Ini 5 Catatan Penting dari Pengamat Politik Terkait Pemilu 2019

Netralitas aparat penegak hukum masih jadi sorotan

Medan, IDN Times – Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2019 pada 17 April lalu meninggalkan beberapa catatan penting. Pemilu kali ini dianggap yang terberat dalam sejarah demokrasi di Indonesia dalam menentukan pemimpin.

Dinamika sepanjang proses Pemilu juga memberikan dampak sosial kepada masyarakat. Apalagi pada Pilpres yang hanya mempertandingkan dua Calon yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Masyarakat pun seakan terbelah menjadi dua kubu.

Fanatisme terhadap dukungan salah satu calon juga terkadang membutakan publik. Bahkan,  hingga usai pencoblosan, tensinya masih terasa.

Pengamat Politik asal Universitas Sumatera Utara (USU) Dadang Darmawan Pasaribu memberikan sejumlah catatan penting terhadap perhelatan akbar yang juga banyak memakan korban jiwa itu.

“Secara umum masyarakat menuduh kubu 01 telah mengggunakan aparatur pemerintahan untuk mempengaruhi pemilih sehingga aparat menjadi tidak netral. Sebaliknya, masyarakat juga menuduh kubu 02 telah memanfaatkan berita bohong untuk mempengaruhi pemilih sehingga masyarakat termakan isu yang tidak benar,” kata Dadang membuka obrolan, Rabu (24/3).

1. Hoaks ibarat santapan harian sepanjang Pemilu

Ini 5 Catatan Penting dari Pengamat Politik Terkait Pemilu 2019Shutterstock

Dadang mengatakan, kabar bohong atau hoaks begitu marak sepanjang proses Pemilu. Mulai dari kontestan hingga penyelenggara menjadi sasaran empuk serangan hoaks.

Ibarat menjadi sebuah realitas kehidupan, saat ini standar kebenaran objektif dan faktual, kini bergeser menjadi kebenaran yang ‘semu’. Realitas objektif hari ini dengan mudah bisa ditutupi dan dikesampingkan dengan bantuan media.

“Terlebih dengan munculnya media sosial yang bisa dimiliki setiap individu, semakin memicu maraknya berita-berita dan iklan-iklan anonim yang semakin menjauhkan dari fakta-fakta objektif,” ungkap  Dadang.

Baca Juga: Video Viral! Lion Air Suruh Anak 3,5 Tahun Bawa Barang Seberat 7 Kg

2. Berita bohong hanya membuat kebingungan dan kegaduhan publik

Ini 5 Catatan Penting dari Pengamat Politik Terkait Pemilu 2019rawpixel.com

Berita Bohong dalam Pemilu 2019 jelas sudah menjadi realitas tidak terpisahkan. Dadang memberi istilah, masyarakat saat ini masuk dalam dunia baru bernama ‘hiper-realitas’.  Dunia iklan, dunia citra, dunia yang meninggalkan dan sekaligus menanggalkan kebenaran objektif.

“Pada dunia ciptaan dan rekayasa inilah seluruh standar kehidupan hari ini kita sandarkan. Tidak terkecuali dalam konteks politik dan Pemilu 2019 yang baru usai. Baru kali ini, Pilpres di warnai gejolak percakapan media sosial yang tinggi. Baru kali ini juga, semua orang dibuat kebingungan dengan berbagai berita palsu yang tidak diketauhi juntrungannya,” ungkap mantan Ketua Umum Badko HMI Sumut ini.

3. Masyarakat paling merugi dengan sebaran berita bohong

Ini 5 Catatan Penting dari Pengamat Politik Terkait Pemilu 2019https://unsplash.com

Dalam catatan Dadang menunjukkan, tak sedikit orang yang merasa perlu menggelontorkan berita bohong demi menyerang lawan hanya untuk menjatuhkan kredibilitas calon. Namun siapa yang dirugikan ?. Pastinya masyarakat yang ikut-ikutan itu.

Tercatat ada begitu banyak penyebar berita bohong yang kemudian ditangkap aparat. Namun  hampir secara umum, berita bohong itu dialamatkan untuk menyerang Jokowi, Pemerintah ataupun KPU dan Bawaslu. Meskipun sebagian yang lain ada juga menyerang Prabowo.

“Sekalipun berita bohong ini tidak ada hubungan yang erat dan akurat dengan kubu capres Prabowo, namun mengingat berita itu banyak ditujukan kepada Jokowi, asumsinya berita bohong itu lebih menguntungkan kubu 02 dan lebih menyudutkan 01. Karena itu, tentu saja semua itu mesti dikembalikan lagi kepada ranah hukum/penegak hukum untuk menghakiminya,” tukasnya.

4. Catatan penting terhadap netralitas aparat

Ini 5 Catatan Penting dari Pengamat Politik Terkait Pemilu 2019IDN Times/Toni Kamajaya

Dadang memberi catatan penting kepada netralitas aparat (birokrat, polri dan tni). Semua pihak memang mendorong netralitas kepada aparat ini ibarat sebuah harga mati. Karena Pemilu juga dinilai kualitasnya dari sejauh mana netralitas itu bisa diwujudkan.

Namun dalam kenyataan netralitas tidak pernah terwujud seratus persen. Seperti menjadi rahasia publik, bahwa semua calon petahana pasti diuntungkan dengan posisinya. Karena setiap petahana telah dengan sengaja menyusun seluruh personil birokrasi yang merupakan ‘orangnya’ demi memperoleh loyalitas/ketaatan tanpa batas, dan semua itu sah secara hukum.

“Karena itu, netralitas tidak saja menjadi soal dalam Pilpres 2019 yang baru usai, namun sudah dilakukan dan diaminkan semua partai pada saat Pilkada. Tidak adanya netralitas aparat justru lebih terbuka terjadi dalam Pilkada. Anehnya, semua partai bungkam dan bahkan menikmati posisi yang adem di bawah ketiak petahana. Semua politisi sadar, bahwa sebagai petahana jelas lebih diuntungkan, dan itu sudah diterima dengan legawa,” urainya.

Fakta dalam Pilpres 2019 menunjukkan, petahan memang diuntungkan. Semua orang tahu, Presiden Jokowi selaku petahana, jelas akan lebih diuntungkan ketimbang Prabowo sebagai penantang. Dengan sumberdaya yang dapat dikelola seperti uang, program, dan waktu yang dimiliki pemerintah yang untung pasti Jokowi.

“Masalahnya, sejauh apa pola itu dilakukan agar tidak mencolok. Dalam konteks ini, petahana pasti sudah memiliki langkah-langkah yang dipersiapkan, sehingga berbagai delik yang mungkin akan timbul dan dituduhkan bisa dikesampingkan dan dihindari. Bisa disimpulkan, semua Calon Presiden Petahana dan Semua Calon Kepala Daerah Petahana di Indonesia melakukan praktek yang sama memanfaatkan posisinya sebagai suatu keuntungan, dan semua itu sudah kadung dianggap hal yang biasa,”

5. Petahana bisa saja kalah, alasannya ?

Ini 5 Catatan Penting dari Pengamat Politik Terkait Pemilu 2019ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Tak tertutup kemungkinan, petahana bisa saja kalah dalam kontestasi. Faktor pendukung yang jadi penyebab kekalahan banyak. Mulai dari kinerja buruk, bermasalah dalam etika/moral dan lain sebagainya. Karena itu, petahana yang berprestasi pasti sangat sulit untuk dikalahkan, sementara yang buruk pun masih banyak terpilih.

Fenomena Pilpres kali ini pun begitu terlihat. Ada kesan ditengah masyarakat meskipun kinerja Jokowi tidak begitu sangat berprestasi namun kinerja sang petahana tidak begitu buruk

“Kecukupan nilai Jokowi selama satu periode dan keuntungan sebagai petahana inilah yang menjadi pondasi keuntungan ganda dalam kontestasi Pilpres 2019 ini. Karena itu, hal-hal yang berkait dengan ketidaknetralan aparat, bisa saja muncul, dan tentu saja semua itu akan menjadi ranah hukum,” pungkasnya.

Baca Juga: Ada Upaya Delegitimasi Dalam Pemilu? Simak Nih Analisis Kubu Jokowi

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya