Jelang Hari Tani 2020, Tolak Omnibus Law Kembali Bergema di Medan

Serukan #jegalsampaigagal Omnibus Law

Medan, IDN Times – Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September 2020. Biasanya selalu diwarnai unjuk rasa. Isu yang paling mencuat pada hari tani yang sudah-sudah adalah konflik agraria yang tidak kunjung usai.

Tahun ini cukup berbeda. Di Sumatra Utara, Hari Tani 2020 akan mengusung isu Omnibus Law. Massa dari Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat Sumatera Utara (AKBAR) Sumut akan kembali menggemakan penolakan terhadap Omnibus Law. Apalagi saat ini Indonesia tengah menghadapi badai pandemik.

“Gagalkan Omnibus Law. Jegal sampai Gagal,” kata Halim, perwakilan AKBAR Sumut dari Bantuan Hukum Sumatra Utara (Bakumsu) dalam konferensi pers di LBH Medan, Senin (21/9/2020).

1. AKBAR Sumut soroti Omnibus Law dari berbagai sisi

Jelang Hari Tani 2020, Tolak Omnibus Law Kembali Bergema di MedanMassa AKBAR Sumut berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Omnibus Law, Kamis (16/7/2020). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kata Halim, jika disahkan, Omnibus Law akan memusnahkan pasal-pasal dari sekitar 79-an 79 undang-undang yang mencakup 11 klaster. Mulai dari penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek Pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus.

“Cakupan Undang-undang ini pun sangat besar, Tak bisa dibayangkan, untuk membahas 79 UU dengan 1.244 pasal tentu sangat membatasi kesempatan anggota Parlemen untuk memperdebatkannya dan mengujinya lebih dalam. Kabarnya, UU ini bertujuan untuk mengatasi berbagai UU yang saling bertentangan atau tumpang tindih. Namun, jika dibahas dan direvisi satu persatu akan memakan waktu selama lima puluh tahun. Persoalannya adalah bahwa Petani, Buruh, Masyarakat Adat, Nelayan, Pelajar dan Perempuan serta segala sumber-sumber agraria semakin dijadikan objek eksploitasi,” kata Halim.

Baca Juga: Serikat Buruh, Kata Puan Jangan Cuma Bisa Demo Omnibus Law!

2. Pada sektor agraria, Omnibus Law kontra produktif dengan Undang-undang Pokok Agraria

Jelang Hari Tani 2020, Tolak Omnibus Law Kembali Bergema di MedanMassa AKBAR Sumut berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Omnibus Law, Kamis (16/7/2020). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Bagi AKBAR Sumut, Omnibus Law juga membajak semangat Undang-undang Pokok Agraria. Omnibus Law dianggap kontraproduktif dengan UUPA.  

Omnibus Law berpeluang men-disharmonisasi peraturan perundang-undangan yang menyangkut agraria yang sudah ada selama ini. Kemudian mereduksi norma, nilai-nilai dan kaidah yang sudah ada sehingga menciptakan ketidakpastian hukum, berpotensi menghilangkan efektivitas dan efisiensi dalam implementasinya.

“Omnibus Law justru mempermudah perampasan dan monopoli tanah, air, dan kekayaan alam lainnya untuk segelintir orang, investor, serta kelompok bisnis,” ujar Halim.

Jika Omnibus Law disahkan, lanjut Halim, maka akan menjadi pintu bagi hilangnya kedaulatan rakyat atas sumber-sumber agraria dan untuk melanggengkan eksploitasi sekelompok orang.

3. Omnibus Law hanya untuk kebaikan kaum modal

Jelang Hari Tani 2020, Tolak Omnibus Law Kembali Bergema di MedanMassa AKBAR Sumut berunjuk rasa menolak pengesahan RUU Omnibus Law, Kamis (16/7/2020). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Omnibus Law, bagi AKBAR Sumut hanya bertujuan untuk memfasilitasi kaum modal. Baik nasional atau pun internasional. Indonesia yang sejatinya sebagai Negara berkembang, sejak berjalannya Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011 lalu ternyata tidak mampu menarik negara-negara imperialis untuk berinvestasi. Melainkan telah terjebak pada pembangunan infrastruktur yang menelan banyak anggaran tetapi tidak bisa menarik investasi.

“Hal tersebut hanya ditujukan demi melayani kepentingan modal asing untuk merampok dan menindas Rakyat Indonesia. Pemerintah bukannya fokus menangani dan memerangi pandemik COVID-19. Rezim Jokowi – Ma’ruf Amin bersama dengan DPR-RI justru berencana bergegas untuk mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja demi memuluskan arus modal asing untuk terus merampok Kekayaan Alam dan Manusia Indonesia,” tukasnya.

Beberapa poin yang sangat berbahaya dalam RUU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law adalah hilangnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat, hilangnya upah minimum dan penerapan upah kerja per jam, pengurangan pesangon bagi buruh yang ter-PHK, penerapan fleksibilitas pasar kerja dengan memperluas penggunaan sistem kontrak dan outsourching. Kemudian  masifnya pembangunan industri ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber-sumber agraria, memberikan kesempatan bagi tenaga kerja asing (TKA) unskill untuk bekerja di alur produksi inti. Lalu hilangnya tanggung jawab negara untuk menyelenggarakan jaminan sosial bagi rakyat, melegalkan praktik perampasan tanah rakyat, melegalkan praktik pencemaran lingkungan, hingga memasifkan praktik komersialisasi pendidikan.

Di Sumut, konflik agraria terus mencuat. Misalnya konflik eks HGU PTPN II yang tidak kunjung usai.

Sepanjang tahun 2013-2017 terjadi setidaknya 53 kasus konflik agraria di areal eksHGU PTPN II (Data KontraS Sumut 2017). WALHI Sumatera Utara mencatat, ada 32 areal kelola rakyat di Sumatra Utara masih berkonflik yang berkepanjangan dengan perkebunan, dan sangat rentan akan terjadinya perampasan atau penggusuran, paling banyak konflik terjadi adalah dengan PTPN II. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat di Sumatra Utara, ada 23 konflik Agraria telah terjadi di sepanjang tahun 2019 lalu.

Baca Juga: Kembali Demo Tolak Omnibus Law, Buruh di Sumut: Jangan Miskinkan Kami!

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya