Pemerintah Gagap Tangani Corona, Krisis Bisa Lebih Parah Dari 1998

Kebijakan menggantung bikin rakyat bingung!

Medan, IDN Times – Saban hari korban COVID-19 terus bertambah di Indonesia. Data per 5 April 2020 menunjukkan, ada 2.273 kasus poitif COVID-19 di Indonesia. Sebanyak 198 orang meninggal dunia dan 164 berhasil sembuh. Angkanya pun diprediksi terus meningkat.

Pengelolaan data ini juga diakui tidak sinkron. Ada perbedaan signifikan mulai dari daerah hingga pusat. Boleh jadi angka kasus melebihi dari yang terdata.

Centang-perenang penanganan corona di Indonesia juga ditambah berbagai polemik di lapangan. Rakyat pun bingung, kenapa hal itu bisa terjadi.

Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo mengambil kebijakan, anggaran yang dikucurkan untuk penanganan mencapai Rp405 triliun. Penambahan anggaran itu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang baru ditekennya beberapa waktu lalu. Perppu berhujan kritik itu berisi tentang Stabilitas Perekonomian di masa Pandemi Corona.

“Kalau kita baca Perppu nomor 1 Tahun 2020, tekanan secara umum adalah tentang dampak yang diakibatkan dampak COVID-19. Pemerintah lebih menitikberatkan dampak dari COVID-19, ketimbang pemberantasan masalahnya itu sendiri,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Dadang Darmawan Pasaribu, Senin (6/4).

1. Kehancuran ekonomi diprediksi tinggal menghitung hari

Pemerintah Gagap Tangani Corona, Krisis Bisa Lebih Parah Dari 1998Ilustrasi kemiskinan (IDN Times/Arief Rahmat)

Pengambil kebijakan seperti sudah memprediksi. Dampak serius pandemi corona bukan hanya kesehatan. Terlebih kepada stabilitas ekonomi hingga terancamnya keamanan nasional. Sehingga, Perppu ini disusun dengan sangat mendesak. Penyelesaian masalah akan tersentral di pemerintah pusat jika situasi dampak pandemi kian memburuk.

Para ekonom sudah memprediksi, kondisi ekonomi akan terpuruk di bawah. Boleh jadi pada titik terendah. Ini juga begitu berdampak pada tatanan sosial di masyarakat.

“Dampak kesehatan sudah pasti. Tapi jika ekonomi hancur, rakyat akan terancam. Mungkin orang bakal kelaparan. Kalau secara teori, akan terjadi kerusuhan, penjarahan, kriminalitas dan lainnya. Itu juga harus diantisipasi,” ungkap mantan aktivisera reformasi itu.

Dadang juga memprediksi, kehancuran ekonomi tinggal menunggu waktu. Apalagi sudah mulai diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020.

“Karena walaupun PSBB tidak bicara lockdown, tapi dalam hal tertentu kita sudah lockdown. Misalnya mulai kemarin, tidak ada lagi orang asing yang boleh masuk ke Indonesia meskipun ada beberapa pengecualian. Walaupun sebenarnya negara lain sudah tidak mengizinkan kita masuk ke sana. Karena tingkat penanggulangan kesehatan kita dibawah rata rata dunia,” ungkapnya.

Baca Juga: Jangan Percaya! Ini 13 Mitos tentang Virus Corona yang Salah Kaprah

2. Pemerintah masih gagap menangani corona

Pemerintah Gagap Tangani Corona, Krisis Bisa Lebih Parah Dari 1998Petugas medis penanganan COVID-19 mengenakan baju Alat Pelindung Diri (APD) ketika berada di ruang isolasi Rumah Sakit rujukan khusus pasien COVID-19 Martha Friska di Medan, Sumatera Utara, Kamis (2/4). (ANTARA FOTO/Septianda Perdana)

Lantas, apakah Perppu dengan gelontoran dana Rp405 triliun itu bisa sukses melakukan penanganan? Itu masih sangat relatif, kata Dadang. Khususnya keberpihakan pada rakyat yang tingkat ekonominya di bawah rata-rata. Meskipun sudah ada kebijakan jaring pengaman sosial untuk masyarakat.

Pemerintah pun masih dianggap gagap dengan penanganan bencana berskala global. Karena pemerintah tidak terbiasa menghadapi bencana besar.

Belum lagi soal distrust atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ini menambah bolong langkah penanganan. “Karantina rumah atau PSBB ini akan membuat semua orang menonton pekerjaan pemerintah. Jadi itu memberikan kesempatan orang untuk berkomentar atas keputusan atau kebijakan pemerintah. Kita tahu saat ini hampir semua orang sudah menjadi netizen. Itu lebih berbahaya,” kata Dadang.

3. Krisis ekonomi bisa lebih parah dari masa reformasi 1998

Pemerintah Gagap Tangani Corona, Krisis Bisa Lebih Parah Dari 1998Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Berbagai kabar soal corona berseliweran di media sosial. Ada yang benar, lebih banyak yang hanya memprovokasi dengan hoaks atau pun disinformasi.

Dengan tingkat literasi yang rendah, masyarakat lebih percaya dengan kabar di medsos ketimbang media massa mainstream. Kondisi ini juga bakal memperparah langkah penanganan.

PSBB juga bakal tidak maksimal bisa dilakukan. Menyusul kemerosotan ekonomi yang terus terjadi. Orang-orang yang mengandalkan penghasilan harian dan bekerja di luar masih cukup banyak. Sedangkan langkah mitigasi dampak ekonomi juga menggantung.

Kondisi ini bagi Dadang akan memperparah keadaan. Boleh jadi krisis yang ditimbulkan lebih dari yang pernah terjadi saat reformasi 1998 dulu.

“Secara fundamental, situasi ekonomi macet. Secara global juga. Memaksa secara ekonomi kita sudah lebih berat berkali-kali lipat dari 1998,” ujarnya.

4. Waspadai pemburu rente penanganan musibah

Pemerintah Gagap Tangani Corona, Krisis Bisa Lebih Parah Dari 1998Petugas pemakaman menurunkan peti jenazah pasien COVID-19 di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Senin (30/3/2020). (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Jika mau dihitung soal keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat dalam penanganan dampak ekonomi di masa pandemi, masih butuh uji lapangan.

Dana Rp405 triliun yang digelontorkan juga harus diwaspadai. Tak jarang, kata Dadang, ada pemburu rente atau rentseeker yang mencari untung dalam penanganan bencana.

“Tidak tertutup kemungkinan ada penyalahgunaan. Peruntukannya juga secara gelondongan juga sudah disampaikan Perppu,” ungkapnya.

Jika ada yang memanfaatkan situasi ini untuk memperkaya diri, pemerintah harus tegas. Berikan hukuman yang berat. Rakyat tidak mau lagi kecolongan atau hanya menerima imbas dari penanggulangan bencana yang acakadut dan sarat korupsi.

5. Langkah penananganan juga masih berbau politis

Pemerintah Gagap Tangani Corona, Krisis Bisa Lebih Parah Dari 1998Petugas mengecek proses swab test yang baru dilakukan dari seorang tenaga medis. (IDN Times/Candra Irawan)

Langkah pemerintah juga masih dipertanyakan. Seruan lockdown yang sempat menggema tidak diambil. Meskipun pada akhirnya Jokowi malah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2020.

Menurut Dadang, ini hanya persoalan diksi. Ada upaya menghindar dari sisi finansial. “Karena kalau karantina atau lockdown kan semua dtanggung pemerintah. Berbeda dengan PSBB yang melakukan pembatasan orang dalam skala tertentu di wilayah masing-masing. Peran serta masyrakat sangat diharapkan. Maka keluarlah istilah PSBB ini tadi,” katanya.

Kebijakan PSBB pun dinilai masih menggantung. Terkesan hanya ingin menyelamatkan wajah pemerintah.

“Karena ini soal politis juga di tubuh pemerintah. Kalau dia lockdown maka dia kalah dengan opini misalnya oleh anies atau beberapa kepala daerah yang sudah memberlakukan lockdown. Jadi ada hal seperti itu yang menghantui pemerintah saat ini . Sehingga diksi pun menjadi soal. Walaupun secara substansi kita sudah lockdown. Pembatasan sudah dipaksa,” jelasnya.

Kredibilitas pemerintah pun terancam saat ini. Karena jika melihat saat pertama kali kasus di Indonesia diumumkan, pemerintah sudah banyak kehabisan waktu. Ada rentang waktu lowong sejak pertama kali kasus itu diumumkan pada Desember 2019.

“Selama beberapa bulan itu juga kita menutup penjelasan apapun kepada masyarakat selain berguyon soal corona. Sebenarnya kredibilitas pemerintah sudah hancur lebih dulu. Recovery ini hanya mempertimbangkan tidak hancur kredibilitasnya sampai titik terendah saja,” tukasnya.

Dadang pun memprediksi butuh waktu lama untuk memperbaiki keadaan ekonomi pasca corona hilang. Paling tidak butuh waktu dua sampai tiga tahun ekonomi akan bangkit kembali.

Karena kita juga masih bergantung pada negara lain. Khususnya pada sektor ekspor impor. “Kalau negara lain sudah pulih, sudah bersih, ekonominya berputar kembali, maka kita akan berputrar juga. Karena APBN sudah centang perenang, paling tidak 2022 baru kita mulai recovery. Tapi itu pun masih bergantung penanganan ini . Kalau tidak serius, maka kita akan lebih lama. Kalau itu terjadi, pemulihan kita lebih lama lagi,” pungkasnya.

Baca Juga: [UPDATE] 57 Kasus Corona di Sumut, Alasan Data Tidak Sinkron Terungkap

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya