Kritisi Polisi Berujung Penjara, KontraS: UU ITE Jadi Alat Membungkam

Dua YouTuber Medan dijerat UU ITE hukuman 8 bulan penjara

Medan, IDN Times – Majelis Hakim Pengadilan Negeri  Medan menghukum dua youtuber Joniar M Nainggolan dan Benni Eduward Hasibuan dengan delapan bulan penjara (dipotong masa tahanan) dalam persidangan, Senin (12/4/2021). Keduanya adalah terdakwa kasus pelanggaran Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) setelah mengunggah video soal oknum polisi diduga menunggak pajak kendaraan bermotor.

Memang selama ini, di kanal Youtube-nya, mereka kerap mengkritisi polisi. Bahkan beberapa kali mereka juga mengungkap soal dugaan pungutan liar yang masih terjadi di tubuh kepolisian. Khususnya pada Polisi Lalu Lintas.

Dalam persidangan itu, majelis hakim menyatakan keduanya terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.

Hal ini kata majelis hakim  diatur dan diancam pidana melanggar Pasal 45 ayat 3 dari UU RI nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE dalam Dakwaan Alternatif Kedua.

Vonis ini menuai pro kontra. Mayoritas pegiat menganggap, vonis yang dijatuhkan hanya menambah angka korban ITE. Pasal karet ini selalu menjadi celah upaya kriminalisasi terhadap masyarakat yang kerap mengkritisi para aparat negara.

1. Kasus-kasus terjerat UU ITE cenderung jadi preseden buruk di era demokrasi

Kritisi Polisi Berujung Penjara, KontraS: UU ITE Jadi Alat MembungkamSAFEnet

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara mengkritisi putusan dan pasal yang menjerat kedua Youtuber itu. Menurut KontraS, keduanya menjadi korban baru kesewenang-wenangan pasal karet itu.

“Lagi-lagi penggunaan UU ITE Makan korban dan ini korbannya orang yang kritis. Ini adalah bentuk pembungkaman terhadap kritik publik,ungkap Koordinator KontraS Sumut Amin Multazam Lubis, Rabu (14/4/2021) petang.

UU ITE sudah berulang kali memakan korban. Gaung untuk melakukan revisi undang-undang tersebut selalu masif di berbagai kanal. Namun realisasinya masih jauh panggang dari api. UU ITE kerap dianggap menjadi kebijakan kontraproduktif ditengah iklim demokrasi.

Baca Juga: Cemarkan Nama Polisi, 2 Youtuber Medan Dituntut 8 Bulan Penjara

2. Pembatasan kebebasan berekspresi bukan untuk melindungi aparat negara dari kritik publik

Kritisi Polisi Berujung Penjara, KontraS: UU ITE Jadi Alat MembungkamIDN Times/Arief Rahmat Sumber : Berbagai Sumber

Amin pun tak menampik jika kebebasan berekspresi bisa dibatasi. Namun harus melihat sejumlah aturan yang disepakati, sebagaimana wacana HAM yang sudah berkembang. Amin pun mendorong supaya aparat penegak hukum lebih melek lagi melihat soal apa yang dimaksud dengan kebebasan berekspresi dan pembatasannya.

Begitu banyak aturan yang sudah diratifikasi ke dalam undang-undang terkait Hak Asasi Manusia dan kebebasan berekspresi.

“Pembatasan kebebasan berekspresi itu harus sesuai juga  dengan mekanisme yang ada. Dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Pasal 19 kebebasan berekspresi itu bisa dibatasi. Di PBB punya aturan main yang jelas. Selama ini , kita tidak menggunakan instrumen itu untuk menentukan pembatasan kebebasan berekspresi,” ujarnya.

3. UU ITE sering disalahtafsirkan dan terkesan digunakan untuk hal tendensius

Kritisi Polisi Berujung Penjara, KontraS: UU ITE Jadi Alat MembungkamTechinasia

Amin juga menyoroti, soal dugaan upaya  kriminalisasi terhadap masyarakat yang mencoba untuk kritis. Undang-undang ITE memuluskan jalan itu.

Putusan hukum tetap yang dijatuhkan oleh hakim, juga menjadi salah satu yurisprudensi yang bisa dipakai dalam kasus-kasus serupa ke depan. Putusan hakim menjadi langkah mundur penegakan demokrasi di Indonesia.

“Penggunaan Youtube sebagai media kritik bisa berpotensi berujung pada kasus hukum pidana. Dalam salah satu isi Siracusa Prinsipel tentang ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur di dalam ICCPR, yang juga sudah diratifikasi ke dalam Undang-undang, pembatasan HAM tidak boleh dilakukan untuk melindungi pejabat publik dari opini publik. Kritik publik untuk hal ini tidak boleh dibatasi,” ujar Amin.

4. KontraS juga mendesak dugaan kriminalisasi selama di tahanan diusut

Kritisi Polisi Berujung Penjara, KontraS: UU ITE Jadi Alat MembungkamKoordinator KontraS Sumut Amin Multazam Lubis. (IDN Times/Prayugo Utomo)

KontraS juga menyoroti soal dugaan uapay  hukum yang diskriminatif kepada kedua korban UU ITE itu. KontraS sudah mendapati jika keduanya sudah melaporkan sejumlah tindakan kesewenangan selama di dalam tahanan.

Misalnya ada dugaan untimidasi, pemerasan hingga dugaan penyiksaan yang dilaporkan keduanya ke sejumlah lembaga negara seperti Komnas HAM dan Ombudsman. Namun Amin menyayangkan, laporan-laporan ini tidak menjadi perhatian dalam kasus yang menjerat keduanya. KontraS mendesak, dugaan-dugaan yang dilaporkan korban bisa ditindaklanjuti lembaga berwajib.

“Harusnya ini kan menjadi pertimbangan. Hukum harus tegas bahwa mereka tidak mendapatkan keadilan selama di dalam tahanan. Proses hukum, harusnya berjalan sama,” pungkas Amin.

5. Berawal dari soroti polisi diduga menunggak pajak kendaraan

Kritisi Polisi Berujung Penjara, KontraS: UU ITE Jadi Alat MembungkamIlustrasi Penjara (IDN Times/Mardya Shakti)

Jauh sebelum berhadapan dengan hukum, Joniar dan Benni memang aktif mengkritisi aparat penegak hukum. Mereka kerap membuat investigasi soal dugaan pungli jalanan oleh oknum aparat dan dijadikan content youtube mereka.

Sementara itu, kasus ITE yang menjerat mereka berawal dari 11 Agustus 2020. Terdakwa Joniar bersama Benni Eduward pergi ke Kantor Samsat Putri Hijau Medan. Mereka kemudian mengecek plat nomor kendaraan mobil yang terpakir di belakang kantor Samsat Putri Hijau Medan secara daring.

Saat itu mereka menemukan beberapa kendaraan yang diduga menunggak pajak dan ada beberapa kendaraan tidak ditemukan datanya dan ada juga beberapa kendaraan yang diduga bodong. Mereka kemudian melakukan siaran langsung lewat kanal Youtube.

Dalam siaran langsung itu, terdakwa mengatakan ada kendaraan milik petugas di Direktorat Lalu Lintas Polda Sumut tapi tidak taat pajak.

Setelah siaran langsung, mereka kemudian mengunggah video tersebut di dalam akun Youtube-nya. Atas perbuatan keduanya, salah seorang petugas pajak Samsat bernama Johannes Ginting melaporkan kedua YouTuber itu ke polisi.

Baca Juga: Gegara Kritik Polisi Tunggak Pajak, 2 Youtuber Dipenjara 8 Bulan

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya