Kapal Tanker Pecah Lambung, 1.900 Ton Aspal Cemari Laut Nias Utara

Pemerintah lamban tangani pencemaran

Nias Utara, IDN Times – Tanker pembawa aspal (bitumen) mengalami pecah lambung kanan di perairan Kabupaten Nias Utara, Sabtu (11/2/2023). Sudah 12 hari kapal itu berada di pesisir Nias Utara. Hanya berjarak sekitar 300 meter dari bibir pantai Desa Faekhuna'a Kecamatan Afulu, Nias Utara.

Muatan 1.900 ton aspal tumpah ke laut. Mencemari hampir seluruh perairan Nias Utara.

“Aspal sudah mencemari sekitar 70 KM,” ujar Kepala Bidang Teknologi Komunikasi dan Informatika Dinas Kominfo Kabupaten Nias Utara Syukur Zebua, kepada IDN Times, Rabu (22/3/2023) petang.

Kapal itu diketahui pertama kali oleh masyarakat di sana dalam keadaan tidak bergerak. Kejadian ini dilaporkan ke Pemkab dan TNI AL setempat.

1. Kondisi teranyar, sebagian badan kapal sudah tenggelam

Kapal Tanker Pecah Lambung, 1.900 Ton Aspal Cemari Laut Nias UtaraKondisi Kapal MT AASHI yang mengalami pecah lambung kanan di perairan Nias Utara, Sumatra Utara. (Diskominfo Nias Utara)

Kapal itu diketahui bernama MT AASHI. Kapal ini berbendera Gabon. Kapal yang memiliki panjang 101,9 meter dan lebar 16 meter itu, saat ini dilaporkan sudah tenggelam sebagian badannya.

MT AASHI sudah berlayar dari Uni Emirat Arab (UEA) sejak 19 Januari 2023 lalu. Rencananya, kapal akan bersandar ke Padang dan Sibolga untuk membongkar muatan aspal.

Dari potret yang diterima IDN Times, ada aspal yang masih ke luar dari lambung kanan kapal bikinan 2008 itu.

“ABK-nya ada 20 orang. Sudah kita evakuasi dan ditempatkan di balai desa,” katanya.

2. Nelayan tidak bisa melaut, penyu bermatian

Kapal Tanker Pecah Lambung, 1.900 Ton Aspal Cemari Laut Nias UtaraIlustrasi penyu yang ditemukan mati langsung dikubur. IDN Times/Istimewa

Dari keterangan ABK, kata Syukur, kapal itu sengaja merapat ke dekat bibir pantai untuk menghindari tenggelam lebih dalam.

Pencemaran berdampak langsung kepada manusia dan biota laut di perarian itu. Kata Syukur, tumpahan aspal merusak perairan di Nias Utara. Residu aspal juga sudah mencemari pantai - pantai di sana. Aktifitas selancar oleh masyarakat juga berhenti total di sana.

Aspal yang tumpah juga mencemari kawasan konservasi penyu di sana. Jaraknya sekitar 30 KM dari titik kapal yang karam.

“Nelayan tidak bisa melaut, biota laut mati,” katanya.

3. Belum ada tindakan dari pemerintah pusat

Kapal Tanker Pecah Lambung, 1.900 Ton Aspal Cemari Laut Nias UtaraIlustrasi Kapal Feri (Kapal Penyeberangan) (IDN Times/Sukma Shakti)

Kasus karamnya kapal MT AASHI ini sudah dilaporkan ke pemerintah pusat. Namun sejak pertama diketahui karam, sama sekali tidak ada tindakan dari pemerintah pusat. Pihaknya juga belum mendapat jawaban dari agen kapal soal pertanggungjawaban pencemaran.

“Sampai hari ini belum ada tindakan. Makanya kita dorong ini. Kalau dipaksa Pemda kan kami tidak punya kemampuan untuk itu. Apalagi konsekuensinya, pemilik kapal bukan dari Indonesia,” ungkapnya.

4. Kritik Yamantab: Lambannya pemerintah membuat kerusakan ekologi semakin luas

Kapal Tanker Pecah Lambung, 1.900 Ton Aspal Cemari Laut Nias UtaraIlustrasi pencemaran laut. (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

Yayasan Masyarakat Penjaga Pantai Barat (Yamantab) memberi kritik keras. Mereka menilai kelambanan pemerintah pusat dalam penanganan kapal berdampak besar kepada ekologi.

“Harusnya pemerintah mengambil langkah cepat. Sehingga bisa meminimalisir pencemaran. Bayangkan, sudah berapa banyak penyu dan biota lainnya yang menjadi korban. Tentunya dampak ekologi ini menjadi bencana bagi kehidupan masyarakat,” kata Ketua Yamantab, Damai Mendrofa.

5. Jadi bukti pemerintah tidak tanggap pada konservasi perairan laut

Kapal Tanker Pecah Lambung, 1.900 Ton Aspal Cemari Laut Nias UtaraPelepasliaran 55 ekor bayi penyu lekang atau penyu abu-abu yang baru menetas sehari sebelumnya di Pantai Barat Muara Upu, Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut, Minggu (5/12/2021). (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Kelambanan pemerintah pusat justru terjadi saat isu konservasi laut dan keanekaragaman hayati terus diperjuangkan para pegiat. Lambannya penanganan pencemaran menjadi bukti bahwa pemerintah tidak berpihak pada ekologi perairan laut.

“Ini sungguh-sungguh disayangkan. Di saat kita dan para pegiat gencar melakukan upaya konservasi. Justru penanganan pemerintah sangat lamban,” pungkasnya.

Baca Juga: Duka Pantarlih KPU saat Coklit di Binjai, Ada yang Digigit Anjing

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya