Kami yang Hidup dari Mangrove

Narasi deforestasi, konflik hingga wacana moratorium

Deforestasi mangrove masih terjadi
Pemerintah masih dianggap abai dalam pengawasan
Bahkan kuat dugaan ada main mata dengan oknum pejabat
Hingga pemberian izin konversi yang masif
Belum lagi para cukong arang bakau
Menjadikan masyarakat sebagai tameng untuk eksploitasi kawasan

Pantai Timur Sumatra, Februari 2021

Aktivitas di dermaga Desa Jaring Halus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara lebih padat saat matahari mulai jatuh di ufuk barat awal Februari 2021. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 17.30 WIB. Terdengar ramai, warga berbincang dengan logat melayu pesisir yang khas.

Laki-laki berusia 20 tahunan itu menyandarkan perahu ke dermaga yang terbuat dari kayu. Sejumlah penumpang turun. Di antaranya tampak sejumlah mahasiswa yang tengah melakukan penelitian. Porter yang menunggu sedari tadi langsung sigap mengangkat beberapa box berisi ikan, kepiting dan  hasil laut lainnya. Saking beratnya, box harus dikatrol dari perahu ke dermaga.

Setelah kosong, perahu langsung ditumpangi lagi. Saat muatan cukup, perahu kembali berangkat.

Kami yang tengah beristirahat setelah melakukan monitoring kawasan mangrove di Desa Jaring Halus, sedikit tercengang. Sekitar 30 meter dari dermaga ada perahu yang tengah bongkar muat. Sawit ternyata.

Tandan buah segar itu langsung dilansir ke truk yang sudah menunggu. Saya mencoba mengambil beberapa jepretan dari kamera ponsel. Orang di perahu pengangkut sawit langsung mengamati kami.

Di dekat dermaga, kami kembali mengamati kawasan bakau. Sedikit miris. Bakau kian tersingkir. Hanya sebagai kamuflase batas tepi yang langsung menjorok ke Sungai Pematang Buluh. Di balik bakau yang hanya sebaris, tanaman sawit berumur muda tumbuh. Entah milik siapa, yang pasti tidak tumbuh dengan sendirinya, melihat pola susunan tanaman yang rapi.

Kerusakan Mangrove di Pantai Sumatra Utara memang jadi tantangan serius dan membutuhkan solusi sesegera mungkin. Karena dampak kehilangan kawasan mangrove membuat kestabilan ekosistem terganggu. Masyarakat pesisir yang merasakan dampaknya langsung.

Jaring Halus yang berjuang

Kami yang Hidup dari MangrovePerkebunan Sawit di kawasan mangrove Pantai Timur, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, Februari 2021. (Shuhaery Faiz for IDN Times)

Rustam Effendi, Ketua Kelompok Ikatan Pemuda Nelayan Desa Jaring Halus (IPANJAR) yang memberikan sambutan hangat saat kami menemuinya. Dia menjadi satu dari sekian banyak masyarakat pesisir yang merasakan langsung dampak kerusakan mangrove. Rustam lahir dan besar di Desa Jaring Halus. Kawasan yang berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa Karang Gading. Desa tempat mereka bermukim termasuk dalam kawasan Ekosistem Esensial (KEE) di Sumut.

Sambil mengobrol, Rustam bercerita soal kondisi mangrove di tempatnya. Mangrove sudah menjadi nadi kehidupan bagi Rustam dan warga lainnya. Apalagi, 85 persen penduduk desa yang berusia lebih dari seabad itu mencari penghidupan sebagai nelayan.

Kata Rustam, mereka merasa lebih baik di era 1990-an lalu. Hasil tangkapan ikan masih banyak. Ekonomi masyarakat terbilang stabil. Namun belakangan semuanya berubah drastis. Ekosistem mangrove menjadi rusak. Belum lagi masuknya tambang galian C yang semakin masif di kawasan Sungai Wampu. Dulunya pertambangan pasir di sana menggunakan cara manual. Perubahan pertambangan dengan mesin membuat endapan lumpur menjadi naik. Endapan ini membuat desanya terdampak.

“Desa kita ini pas berada di muara Sungai Wampu ke laut di Pantai timur. Jadi di sinilah tempat endapan lumpur terakhir,” ujarnya.

Endapan lumpur sisa galian C ini juga yang menurut Rustam menjadi penyebab berkurangnya jenis tanaman bakau dari tahun ke tahun. Saat ini hanya beberapa jenis bakau saja yang tumbuh di kawasan mereka. Padahal ada 24 jenis mangrove yang pernah terdeteksi pada era 2000-an. Kualitas air untuk kebutuhan sehari-hari pun juga menurun.

Ikan-ikan yang biasa gampang ditangkap dan jumlahnya banyak kini tinggal cerita. Pendapatan nelayan menurun.

Soal galian C, masyarakat sebenarnya sudah berang. Namun tampaknya berbagai upaya tidak membuahkan hasil. Pemerintah juga dianggap belum serius dalam melakukan penyelesaian.

Perambahan kawasan mangrove paling masif di Jaring Halus, kata Rustam, sudah terjadi sejak 2005. Mangrove di sana dihabisi. Pelakunya diduga para pemain dapur arang bakau ilegal. Selain itu juga konversi lahan mangrove menjadi perkebunan sawit yang diduga ilegal.

Tentunya, perambahan pada konversi lahan ini membuat masyarakat pesisir merugi. Padahal selama ini mereka terus berupaya menjaga mangrove. Karena kerusakan itu sempat membuat para nelayan harus menyabung nyawa. Melaut sejauh 2 sampai 3 mil dari darat. Karena ikan-ikan yang ada di kawasan pesisir sudah sangat sedikit jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Rustam membandingkan, jika dulunya nelayan hanya membawa dua alat tangkap di dalam perahunya. Itu sudah mencukupi kebutuhannya. Namun sekarang tidak. Nelayan harus menggunakan lima  jenis alat tangkap.

“Ini merugikan. Karena kita yakin dan percaya. Walaupun kita bukan orang ilmuwan dan masyarakat kami juga tidak pernah tahu sejauh mana keabsahan untuk mangrove. Tapi kita yakin penetasan bibit-bibit ikan udang kepiting Itu pasti di hutan mangrove di bawah akar-akar mangrove,” tukasnya.

Konversi sawit memang menjadi polemik. Memang kawasan yang dikonversi tidak masuk dalam areal Desa Jaring Halus. Namun mereka tetap menerima dampaknya.

Konversi mangrove ke lahan sawit begitu menyengsarakan masyarakat pesisir. Sumber air untuk kebutuhan sehari-hari menjadi terganggu. Karena untuk membangun perkebunan sawit, para pelaku konversi membuat benteng untuk mencegah air laut masuk. Dampaknya, ketika pasang terjadi, air laut naik merendam pemukiman.

Penggunaan pupuk untuk tanaman sawit juga berdampak buruk. Aliran air yang mengandung pupuk mengganggu proses budidaya ikan. Lantaran mereka berada di muara sungai.

Masyarakat Jaring Halus mulai bangkit pada 2015. Lewat IPANJAR, masyarakat melakukan konservasi. Upaya penghijauan kembali kawasan yang gundul terus dilakukan. Masyarakat saat ini ikut melakukan penjagaan sebisa mungkin. Jika ada yang kedapatan menebang secara ilegal, masyarakat tidak segan menangkap dan menyerahkannya ke petugas berwajib.

Meskipun belum sebanding dengan kerusakannya, masyarakat sudah mulai merasakan dampak konservasi yang dilakukan. Ikan-ikan sudah mulai kembali ke kawasan untuk bertelur. Begitu juga  dengan udang dan kepiting bakau. Kualitas udara pun berangsur menjadi lebih segar.

Lubuk Kertang yang menantang

Kami yang Hidup dari MangrovePerbandingan antara kawasan mangrove yang sudah rusak di Lubuk Kertang, Kabupaten Langkat, Februari 2021. (Shuhaery Faiz for IDN Times)

Penelusuran soal kondisi kawasan mangrove berlanjut ke Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kamis (4/2/2021). Saya bertemu dengan Rohman, Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Lestari Mangrove Lubuk Kertang. Rohman yang menunggu di rumahnya langsung membawa saya ke sebuah pondokan yang ada di tengah lahan mangrove. Dari pondokan itu terlihat sebuah menara pemantau.

Rohman dan kelompoknya menjadi salah satu yang paling getol dalam mengawal mangrove. Rohman juga pernah diganjar penghargaan karena upayanya melestarikan mangrove. Lubuk Kertang juga menjadi lokasi deforestasi yang cukup parah.

Rohman lantas  mengajak saya untuk berkeliling meninjau beberapa titik lahan mangrove yang gundul akibat pembalakan liar. Kami menggunakan perahu berukuran sedang milik Sarman, anggota kelompoknya.

Mesin yang menderu membelah Sungai Tanjung Balai. Sarman terus mengawal kemudi supaya tidak oleng. Di kiri kanan, mangrove tampak lebat. Namun di beberapa titik hanya kamuflase tepian saja. Di dalamnya, ada kerusakan parah. Pembalak liar menyisakan patahan kayu yang tidak sempat terbawa.

“Mereka mainnya (menebang) malam. Padahal kita sudah sering patroli juga. Gak ada takutnya ditangkap,” ujar Rohman dengan nada geram.

Dari foto udara, terlihat jelas perambahan masih masif terjadi. Pembalak diduga dilakukan oleh pemain arang bakau.

Perahu yang kami tumpangi kembali menderu. Tancap gas meninjau lokasi lainnya. Perahu sandar di salah satu titik kawasan mangrove yang baru ditanam. Ada yang sudah mulai tumbuh dengan beberapa daun kecil. Penanaman lahan yang gundul memang sering dilakukan kelompok tani ini. Meskipun terkadang, tanaman yang baru juga dirusak oleh orang lain.

Sarman melihat ke langit. Matahari yang mulai mengarah ke barat menunjukkan waktu salat Ashar. Dia menyempatkan diri untuk salat di atas perahunya. Usai salat, kami kembali melaju.

Perahu kami akhirnya bersandar lagi di Lubuk Kertang. Rohman lantas mengajak saya ke salah satu lokasi yang baru dirambah. Sisa potongan kayu masih begitu baru. Batang-batang sisa masih berserakan. Saat kami ke sana, ada seseorang yang tengah memotongi kayu. Ternyata itu warga setempat yang memanfaatkan sisa kayu yang diambil pembalak.

“Ini saya ambil sisa-sisanya saja bang yang kecil-kecil. Untuk kayu bakar. Kami mau ada hajatan di rumah. Saya tidak menebang yang lain,” ujar laki-laki itu sambil terus bekerja.

Rohman pun masuk lebih ke dalam kawasan yang dirusak. Air mukanya tampak kecewa. Sedih melihat batang-batang mangrove yang hilang.

Konversi ke sawit yang mematikan

Kami yang Hidup dari MangroveRohman berjalan di antara kawasan mangrove yang dirusak oleh orang tidak bertanggungjawab di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, pada Februari 2021. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Cerita perkebunan bukan cerita baru di Pesisir Timur Sumatra Utara. Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut menunjukkan, ekspansi kelapa sawit sudah terjadi sejak 1986 lalu. Saat itu ekspansi menyasar lahan pertambakan di kawasan Securai dan Perlis.

Konversi lahan juga terjadi pasca izin perusahaan arang bakau PT Sari Bumi Bakau (SBB) dicabut pada 2006 lalu. Sejak era 1990-an, PT SBB melakukan penebangan bakau secara besar-besaran terhadap kawasan mangrove dengan dasar Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Bakau (HPHT). Izin mereka mencakup kawasan dengan luas 20.100 hektare. HPHT mencakup Kecamatan Gebang, Kecamatan Brandan Barat, Besitang, Pangkalan Susu dan Babalan (Sumber: WALHI SUMUT).

Kondisi ini membuat masyarakat bangkit untuk melawan. Perlawanan mulai digagas di era 2000-an. Kampanye penolakan terhadap perusakan hutan mangrove semkain gencar. Perlawanan ini berhasil membuat Pemkab Langkat menggugat HPHT PT SBB ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Akhirnya izin PT SBB dicabut pada 2006.

Sempat lega, masyarakat kini dihadapkan kembali dengan konversi lahan menjadi perkebunan sawit selama ini. Pada 2006, konversi lahan mangrove ke perkebunan sawit secara besar-besaran terjadi. Ada sejumlah perusahaan hingga perseorangan yang melakukan konversi. Sejumlah perusahaan pun disinyalir mempengaruhi warga untuk mendukung konversi. Baik mendapat iming-iming atau pun intimidasi.

Warga bersama kelompok masyarakat sipil masih melakukan perlawanan. Bahkan saat itu tekanan membuat DPRD merekomendasikan supaya kegiatan konversi lahan dihentikan. Namun apa mau dikata, aktivitas konversi bakau di lapangan terus berlangsung. Alat-alat berat masih beroperasi untuk membuat benteng-benteng supaya air laut tidak masuk ke perkebunan sawit.  

Masyarakat paham betul, jika konversi ini diteruskan hanya menyengsarakan hidup mereka. Nelayan akan semakin kesulitan mencari ikan. Ekosistem menjadi rusak. Perekonomian akan semakin terpuruk.

Sejatinya, kawasan mangrove di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Tanjung Balai dan Sei Babalan, Kabupaten langkat adalah kawasan hutan register 8/L. Sesuai peta kawasan Noordwest Brandan Complex Babalan kawasan ini ditetapkan pada 12 Desember 1932 dan disahkan atau diturunkan kembali oleh pemerintah RI tanggal 3 November 1950 dengan luas 3.050 Hektare (Arsip: WALHI Sumut).

Ancaman dan intimidasi sudah jadi makanan sehari-hari

Kami yang Hidup dari MangroveMangrove hasil rehabilitasi di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Perlawanan terus terjadi dalam kurun waktu yang panjang. Dampak terparah konversi mangrove terjadi pada 2010. Saat itu terjadi banjir rob karena pasang air laut langsung naik ke daratan akibat hilangnya kawasan bakau sebagai pelindung. Padahal selama ini tidak pernah terjadi banjir di sana. Masyarakat menjadi korban.

Kondisi ini juga yang menjadi titik balik masyarakat. Mereka kemudian menyatukan kekuatan untuk menyelamatkan kawasan mangrove. Rohman dan ribuan masyarakat dari sejumlah kecamatan sekitar bahu membahu membongkar benteng-benteng perkebunan sawit.

“Dengan air asin itu masuk, sawit mati dengan sendirinya. Maka kami masyarakat khususnya kelompok tani dan nelayan mangrove merehabilitasi hutan tersebut,” kata Rohman.

Saat perlawanan itu, Rohman belum menjadi ketua kelompok. Namun memang dia cukup vokal. Tindakan intimidasi dan ancaman lainnya pun kerap diterimanya. Bahkan sudah seperti makanan sehari-hari. Intimidasi itu diduga berasal dari orang atau pun pengusaha yang merasa terganggu dengan perlawanan masyarakat. Tapi nyatanya Rohman dan yang lainnya tidak pernah gentar.

“Saya adalah target utama untuk dibenam hidup-hidup di sini. Di areal ini mereka sudah menyediakan ekskavator, kita akan digiring ke situ, di situlah kita akan ditanam hidup-hidup. Itu di depan sana ada buktinya, ekskavator sudah berhenti, sudah sengaja didatangkan, kita mau diculik. Alhamdulillah kita masih dilindungi-Nya sampai sekarang,” imbuhnya.

Bahkan Rohman juga menduga soal keterlibatan aparat yang begitu kental saat konversi lahan terjadi. Saat itu begitu banyak oknum aparat berdiri di atas tanggul bersenjata laras panjang. Masyarakat yang melintas, kata Rohman, diusir.

Meski intimidasi begitu kuat, mereka tetap yakin jika kebenaran memang harus ditegakkan. Mempertahankan mangrove, bagi Rohman adalah jalan peradaban. Rohman tidak mau keturunan mereka tidak melihat mangrove sebagai tanaman yang pernah memberikan kehidupan.

“Kami di sini orang susah semua kehidupan kami orang susah, maksimal menyekolahkan anak sebatas SMA. Kalau lah di sini sudah kebun sawit, saya gak bisa jamin anak saya nggak jadi maling, pasti jadi maling. Dengan adanya ini dipertahankan, saya bisa mencegah anak saya jadi maling,” ujarnya.

Selain para pengusaha sawit, intimidasi juga datang dari para penebang liar untuk dapur arang. Para pembalak dan pengusaha arang bakau menganggap Rohman sebagai penghalang. Sehingga membuat produksi arang bakau pun terganggu.

“Kita tidur pun di rumah, sudah dianggap merusuhi mereka,” tukasnya.

Mengawal mangrove untuk tetap hidup

Kami yang Hidup dari MangroveMangrove hasil rehabilitasi di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Tahun 2017 menjadi momentum bahagia Rohman dan para pejuang konservasi mangrove di seputaran Langkat. Perjuangan bertahun-tahun diganjar dengan terbitnya Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKM) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lahan yang masuk dalam perizinan itu seluas 410 hektare. Legitimasi pengelolaan lewat skema perhutanan sosial ini langsung menggenjot semangat kelompok Rohman. Mereka juga sudah merumuskan Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk pengelolaan hutan secara berkala.

Luasan 410 hektare itu terdiri dari, 360 hektare hutan produksi dan 50 hektare di Hutan Lindung (HL). Izin pengelolaan ini memang belum sebanding dengan kerusakan lebih dari 1.200 hektare selama masa konversi.

“Yang kami harapkan di areal hutan produksi, yang  diambil oleh masyarakat hanya biotanya. Karena di pesisir, apabila tidak ada hutan penyangga maka yang paling utama banjir rob pasti terjadi. Areal pertanian bisa dimasuki air asin. Sampai perkampungan juga bisa masuk air asin. Maka kami berharap kepada pemerintah agar kiranya di areal hutan produksi tetap harus kita pertahankan,” ungkap Rohman.

Konservasi dengan menanam kembali hutan yang gundul terus dilakukan. Sejak 2017 hingga sekarang, tidak kurang dari 700 hektare yang sudah dikonservasi oleh Rohman dan kelompoknya. Namun petaka kembali datang pada 2020. Konflik antara pelaku arang bakau dan para penjaga mangrove terjadi.

Saat itu Agustus 2020. Kelompok Rochman menghentikan pelaku pembalakan liar. Namun para pembalak malah mencoba menyerang mereka.

Saat itu kelompok pembalak yang terhitung lebih dari 300 orang datang dari sungai. Membawa parang, kapak dan senjata lainnya. Sementara kelompok Rohman hanya tangan kosong tanpa persiapan apapun.

“Alhamdulillah dengan kesigapan kepala desa dapat menghentikan penyerang, tidak naik ke darat. Mereka datang tiba-tiba mau menghakimi kami yang melarang melakukan penebangan secara ilegal. Kami selaku kelompok yang menjaga dan merawat merasa keberatan. Dan saat itu apabila aparat desa tidak sigap, ya kami akan melakukan perlawanan juga,” terangnya.

Di lahan konservasi ini juga Rohman dan sejumlah anggota lainnya menggantungkan hidup. Mereka merasakan dampak positif dari konservasi.

Sampai saat ini, kegiatan patroli rutin masih sering dilakukan oleh para anggota kelompok. Mencegah para pembalak mengambil mangrove hasil konservasi. Pada September 2020 lalu, nelayan bersama petugas berwajib juga berhasil menangkap pembalak kayu bakau. Pelakunya langsung diinapkan di Rutan Polda Sumut. Kelompok Rohman juga pernah menangkap pelaku penebangan. Ternyata pelaku masih di bawah umur dan diduga terpengaruh narkoba. Mereka menyerahkan pelaku ke Polda Sumut.

Bukan hanya nelayan di Lubuk Kertang saja yang merasakan dampak kembali hijaunya hutan mangrove. Melainkan, beberapa kecamatan yang sebagian besar penduduknya memang mengandalkan hasil laut.

Pengelolaan kawasan semakin mantap dengan berdirinya Pusat Kajian Pemulihan Hutan Bakau Rakyat, Sentra Budidaya, Ekowisata Bahari (Learning Center for Silvofishery, Ecotourism Comunity Mangrove Basic Recovery). Di sana mereka juga melakukan budidaya udang paname dan kepiting bakau. Mereka juga melakukan pemanfaatan mangrove menjadi produk kreatif seperti sirup pidada dan kerupuk jeruju. Hasilnya, perekonomian masyarakat mulai terangkat perlahan.

Rohman percaya, kelak hutan bakau akan kembali lestari dengan segala upaya yang dilakukan mereka. Meskipun memang perlu niat yang tulus ikhlas melakukannya.

Rohman dan kelompoknya masih punya tugas yang berat untuk terus menyadarkan masyarakat akan pentingnya hutan bakau sebagai penyangga kawasan. Dia pun mengakui jika merubah paradigma masyarakat adalah tugas yang sulit.

“Setelah hutan hasil rehabilitasi boleh dibilang sukses. Tapi kami selaku pelaku rehabilitasi menurut kami belum berhasil. Karena apa yang kami harapkan belum terwujud. Salah satu apa yang kami harapkan agar kiranya hutan mangrove yang kami rehabilitasi tidak ada penjarahan, tidak ada pencurian. Namun sampai sekarang  penjarahan dan pencurian kayunya masih tetap ada,” katanya.

Baca Juga: 12 Potret Sicanang, Wisata Hutan Mangrove Terakhir di Medan Belawan

Dilema para perajin arang bakau, jadi bumper para cukong

Kami yang Hidup dari MangrovePerajin arang bakau di Desa Pangkalan Batu, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara tengah memuat kayu k dalam tungku. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dari kejauhan, asap tampak mengepul di bawah matahari yang nyaris sempurna naik ke atas kepala. Saya tiba di Desa Pangkalan Batu, Jumat (5/2/2021). Daerah yang disebut banyak orang sebagai penghasil arang bakau.

Yudi (bukan nama sebenarnya) tampak sibuk memasukkan kayu-kayu bakau ke dalam tungku. Di atas kepalanya terpasang sebuah senter kecil yang digunakan untuk penerangan di dalam tungku saat menyusun kayu. Dia dibantu seorang pekerja.

Ribuan batang kayu itu sudah dikumpulkannya dalam beberapa pekan. Panjangnya sekitar satu sampai dua meter. Yudi mengaku tungku itu adalah miliknya. Dia dan keluarga memang bergantung hidup dari tungku tersebut sejak lama.

Sembari saya mengobrol, Rani (nama samaran), istri Yudi menghampiri sambil menyuguhkan minuman kepada saya dan beberapa rekan lainnya. “Diminum yah bang,” kata Rani sembari memperkenalkan diri.

Lokasi dapur arang tepat di pinggiran sungai. Jumlahnya diperkirakan puluhan. Hanya beberapa yang tampak mengepul. Belasan lainnya tidak beroperasi.

Rani dan Yudi kompak bercerita mereka sudah lama menggeluti profesi sebagai perajin arang. Dapur arang itu pun sudah ada sejak tahun 1990-an. Rani juga paham betul, apa yang dilakukan suaminya memang menyalahi aturan. Dia selalu was-was jika suaminya berangkat mencari bahan baku ke hutan bakau. Takut jika suaminya ditangkap petugas yang sedang berpatroli. Apalagi, penangkapan terhadap pembalak dari Desa Pangkalan Batu pernah terjadi. Sampai sekarang pelakunya belum juga bebas.

“Tapi memang cuma dari sini cari makan kami. Kalau memang kami mau ditutup ya gak apa-apa. Tapi sediakan lapangan pekerjaan. Harus ada solusi dari pemerintah,” ujar Rani.

Gara-gara mengambil kayu arang, warga di kampung Rani juga pernah terlibat konflik dengan masyarakat lainnya. Karena mereka dianggap sudah memasuki kawasan yang  dilindungi.

Rani dan warga kampung perajin arang bakau sebenarnya dalam kondisi terjepit. Namun, apa mau dikata, tidak ada pilihan lain bagi mereka. Suami Rani pun sempat merantau ke Kota Medan untuk mencari pekerjaan lain. Nyatanya, penghasilan di Medan tidak bisa mencukupi kebutuhan. Alhasil Yudi kembali lagi ke Pangkalan Batu untuk memasak arang.

Rani dan Yudi hanya memiliki satu dapur arang, kapasitasnya untuk membakar 5 ribu batang bakau. Namun dalam sebulan dia hanya bisa membakar 3 ribu batang. Hasilnya cuma satu ton. Arang bakau yang sudah jadi dikumpulkan ke pengepul. Mereka tidak tahu-menahu soal siapa sebenarnya cukong besar arang bakau itu. Karena selama ini mereka hanya berkomunikasi dengan pengepul.

Per kilogramnya, arang bakau dihargai Rp3 ribu. Untuk memproduksi satu ton arang, dari proses pengumpulan kayu hingga pembakaran, Yudi membutuhkan waktu sampai dua bulan. Artinya, dalam dua bulan dia hanya bisa mengumpulkan uang sebanyak Rp3 juta. Bukan nominal yang besar untuk menghidupi keluarga dibanding dengan risiko yang harus ditanggung. Bahkan mereka juga menuturkan, tidak jarang ada oknum aparat yang melakukan pungutan liar kepada para perajin supaya usahanya tetap aman.

Rani sempat tahu beberapa dapur arang sebenarnya dimodali oleh para tauke. Kemudian para perajin menyicil modal yang sudah diberikan untuk membuat dapur arang.

Rani juga heran, kenapa mereka selama ini selalu menjadi buruan aparat. Sementara perkebunan sawit yang melakukan konversi seakan dibiarkan. Selama ini masyarakat di Pangkalan Batu juga menolak soal konversi sawit. Mereka tahu betul akibat jika lahan bakau dikonversi menjadi perkebunan sawit.

“Kami hanya mencari sesuap nasi. Kenapa sawit-sawit itu gak dilarang. Kalau kami, udah kami tebang dia masih ada akar-akarnya. Gak sampai bawah kami tebang. Kami ambil bagian atas, ikan masih bisa bermain. Bisa kita dapat ikan. Masih ada tempat ikan, kepiting, terumbu karang yang lainnya. Kalau sawit, ikan mana yang mau main di Sawit,” tukasnya.

Upaya masyarakat untuk mendapatkan izin pengusahaan hutan bakau sudah dilakukan. Lewat Koperasi Serba Usaha (KSU) Bahagia Keluarga Bahari, mereka mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) seluas 503 Ha, lewat Surat Keputusan Bupati Langkat Nomor: 222.11.34/K/2012. Namun mereka belum bisa melakukan penebangan di lahan itu.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatra Utara mencatat, ada sekitar 104 dapur arang yang tersebar di kawasan Desa Pangkalan Batu. WALHI menduga kuat, para cukong atau pengusaha arang membuat skema yang tersistematis agar bisnis ilegalnya tidak terbongkar. Misalnya, di tingkatan para perajin arang, pengusaha menggelontorkan modal supaya masyarakat mau menjadi perajin arang. Ini merupakan ironi yang terjadi di tengah masyarakat.

“Kami melihat, perusahaan menjadikan masyarakat sebagai bumper untuk meraup laba. Masyarakat dihadapkan dengan risiko tersangkut kasus hukum. Sementara pengusahanya sampai sekarang tidak tersentuh,” ujar Direktur WALHI Sumut Doni Latuperissa, Selasa, 9 Februari 2021.

WALHI menduga kuat jika para pengusaha banyak yang berlindung dalam skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Para pengusaha membuat koperasi-koperasi yang kemudian mengurus perizinan pengelolaan hutan. Kerusakan tanaman bakau akibat perambahan ini pun pencapai ratusan hektare.

Semua fenomena seperti pembalakan liar, konversi lahan, konflik horizontal dan rantai gelap bisnis arang bakau, menurut Doni, terjadi akibat ketidakhadiran pemerintah di tengah polemik yang ada. Pemerintah seharusnya melakukan pengawasan yang lebih intensif di kawasan hutan. Sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem mangrove juga masih menjadi pekerjaan pemerintah

“Kami menganggap pemerintah masih abai. Seharusnya ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat, ataupun hadir bersama masyarakat. Bukan malah hadir untuk mendampingi pihak-pihak yang berkepentingan untuk segelintir saja seperti dugaan kita,” ujar lulusan Program Studi Antropologi FISIP USU itu.

Sekelumit upaya pemerintah menjaga mangrove

Kami yang Hidup dari MangroveKondisi dapur arang di Desa Pangkalan Batu, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Mangrove di Lubuk Kertang dan Pangkalan Batu masuk dalam kawasan yang diawasi oleh Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) Wilayah I Stabat.

Kepala UPT KPH Wilayah I Stabat Puji Hartono mengatakan, selama ini pihaknya sebenarnya rutin melakukan patroli di kawasan tersebut untuk menindak para pembalak liar. Upaya ini diklaim sudah mengurangi aktifitas pembalakan. Bahkan pelaku yang tertangkap pada akhir tahun lalu juga sudah diseret ke pengadilan. Namun begitu, penuturan masyarakat menyatakan jika pembalakan masih terus terjadi.

“Memang petugas kita sedikit sekali. Kadang-kadang siang patroli, malamnya mereka (perambah) masuk,” ungkap Puji, Kamis, 18 Februari 2021.

Soal keberadaan dapur arang di Desa Pangkalan Batu, Puji pun mengakuinya. Namun itu merupakan kewenangan dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Langkat.

“Pangkalan Batu itu memang daerah dapur arang. Kebetulan dapur arang itu di luar kawasan. Itu sebenarnya kewenangan Kabupaten Kota,” ungkapnya.

Kata Puji, sebenarnya DPRD Kabupaten Langkat sudah memberikan rekomendasi untuk menertibkan dapur arang. Namun pihak KPH saat ini masih berkoordinasi dengan dinas terkait.

Petaka hilangnya mangrove

Kami yang Hidup dari MangroveDua ekor burung udang bertengger di kawasan hutan mangrove Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Catatan WALHI Sumut, dalam 20 tahun terakhir, kawasan hutan bakau di Pantai Timur Sumatra Utara mengalami degradasi secara signifikan.

Citra satelit pada 1999 menunjukkan, tutupan hutan di Pantai Timur masih menyentuh angka 60.064 hektare.  Namun pada 2018 luasannya berkurang menjadi 47.499 hektare meliputi kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi (KH SUMUT, SK 8088 Tahun 2018). Artinya terdapat penurunan luas kawasan yang mencapai 12.565 ha.

Dari data itu, perkebunan sawit menjadi penyebab kerusakan paling utama sebesar 40 persen. Kemudian tambak 35 persen, pertanian 25 persen dan lainnya 5 persen. Pantai Timur Sumatra bagian Utara menjadi penyumbang angka yang cukup signifikan untuk kerusakan hutan bakau.

Pakar Kehutanan Universitas Sumatra Utara (USU), Onrizal dalam penelitiannya mencatat, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, pesisir Timur Sumatra Utara sampai sebagian Aceh sudah kehilangan 60 persen luasan mangrove. Sementara, jika melihat data global, hutan mangrove hilang sebesar 30 persen dalam tiga dekade terakhir. Onrizal kembali menegaskan, peralihan lahan menjadi tambak dan perkebunan sawit menjadi faktor terbesar. Kondisi ini diperparah dengan ketidakseriusan pemerintah dalam menekan laju kerusakan mangrove.

"Jadi ini sumbangan kita terhadap nasional dan juga global paling besar kalau kita lihat dari proporsinya,” ungkap Onrizal.

Menjadi sebuah anomali ketika ekspansi lahan sawit menyasar kawasan pesisir. Padahal sawit merupakan lahan kering. Dia menduga jika konversi terjadi di pesisir lantaran biayanya lebih murah ketimbang di lahan kering.

“Konversi mangrove menjadi sawit itu tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat biasa. Kenapa? Karena mereka harus membuat benteng dan itu bukanlah pekerjaan mudah. Biasanya dilakukan dengan menggunakan alat berat. Itu biayanya mahal untuk perorangan. Hanya pemodal yang bisa melakukan itu,” terangnya.

Hilangnya mangrove akan menjadi petaka bagi peradaban. Konversi sawit misalnya, menyebabkan biota laut seperti kepiting, udang dan ikan hilang. Tentunya ini akan menghilangkan pendapatan para nelayan.

“Jadi ini adalah sebuah proses memiskinkan masyarakat pesisir dengan mengkonversi hutan mangrove. Kita juga bisa kehilangan generasi akibat hilangnya sumber protein bagi anak bangsa,” tukasnya.

Penelitian Onrizal menunjukkan, kehilangan 100 hektare mangrove berakibat pada hilangnya lebih kurang 1,2 ton udang. Karena udang memang bergantung pada ekosistem mangrove yang sehat. Maka tidak heran jika harga udang bisa melambung karena jumlahnya memang semakin sedikit populasinya karena perambahan ekosistem.

Hasil riset lainnya menunjukkan jika dua per tiga biota perairan itu hanya bisa dijumpai di hutan mangrove yang baik.

Kerusakan mangrove juga berakibat pada intrusi air laut. Kondisi air tanah di seputar kawasan pesisir akan menjadi asin. Karena mangrove sebagai penyaringnya sudah hilang. Belum lagi soal abrasi di kawasan pesisir. Kondisi daratan akan semakin berkurang dengan berkurangnya mangrove.

Manfaat mangrove juga terlihat betul pada bencana tsunami di Aceh 2004 silam. Sebanyak 96 persen kawasan yang berada pada hutan mangrove yang baik bisa selamat. Sementara, kawasan yang mangrovenya sudah hilang, dampak kerusakannya begitu besar.

Mangrove juga berguna sebagai penyaring karbon yang baik. Hutan mangrove punya kemampuan menyimpan karbon lima kali lipat dari hutan yang ada di daratan. “Ketika orang bicara mitigasi perubahan iklim, maka langkah yang tepat itu adalah bagaimana melestarikan hutan mangrove-nya,” ungkapnya.

Jika konsisten, paling tidak butuh 15 tahun untuk merehabilitasi satu kawasan hutan mangrove menjadi hutan sekunder. Sementara, untuk kembali menjadi hutan primer bisa butuh waktu hingga seratus tahun.

“Saya sampaikan kemudian kalau kita kehilangan mangrove itu yang terjadi adalah pembunuhan secara perlahan terhadap masyarakat pesisir. Kenapa? Karena kehidupan masyarakat nelayan sangat tergantung kepada hutan mangrove. Ikan, udang dan kepiting sangat tergantung dari hutan mangrove. Saya sering sampaikan hilangnya mangrove sesungguhnya adalah perbuatan silent killer. Orang kota bisa makan seafood karena ada mangrove,” tegasnya.

Menanti Ketegasan BRGM bentukan Jokowi

Kami yang Hidup dari MangroveKawasan hutan mangrove Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pemerintah Indonesia saat ini memiliki Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang dibentuk lewat Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020. Sebelumnya lembaga ini hanya bernama BRG saja. Dilansir dari laman brg.go.id, tugas BRGM adalah melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove di sembilan provinsi yaitu Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat. Hartono ditunjuk sebagai Kepala BRGM pada Desember 2020.

“BRGM ini adalah Lembaga Nonstruktural. Keberadaannya diperlukan untuk mendukung percepatan tugas-tugas tertentu dari Bapak Presiden. Bukan mengambil tugas dari kementerian yang telah ada, tetapi membantu agar tugas itu dapat dilaksanakan lebih efektif,” ujar Hartono dalam keterangan resminya.

Dengan kondisi yang ada, BRGM punya tugas yang sangat berat. Aktivis Green Justice Indonesia (GJI) atau Keadilan Hijau Indonesia Panut Hadisiswoyo mengatakan, pemerintah harus terlebih dahulu memiliki pemahaman yang sama akan peran besar mangrove bagi kehidupan. Pengelolaan dan penyelesaian polemik yang terjadi di lapangan juga harus menjunjung tinggi prinsip keadilan.

“Jadi saya pikir, sebelum BRGM melakukan intervensi kebijakan terhadap mangrove, justru yang harus didudukkan adalah tata kelolanya dulu. Karena banyak hal yang sudah terlanjur ada. Ini yang harus diselesaikan secara adil. Tata kelola ini harus melibatkan banyak pemangku kebijakan yang menanungi wilayah mangrove. Saat ini di Pantai Timur begitu banyak lahan mangrove sudah habis. Bagaimana untuk mengembalikan ini?” ungkap laki-laki kelahiran Oktober 1974 itu.

Selama ini pengawasan terhadap kawasan mangrove masih terkesan mengedepankan ego sektoral. Sehingga tidak begitu maksimal untuk mengimbangi kerusakan yang terjadi. “Ada pengawasan, tapi tidak menyeluruh. Sehingga beberapa wilayah menjadi target konversi,” ujar lulusan Program Studi Konservasi Primata Universitas Oxford Brookes, Inggris itu.

Carut-marut pengawasan kawasan mangrove ini yang harusnya jadi ‘pekerjaan rumah’ yang besar bagi BRGM. Lembaga ini harus mampu meretas ego sektoral yang ada. “Saling lempar tanggung jawab masih terjadi. Semoga BRGM bisa mendeteksi ini,” katanya.

Dalam tugas barunya, BRGM ditargetkan melakukan percepatan restorasi terhadap 1,2 juta Hektare lahan gambut dan 600.000 Hektare lahan mangrove.

Moratorium jadi langkah kongkrit selamatkan mangrove

Kami yang Hidup dari MangroveDapur arang bakau di Desa Pangkalan Batu, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kerusakan mangrove di Indonesia yang begitu masif menjadi ancaman baru. Bencana ekologi pun menghantui. Pemerintah sudah seharusnya mengambil kebijakan untuk meminimalisir dampak hilangnya mangrove.

Wacana moratorium pun mencuat dari berbagai kalangan. Termasuk dari GJI, lembaga yang diisi oleh sejumlah aktivis lingkungan. Tingkat deforestasi mangrove yang masih sangat tinggi menjadi urgensi kenapa moratorium harus dilakukan.

Dana Prima Tarigan, salah seorang pentolan GJI lainnya menganggap, moratorium kawasan mangrove akan menyelamatkan ekosistem dari bencana ekologi. Mereka mendesak pemerintah mengeksekusi kebijakan ini dengan berbagai pertimbangan yang ada. “Sebaiknya moratorium dulu semua izin di kawasan mangrove. Karena kita merasa semakin tahun, kerusakannya semakin besar,” ungkap Dana yang juga pernah menjabat sebagai Direktur WALHI Sumut.

Moratorium itu pun harus dilakukan terhadap semua kawasan. Baik hutan lindung, hutan produksi atau kawasan lainnya. Kebijakan ini dianggap dana justru bisa meningkatkan perekonomian masyarakat. Terlebih menyelamatkan masyarakat dari bencana ekologi.

Dana juga menyayangkan selama ini pemerintah terkesan tebang pilih dalam melakukan penegakan hukum kepada perusak hutan mangrove. Apalagi terhadap perusahaan-perusahaan sawit yang mengalihfungsikan lahan secara ilegal. Padahal, dampaknya kepada masyarakat sangat begitu jelas.

“Kita meminta ketegasan aparat keamanan pemerintah terkait hutan mangrove di Sumatera Utara itu untuk melakukan tindakan cepat. Sebelum semuanya terlambat dan bencana ekologis itu menelan korban jiwa. Kemudian konflik horizontal akibat pembiaran ini juga akan berpotensi memakan korban di masyarakat. Pertanyaannya, kenapa kerusakan itu terus terjadi tanpa ada tindakan hukum apapun oleh pemerintah atau aparat keamanan? Padahal, bukan rahasia umum, banyak sekali yang tidak berizin di situ,” ungkapnya.

Pemerintah juga harus bertindak tegas kepada oknum-oknum yang terlibat. Dana meyakini, jika keterlibatan oknum pemerintahan cukup kuat sehingga konversi lahan secara ilegal bisa berjalan mulus. Dugaan keterlibatan oknum pemerintahan ini yang sebenarnya, kata Dana, membuat penegakan hukum lemah dijalankan.

Pemerintah, menurut Dana, juga harus berani mendesak perusahaan yang melakukan konversi lahan untuk melakukan rehabilitasi.

“Jadi bukan hanya negara yang menghabiskan uang untuk melakukan rehabilitasi tapi orang-orang dan perusahaan-perusahaan yang melakukan alih fungsi dan kerusakan hutan ini tanpa izin, juga harus dimintai tanggung jawab untuk melakukan rehabilitasi seperti sediakala keadaan mangrovenya,” pungkasnya.

Konservasi kawasan mangrove membutuhkan kerjasama yang baik antar pihak dan pemangku kebijakan. Pemerintah juga harus memberikan solusi bijak terhadap persoalan yang ada di akar rumput. Pemerintah juga harus bertanggungjawab penuh terhadap masyarakat yang selama ini mencari hidup dan penghidupan dari mangrove. Bahkan yang melakukan aktifitas ilegal sekali pun. Pemerintah harus memberikan solusi konkret supaya masyarakat yang bergantung dari dapur arang bakau bisa tetap bertahan hidup. 

Baca Juga: Hari Mangrove se-Dunia, Kerusakan Hutan di Sumut Memprihatinkan

Topik:

  • Doni Hermawan
  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya