Jokowi Harus Sikapi Pembubaran Aksi Damai Tolak Omnibus Law
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Medan, IDN Times – Pembubaran unjuk rasa damai penolakan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja oleh kepolisian menuai kritik dari sejumlah lembaga. Pembubaran paksa massa Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat (AKBAR) Sumatra Utara dan Front Suara Rakyat Medan (SURAM) itu dianggap tindakan arogan dan berlebih-lebihan. Karena unjuk rasa berlangsung damai.
Kritik pedas dilontarkan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Kepala Divisi Buruh dan Miskin Kota LBH Medan Maswan Tambak mengatakan jika pembubaran paksa itu adalah cara pemerintah untuk membungkam gerakan rakyat yang mengkritisi kebijakan.
“Aksi massa yang digagas oleh Akbar sumut saat itu dikemas dengan metode pekan rakyat yang akan dijalankan dengan orasi, pembacaan puisi dan teatrikal. Sebelum menggelar aksi tersebut, AKBAR Sumut sendiri sudah memberitahukan agenda tersebut melalui surat yang ditujukan kepada pihak kepolisian. Tapi kenapa dibubarkan paksa,” ungkap Maswan, Rabu (21/10/2020).
1. Intimidasi polisi terjadi sejak awal unjuk rasa
Maswan menduga, polisi sudah melakukan intimidasi sejak jalannya unjuk rasa. Polisi dengan kekuatan personel yang cukup banyak terus berdatangan ke kawasan unjuk rasa.
Di lapangan memang terlihat aparat kepolisian bermotor trail datang dengan menenteng pelontar gas air mata. Selang beberapa saat, datang juga personel dari korps Brimob beserta armada water canon.
Setelah waktu yang ditentukan kepolisian, kata Maswan, massa cukup kooperatif untuk membubarkan diri. Namun saat dalam perjalanan membubarkan diri kepolisian malah bertindak represif dan intimidatif.
“Saat membubarkan diri massa aksi tetap dikawal oleh polri menggunakan kenderaan khusus. Pada saat massa aksi sampai didepan gedung Bank Mandiri, upaya pembubaran oleh polri justru mulai tidak terkendali. Polri mulai membuat suasana semakin tidak kondusif dengan mengeblar sepeda motor sekencang-kencangngya,” ujar Maswan.
Baca Juga: [BREAKING] Lagi Demo, Polisi Tiba-tiba Membawa Paksa Massa Aksi
2. Polisi juga diduga melakukan pelecehan verbal terhadap massa perempuan
Aksi represifitas itu dianggap sebagai arogansi aparat penegak hukum yang harusnya melindungi hak-hak warga dalam menyampaikan pendapat. Bahkan di tengah kericuhan itu, kata Maswan, sejumlah aparat kepolisian diduga melakukan pelecehan verbal terhadap massa perempuan. Beberapa oknum polisi mengolok-olok massa perempuan yang marah karena unjuk rasa itu direpresif.
“LBH Medan menilai Polri telah telah melakukan pengulangan kesalahan-kesalahan dalam menyikapi aksi massa yang sama dengan yang pernah terjadi. Misalnya pada aksi massa menyikapi penolakan UU KPK. Dari peristiwa tersebut dapat dilihat pengulangan kesalahan-kesalahan dengan pola arogansi yang menabrak/menerobos barisan massa aksi dengan kendaraan, menembakkan gas air mata ke arah massa aksi yang tidak melakukan pelanggaran atau perlawanan, melakukan pelecehan verbal kepada massa aksi perempuan melanggar ketentuan hukum yang berlaku,” ungkapnya.
3. Jokowi harus desak Kapolri evaluasi jajarannya
Jika pola kesalahan yang sama terus terjadi, lanjut Maswan, artinya ada kesalahan menjalankan fungsi polisi dalam menyikapi massa aksi. Kesalahan tersebut hanya akan melahirkan kesenjangan hubungan massa aksi dengan kepolisian yang berkelanjutan.
“Dari rangkaian represifitas ini juga harusnya dipandang sebagai dampak buruk Omnibus Law. Harusnya Pemerintah dan DPR RI juga turut bertanggung jawab. LBH Medan Meminta agar Presiden RI Joko Widodo memerintahkan Kapolri agar taat hukum dalam menyikapi massa aksi. Komisi III DPR RI juga harus melakukan evaluasi terhadap Polri. Penanganan aksi harus juga memandang prinsip-prinsip HAM yang sudah diatur dalam seabrek peratura,” pungkasnya.
Sebelumnya, massa dari AKBAR Sumut dan Front SURAM, berunjuk rasa dengan damai di Tugu Pos Medan, Selasa (21/10/2020). Menjelang petang massa sepakat membubarkan diri hingga akhirnya direpresif.
Unjuk rasa ini adalah buntut dari pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Aturan sapujagat itu juga diduga melanggar peraturan dalam pembuatannya.
Baca Juga: [BREAKING] Tangkap Paksa Demonstran, Polisi Masih Bungkam