanah di atas lahan HGU atau eks HGU PTPN 2 Kebun Sampali. 

Analisis SAHdAR, terdapat pola yang sama dalam proses alih fungsi lahan negara, "ada  penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat terkait," kata Koordinator Eksekutif SAHdAR Ibrahim. 

Dalam kasus Kasmin, dia menggunakan jabatannya untuk membuat kebijakan mengalihkan lahan hutan kepada pihak ketiga. Sementara kasus Sri Astuti menggunakan jabatannya untuk menerbitkan SKT terhadap lahan eks HGU kepada warga

“Proses alih fungsi lahan dimulai ketika masyarakat diorganisir melalui kelompok-kelompok, seperti kelompok tani, koperasi untuk merambah lahan,” ucapnya.

Kemudian, lanjut aktivis GMNI itu,  kepala desa atau pejabat pertanahan menerbitkan dokumen pendukung perubahan fungsi lahan. “Di sini potensi korupsi mulai muncul,” imbuhnya.

Sulap Sertifikat Lahan Mangrove Hutan LangkatSeorang nelayan menyempatkan diri salat di atas perahunya di tengah hutan mangrove, Kabupaten Langkat. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Bakau Hilang Petaka Terbilang

Masifnya perambahan kawasan bakau membuat warga Tapak Kuda memanen petaka. Warga yang dulunya sejahtera di lokasi yang lama, dihadapkan ancaman kemiskinan. 

Era sulit mulai dirasakan Amrun pada 2010-an. Ikan sulit didapat, jarak melaut semakin jauh, hasilnya tidak sepadan. Berbeda jauh saat mereka baru dipindahkan ke sana dan hutan mangrove masih lebat.

“Kalau dulu cari 20 kilogram ikan gampang. Gak sampai ke lepas pantai sana,” ucapnya sambil mengisap kreteknya dalam.

Untuk menambah penghasilan, Amrun dan warga bertani di atas lahan kemitraan konservasi sekaligus melakukan penghijauan. Kelompok Tani Tumbuh Subur yang dibentuk mereka mengelola 250 hektare bekas kebun sawit di dalam SM KG-LTL. 

Keresahan Amrun soal kerusakan lingkungan juga dirasakan Wan (bukan nama sebenarnya). Sebelum ekspansi sawit,  hasil tangkapan ikan melimpah ruah. “Sampai ada anggapan toko emas berjalan. Emak-emak kalau undangan, ‘bersirip’ emas itu. Zaman sekarang habis sudah,” kata Wan.

Kini nelayan harus menyabung nyawa. Melaut hingga perbatasan Malaysia. Di Selat Malaka mereka bertahan selama seminggu untuk menjaring ikan. 

Nasib lebih berat dialami Wan. Harus berbagi hasil dengan tauke pemilik perahu yang disewanya. Mereka juga harus bersaing dengan nelayan modern pengguna pukat. 

Dulu, saat kondisi mangrove masih baik, Wan bisa dengan mudah mendapatkan penghasilan Rp5 juta per bulan. Itu didapat dengan skema, satu hari melaut, satu hari libur. 

“Kalau sekarang ini, seminggu kita ke laut ikan pun susah dapat. Mencari Rp2 juta per bulan susah. Kalau mengharap dari laut semata – mata, anak tak bisa sekolah,” tuturnya. 

Istri wan terpaksa banting tulang sebagai pencari udang. Meski upahnya tidak seberapa, mau tidak mau itu harus dilakukan untuk mendapat penghasilan tambahan. Ancaman kemiskinan juga membuat warga Tapak Kuda memilih menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) atau merantau ke kota mengadu nasib.

“Sekarang ini di mana ada pesisir,  koperasi pinjaman uang laris manis. Banyak yang ngutang. Padahal kita ambil, belum tentu terbayar. Karena kebutuhan itu makanya meminjam,” imbuhnya. 

Sulap Sertifikat Lahan Mangrove Hutan LangkatKelestarian kawasan hutan mangrove di Kabupaten Langkat terancam dengan ekspansi perkebunan, tambak dan perambahan kayu untuk arang. (Suhairy Faiz for IDN Times)

“Pembunuhan” Senyap

Laporan Bank Dunia pada 2022 dalam “The Economics of Large-scale Mangrove Conservation and Restoration in Indonesia” menyebutkan, mangrove memberikan jasa  lingkungan yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Jasa lingkungan ini juga termasuk perlindungan pantai, pengaturan iklim, habitat bagi perikanan, penyedia bahan baku, dan jasa budaya. 

Hitungan riset itu, jasa lingkungan kawasan menghasilkan manfaat rata-rata USD15 ribu per hektare per tahun atau setara dengan Rp230 juta. Namun pada beberapa wilayah, manfaatnya bisa mencapai hampir USD50 ribu per hektare per tahun atau setara dengan Rp767 juta. Tergantung pada kondisi ekosistemnya. 

“Jika diasumsikan demikian, 210 hektare yang sedang berperkara, bisa menghasilkan jasa lingkungan hingga Rp48,3 miliar per tahun,” kata Pakar Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Onrizal, Rabu (13/10/2022). 

Sebelum ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa lewat SK Menhut Nomor 579/2014, Langkat Timur Laut dan Karang Gading adalah kawasan hutan dengan Zelfbestuur Besluit (ZB) atau surat keputusan masing - masing pada 1932 dan 1935  yang disahkan dengan Besluit (ketetapan) Seripadoeka Toean Besar Goeverneur dari Pesisir Timoer Poela Pertja. Luas hutan di Karang Gading adalah 6.425 hektare dan Langkat Timur Laut  9.520 hektare. 

Kemudian dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 811/Kpts/Um/11/1980 tanggal 5 November 1980, kedua kawasan tersebut ditunjuk sebagai Suaka Alam Cq. Suaka Marga Satwa. Secara administratif, SM KG-LTL  terletak di Kecamatan Hamparan Perak dan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang serta di Kecamatan  Secanggang dan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat dengan total luas 15.765 hektare. 

Riset Onrizal menunjukkan kondisi SM KG-LTL pada 1989 memiliki mangrove  11.179,09 hektare. Dalam tiga dekade, bakau yang hilang mencapai 25 persen atau 2.871 hektare. Pada 2018, hutan mangrove yang tersisa tinggal 8.303,35 hektare.

“Hilangnya kawasan disebabkan perluasan perkebunan sawit serta tambak. Kondisi ini membuat nelayan kehilangan 40 persen pendapatannya,” jelasnya. 

Deforestasi SM KG-LTL menyumbang angka dalam hilangnya 60 persen hutan mangrove Pantai Timur 30 tahun terakhir. 

Musnahnya 100 hektare mangrove berakibat pada hilangnya lebih kurang 1,2 ton udang. Karena udang bergantung pada ekosistem mangrove yang sehat. Hasil riset lainnya menunjukkan dua per tiga biota laut menghuni hutan mangrove yang baik.

Kerusakan juga berakibat intrusi air laut. Kondisi air tanah di seputar kawasan pesisir akan menjadi asin. Karena penyaringnya hilang. Potensi abrasi pantai semakin besar. Mangrove juga berperan penting menjaga iklim, karena menyimpan karbon lima kali lipat dari hutan yang ada di daratan. 

“Kehilangan mangrove berarti membunuh secara perlahan masyarakat pesisir. Orang di kota bisa makan seafood karena ada mangrove,” pungkasnya.

 

*Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaborasi yang dilakukan oleh anggota Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Sumut; IDN Times dan Tribun Medan.

Baca Juga: 14 Anak Buah Bos Judi Online Jadi Tersangka, Apin BK Masih Buron

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya