Kelam Hari HAM, Dari Penyiksaan Hingga Konflik Lahan Tak Bertitik

Catatan KontraS Sumut untuk Hari HAM 2020

Medan, IDN Times – Pelanggaran HAM terus terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Setiap Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang jatuh pada 10 Desember penegakan HAM selalu digaungkan. Namun sayang proses terhadap kasus-kasus yang terjadi justru tidak terlalu signifikan.

Peringatan Hari HAM Internasional kembali bergaung dari Sumatra Utara. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumut memberikan catatan merah terhadap kondisi penegakan HAM di provinsi yang dipimpin oleh Edy Rahmayadi itu. KontraS menilai, Sumut belum tegas dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Bahkan cenderung terabaikan.

“Upaya pemenuhan, perlindungan dan penghormatan HAM semakin jauh dari harapan,” ujar Amin Multazam Lubis, Koordinator Badan Pekerja KontraS Sumut.

1. Tingginya angka kekerasan dan pengerahan kekuatan aparat berlebihan jadi sorotan

Kelam Hari HAM, Dari Penyiksaan Hingga Konflik Lahan Tak BertitikIlustrasi penyiksaan (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kata Amin kondisi yang bisa menggambarkan kelamnya HAM di Sumatera Utara dapat dilihat dari tingginya angka kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan Negara, khususnya kepolisian.

Kemudian, belum adanya metode efektif dalam menyelesaikan konflik agraria. “Lalu upaya pembungkaman masyarakat sipil ditengah munculnya UU Kontroversial hingga pandemik COVID-19. Kemudian, sulitnya pemenuhan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM,” ungkapnya.

2. Kasus kekerasan meningkat signifikan

Kelam Hari HAM, Dari Penyiksaan Hingga Konflik Lahan Tak BertitikIlustrasi Kekerasan. (IDN Times/Sukma Shakti)

Amatan KontraS dari berbagai metode menunjukkan ada peningkatan signifikan angka kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan aparat penegak hukum. Sepanjang 2019, KontraS mencatat ada 103 kasus dugaan kekerasan, pada tahun 2020 kontras mencatat terjadi 192 kasus, mengakibatkan 226 orang terluka dan 56 orang meninggal.

Sebagian besar kasus itu diduga dilakukan oleh kepolisan dalam konteks upaya penegakan hukum. Sebanyak 44 kasus merupakan praktek tembak mati dengan dalih tindakan tegas dan terukur.

“Tafsir tindakan tegas dan terukur masih rancu. Dibanyak kasus justru mengarah pada penggunaan kekuatan yang dilakukan secara berlebihan. Jauh dari prinsip nesesitas dan proporsionalitas sebagaimana dimandatkan dalam PERKAP Nomor 8 Tahun 2009," sebut Amin.

Praktik tersebut terjadi pada kasus-kasus pidana yang menjadi musuh publik. Seperti; narkoba, begal, atau pelaku curas. Menariknya, tindakan demikian kerap dianggap prestasi dan mendapat dukungan publik. Padahal jika melihat fakta dilapangan, angka tindak pidana sama sekali tidak mengalami penurunan. Pada prinsipnya, Kontras sangat mendukung penegakan hukum yang dilakukan kepolisian.

Namun begitu, penegakan hukum tidaklah boleh dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum. Ada prosedur dan aturan yang sudah dikita sepakati bersama sebagai Negara yang menjunjung tinggi hukum dan HAM.

“Toh terbukti, pengunaan kekerasan bukan solusi penegakan hukum, bahkan sekedar mengurangi tindak pidana pun gagal,” katanya.

Baca Juga: Banyak Pelanggaran Kampanye Pilkada, Ini Temuan dan Catatan Komnas HAM

3. Kasus penyiksaan aparat untuk mengejar pengakuan juga masih masif

Kelam Hari HAM, Dari Penyiksaan Hingga Konflik Lahan Tak BertitikIlustrasi Kekerasan. (IDN Times/Mardya Shakti)

KontraS juga memberikan sorotan khusus pada dugaan kasus penyiksaan. Sepanjang 2020, lembaga ini mencatat 13 pengaduan kasus penyiksaan di Sumatera Utara. Jumlah ini jauh meningkat dari tahun sebelumnya. KontraS menerima lima pengaduan kasus sepanjang 2020.

”Secara sederhana sesuatu dikategorikan penyiksaan ketika memenuhi unsur-unsur seperti, menimbulnya rasa sakit atau penderitaan mentnl atau fisik yang luar biasa, oleh atau dengan persetujuan atau sepengetahuan pejabat Negara yang berwenang, untuk suatu tujuan tertentu seperti mendapatkan informasi penghukuman atau intimidasi,” katanya.

Motif penyiksaan yang dilakukan, lanjut Amin, sebagian besar dimaksudkan untuk mengejar pengakuan. Motif lain yakni sebagai bentuk penghukuman dan bentuk arogansi aparat terhadap pelaku tindak pidana.

Hal ini tentu bertentangan dengan Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Bahkan dalam beberapa kasus, Negara tidak segan mempertontonkan praktek kekerasan dan penyiksaan.

“Ambil contoh seperti apa yang dialami oleh Kamiso bulan Oktober lalu. Ditembak kakinya dengan posisi mata tertutup dan tangan diborgol. Jelas ini melanggar prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan” ungkapnya.

4. Upaya mencari keadilan terhadang tembok besar

Kelam Hari HAM, Dari Penyiksaan Hingga Konflik Lahan Tak BertitikPinterest

Lebih parahnya, sekalipun praktek kekerasan dan penyiksaan merupakan perbuatan melanggar hukum namun upaya pencarian keadilan bagi korban sangat sulit didapatkan.
Peran lembaga Negara lain seperti Komnasham, LPSK, Kompolnas, hingga Ombudsman untuk mendorong pencarian keadilan kasus kekerasan yang melibatkan aparat menurut kontras semakin hari justru semakin meredup

“Proses hukum melalui pengaduan kasus-kasus itu sebagian besar mandek. Paling jauh berujung pada perdamaian sepihak tanpa proses hukum sebagaimana mestinya. Belum terlaksananya sanksi hukum yang tegas membuat tidak ada efek jera. Wajar kejadian semacam ini terus berulang,” ujar Amin.

Oleh sebab itu, KontraS mendesak pimpinan Polri agar berani secara tegas mendorong proses hukum bagi personel yang melakukan pelanggaran. Ketegasan justru baik untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

5. Konflik agraria kembali meningkat

Kelam Hari HAM, Dari Penyiksaan Hingga Konflik Lahan Tak BertitikIlustrasi lahan (ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid)

KontraS juga menyoroti soal konflik agraria yang juga meningkat angkanya. Hasil pemantauan KontraS, sepanjang 2020 terdapat 31 titik konflik agraria yang terjadi di Sumut. Angka ini bahkan meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 23 titik konflik.

Secara garis besar KontraS, mengategorikan akar persoalan konflik agraria di Sumatera Utara menjadi lima jenis.

Pertama, konflik akibat tumpang tindih HGU. Kedua, Konflik diatas tanah eks HGU, Ketiga, konflik akibat masuknya pembangunan/industri skala besar. Keempat, konflik imbas belum direalisasinya kebun plasma dan Kelima, konflik dikawasan hutan.

“Belum ada pola penyelesaian yang efektif. Apalagi masing-masing kategori itu punya pendekatan dan cara penyelesaian yang berbeda, hal itu yang hingga sekarang belum terlihat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Utara,” ungkapnya.

Titik konflik yang paling mendapat sorotan KontraS di antaranya terkait polemik diatas lahan PTPN II. Proses okupasi maupun re-planting lahan oleh PTPN II dalam satu tahun belakangan kerap menimbulkan konflik ditengah-tengah masyarakat.

Dengan dalil mengamankan asset, PTPN II gencar mengambil alih lahan-lahan yang selama bertahun-tahun dikelola masyarakat. Beberapa HGU PTPN II yang dalam setahun belakangan menimbulkan polemik ditengah masyarakat misalnya HGU No 171 di Pancur Batu (kwala Bekala), HGU No 54,55 di Binjai Timur (Tunggurono), HGU No 90,92 di Sei Mencirim, HGU No 91 di Kutalimbaru (Sei Glugur), HGU No 94 di STM Hilir (Limau Mungkur), HGU No 113 di Kecamatan Batang Kuis (Bandar Klipa), HGU No 152 di Percut Sei Tuan (Sampali), HGU No 111 di Labuhan Deli (Helvetia) hingga HGU No 5 di Stabat (Kwala Bingei).

“Sekalipun ditengah situasi pandemi, proses okupasi dilapangan malah terus dilakukan. Rakyat sudah menderita secara ekonomi akibat pandemi, malah harus kehilangan rumah dan tanahnya,” tegas amin.

Hal ini menegaskan bahwa ruang sipil dan demokrasi semakin buruk. Apalagi lahir berbagai UU Kontroversial dan ancaman pandemi Covid-19. Saat pembatasan terhadap masyarakat sipil dilakukan dengan berbagai dalil, Negara justru mempertontonkan praktek kesewenangwenangan dengan melahirkan kebijakan yang kontra-produktif.

“Berbagai protes di respon dengan cara represif. Dengan alasan darurat kesehatan, Negara berulang kali mengabaikan pemenuhan hak sipil serta ketentuan-ketentuan pengurangan hak yang berlaku,” ujarnya.

Contohnya bisa dilihat dari upaya mengamankan berbagai aksi protes UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kepolisian dinilai tidak mengindahkan Perkap 7 Tahun 2012 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan pengamanan dan penanganan perkara penyampaian pendapat dimuka umum. Banyak massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang. Bahkan ditangkap sebelum berdemonstrasi. Penangkapan model demikian dilakukan dengan dalih mengamankan. Kedepan pola tersebut bisa jadi pembenaran untuk membatasi orang-orang yang hendak bersuara dan menyampaikan pendapat. Dengan kata lain sama saja membunuh demokrasi.

“Seabrek persoalan dalam catatan HAM ini merupakan masalah serius yang harus segera dicarikan solusinya. Tentu saja oleh Negara, melalui pemerintah provinsi Sumatera Utara yang dimandatkan untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM bagi setiap orang, tanpa terkecuali,” pungkasnya.

Baca Juga: KontraS: Polri Harus Usut Tuntas Kematian 6 Pendamping Rizieq Shihab

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya