Pengetahuan Masyarakat Minim, Pemasungan ODGJ masih Marak di Sumut

Medan, IDN Times – Tren kasus pasung bagi Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) sempat marak di Sumatra Utara. Banyak faktor yang mendasari pemasungan dilakukan.
Dosen Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatra Utara Wardiyah Daulay menjelaskan, faktor pemasungan dilakukan karena keluarga menganggap ODGJ merupakan aib. Namun lebih jauh lagi, ada faktor lain yang membuat pemasungan dianggap sebagai cara menangani ODGJ oleh keluarga.
1. Pemahaman masyarakat masih minim soal penanganan gangguan jiwa

Penyebab lainnya yang paling krusial, menurut Wardiyah adalah minimnya pemahaman masyarakat soal gangguan jiwa. Kemudian soal faktor ekonomi yang membuat ODGJ tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan.
“Kemudian tidak ada yang merawat anggota keluarganya yang ODGJ karena banyak faktor. Misalnya karena orangtuanya. Ada juga pemahaman di masyarakat mengira gangguan jiwa itu karena guna-guna. Padahal bukan,” ungkap Wardiyah, Sabtu (9/10/2021).
Pemasungan, menurut Wardiyah, bukan hanya tindakan memasung kaki atau pun tangan. Tindakan mengurung ODGJ juga dianggap pemasungan. Karena mengekang dianggap mengekang haknya sebagai manusia.
Tindakan pemasungan juga dianggap melanggar hukum. Karena dianggap tidak manusiawi.
2. Pemasungan marak terjadi di daerah

Sejak 2016, Wardiyah aktif dalam gerakan Indonesia bebas pasung. Dia banyak aktif dalam kegiatan pendampingan hingga penjuru daerah.
Dari hasil pengamatannya, angka kasus pemasungan lebih banyak ditemukan di lapangan ketimbang dari laporan yang ada. Banyak kasus yang tidak terdata karena keluarga tidak melaporkannya.
Di Sumatra Utara, kasus pemasungan terhadap ODGJ banyak terjadi di daerah. Mandailing Natal, kata Wardiyah termasuk daerah dengan jumlah kasus yang signifikan. Diperkirakan, ada 20 persen kasus pemasungan dari jumlah ODGJ yang ada. Penyebabnya didominasi oleh faktor ekonomi.
“Bahkan ada yang terkena gangguan jiwa karena soal harta warisan,” ungkapnya.
Kemudian, kasus pemasungan juga banyak terjadi di Tapanuli Selatan. Di sana, gangguan jiwa banyak dialami oleh orang yang pulanh merantau. Kemudian ada juga yang salah menuntut ilmu-ilmu tertentu dengan motif keagamaan.
Selain di daerah, pemasungan juga marak terjadi di kota besar seperti Medan. Ada sejumlah kasus yang saat ini masih terjadi.
3. Deteksi dini kesehatan mental cukup penting dilakukan

Kesehatan mental menjadi isu yang penting dalam beberapa tahun terakhir. Tren rentang umurnya juga bergeser. Jika kesehatan mental dulu banyak menyerang rentang usia 35 ke atas, kini malah menyasar usia lebih muda.
“Kalau saat ini, usia 20 hingga dewasa awal,” kata Wardiyah.
Penyebabnya, karena tidak bisa mencapai ekspektasi di tengah era modern. Khususnya pada millennials yang sedang dalam tahap pencarian identitas. Potensinya cukup besar. Apalagi jika remaja tersebut menjadi korban perundungan (Bullying).
Sebenarnya, kata Wardiyah, gangguan jiwa bisa dicegah. Ada metode preventif yang bisa dilakukan. Peran orangtua cukup penting untuk melakukan deteksi dini.
“Kalau udah berisiko kepada skizofrenia kita bisa melakukan intervensi. Bekerjasama dengan psikiater dan perawat jiwa. Karena kalau perawat jiwa di Puskesmas. Sehingga mereka mengenal masyarakatnya,” ungkapnya.
Fasilitas kesehatan di Puskesmas saat ini pun sudah mendukung. Masing-masing Puskesmas saat ini sudah disyaratkan memiliki perawat kejiwaan. Bahkan ada psikiater yang rutin melakukan penyuluhan.
Namun sayangnya, isu kesehatan mental, saat ini belum menjadi perhatian orangtua. Minimnya pemahaman jadi satu tantangan dalam deteksi dini. Padahal, intervensi keluarga kepada orang yang memasuki potensi gangguan kesehatan mental begitu penting. Sehingga penanganannya tidak begitu berat. Karena jika sudah masuk ke tahapan skizofrenia, pasien akan tergantung dengan obat. Jika tidak diberikan obat dan penanganan yang baik, maka potensi akan kambuh akan tinggi.
Sampai saat ini, Wardiyah terus aktif melakukan proses penyadartahuan kepada masyarakat tentang penanganan ODGJ. Dia juga aktif membagikan kegiatan lewat media sosial.
4. Pemasungan bukan cara efektif penanganan ODGJ

Terpisah, Psikolog Irna Minauli menjelaskan, pemasungan biasa dilakukan kepada orang dengan gangguan jiwa yang cukup berat. Umumnya, para penderita memiliki halusinasi dan delusi (waham) serta perilaku yang dianggap aneh.
“Terkadang disertai dengan perilaku agresivitas baik terhadap diri sendiri maupun orang lain sehingga dianggap dapat membahayakan. Pada kelompok masyarakat yang tidak mampu membawa ke psikiater atau ke rumah sakit jiwa maka pilihan yang sering diambil adalah dengan memasung mereka,” kata Irna yang juga menjabat Direktur Minauli Consulting.
Pemasungan, kata Irna, tidak efektif dalam penanganan. Tindakan ini juga melanggar Hak Asasi Manusia. Ini juga berpotensi memperburuk kondisi kesehatan ODGJ. Karena biasanya, orang yang dipasung melakukan buang air besar dan air kecil di satu tempat yang sama. Sehingga sanitasinya cukup buruk.
“Kondisi yang buruk akibat pemasungan ini dapat memperparah kondisi penderita skizofrenia tersebut. Mereka mungkin semakin mengembangkan halusinasi dan delusinya. Pada kasus-kasus gangguan jiwa berat yang disertai dengan kecenderungan melukai diri sendiri atau orang lain maka penanganannya harus dilakukan oleh psikiater dan dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ),” ungkapnya.
5. Terapi vokasional bisa menjadi solusi penanganan ODGJ ketimbang dipasung

Kata Irna, pendekatan dukungan sosial begitu membantu pemulihan ODGJ. Harus ada pendampingan berkelanjutan kepada para ODGJ. Sehingga mereka perlahan merasa dihargai dan dibutuhkan.
“Ditingkatkan harga dirinya yang terpuruk, diberikan informasi tentang ganguannya dan bagaimana penangannya serta apa yang menjadi pencetusnya,” jelasnya.
Selain itu, para pasien ODGJ juga bisa dilibatkan dalam kegiatan vokasional. Sehingga mereka bisa mengalihkan halusinasinya. Misalnya bertani, membuat kerajinan dan lainnya.
“Beberapa tahun yang lalu ada penelitian menarik yang membandingkan tingkat kesembuhan pasien skizofrenia yang dirawat di RSJ Indonesia (Magelang) dan RSJ di Amerika. Ternyata tingkat kesembuhan yang di Indonesia lebih tinggi dibandingkan di Anerika. Setelah diteliti lebih mendalam hal ini disebabkan karena pasien RSJ di Indonesia lebih dilibatkan dalam aktivitas vokasional yang akhirnya menjadi bentuk terapi tersendiri. Sementara pasien di RSJ Amerika umumnya hanya duduk menonton TV atau aktivitas pasif lainnya. Sayangnya saat ini saya lihat di banyak RSJ, kapasitas pasien tidak sebanding dengan sarana dan prasarana yang ada sehingga kesempatan untuk berkebun atau beternak dan kegiatan vokasional lainnya menjadi sangat terbatas,” terangnya.
Soal maraknya kasus pemasungan di Sumut, Kepala Dinas Kesehatan Sumut Ismail Lubis sampai saat ini enggan memberikan komentar. IDN Times sudah berulang kali mencoba mengonfirmasinya.
Dilansir dari RRI, total kasus pasung di Sumut pada 2019 tercatat sebanyak 375 orang. Pada 2020 ada 373 orang dan triwulan I tahun 2021 sebanyak 365 orang.
Dari jumlah yang ada, pada 2019 sebanyak 136 orang dilepaskan dari pasung. Pad 2020 sebanyak 73 orang dan 37 orang pada triwulan I 2021.
Dari jumlah yang dibebaskan ini, ada juga yang kembali dipasung. Jumlahnya, pada 2019 8 orang, 14 orang pada 2020 dan 6 orang pada triwulan I 2021.