Dulu Menjerat, Kini Bertaubat

Kisah pemburu satwa di TNBG beralih menjadi petani kopi

Darlis masih ingat betul masa lalunya yang kelam
Menjadi pemburu satwa, di hutan Mandailingnatal
Menjadi pemburu ternyata lebih banyak mudharatnya
Suara kicau burung yang kian sepi  membuatnya berpikir
Memilih bertaubat sebelum terlambat

Mandailingnatal, September 2022

Darlis baru saja pulang setelah setengah hari bekerja di kebun di penghujung September 2022. Laki-laki paruh baya itu langsung singgah ke kafe sederhana milik Koperasi Kopi Mandailing Jaya (Komanja) di Desa Habincaran, Kecamatan Ulu Pungkut, Kabupaten Mandailingnatal, Sumatra Utara, di penghujung September 2022. 

Setelah menyimpan cangkul, Darlis langsung menyeduh kopi. Sajian kopi tubruk dan kretek menemaninya siang itu. Sebatang kretek habis, Darlis masuk ke ruang penjemuran kopi yang ada di sebelah kafe. Mengecek biji kopi yang dijemurnya pagi tadi.

Meski baru saja berkebun, laki-laki 58 tahun itu seakan tidak lelah. Dia masih bisa mengangkat beberapa karung biji kopi yang diantarkan petani lain untuk dijemur. Biji - biji itu diserak di atas tatakan. Darlis menyebar biji kopi supaya kering merata. 

Sudah beberapa tahun terakhir Darlis ikut berkegiatan di Komanja. Dia membantu proses produksi kopi.

Ke luar dari penjemuran, Darlis kembali menyeruput kopinya. Mulai berbincang, soal masa kelamnya dulu, saat masih aktif menjadi pemburu satwa. 

“Dari tahun 1990-an saya ke luar masuk hutan. Berburu,” kata Darlis mulai membuka obrolan. 

Masa kelam dan pertaubatan

Cerita dua dekade lebih masih lekat diingatannya. Baginya itu pengalaman yang harus diceritakannya. Menjadi pengingat, bahwa apa yang dikerjakannya tidak baik.

Darlis hafal betul jalur ke luar masuk hutan. Dari Mandailingnatal dia pernah menjelajah hingga masuk ke hutan Sumatra Barat. 

“Kalau dulu saya bisa berhari - hari  di dalam hutan. Setelah dapat buruan baru lah ke luar,” imbuhnya. 

Darlis berburu dengan seorang temannya. Sebelum matahari terbit mereka sudah menjelajahi rimba. Setelah dikira mendapat tempat yang pas, mereka akan membuat gubuk sederhana sebagai pos.

Mereka mencari tempat tidak jauh dari sumber air. Ketika hari mulai gelap, mereka memasang api untuk memasak. “Kita bermalam dulu, besoknya baru berburu,” katanya.

Ketika matahari mulai pagi, jeratan disebar ke beberapa titik. Untuk membuat jerat, dia memanfaatkan tali dan kayu. Mereka kemudian menunggu.

Kemampuan membaca jejak satwa memudahkan Darlis berburu. Mereka menarget rusa.

Ketika sudah melihat jejak, barulah jerat dipasang. “Kalau udah nampak jejaknya, kita pasang di situ. Malam nanti lewat itu rusa,” katanya. 

Rusa akan masuk dalam jeratan jika peruntungan berpihak ke mereka. Namun, jika tidak, bisa menunggu berhari - hari lamanya. Satu kali pergi ke hutan, mereak bisa memasang sampai 100 jerat. 

Jika ada rusa yang masuk perangkap, mereka langsung menyembelihnya. Bangkai rusa di bawa ke pos. Rusa malang kemudian digantung. 

“Kalau digantung gak akan busuk dia. Tapi kakinya di atas, kepalanya di bawah,” katanya. 

Mendapat rusa buruan, Darlis kembali ke kampung. Rusa itu dijualnya kepada masyarakat. Saat itu, satu kilogram rusa, dihargai Rp20 ribu. 

“Dari satu ekor, kita bisa dapat rata - rata 70 Kg daging,” katanya. 

Selain rusa, mereka juga menyasar kambing hutan, kijang dan berbagai jenis burung. Jika nasib baik berpihak, dalam seminggu di hutan, Darlis bisa membawa lima sampai tujuh ekor burung. Dari poksai jambul putih, murai daun dan lainnya. Jika tidak dapat satwa, Darlis akan mengambil rotan dari dalam hutan, untuk dijualnya.

“Kalau burung satu ekor lumayan harga jualnya.Waktu itu murai daun kami jual Rp100 ribu per ekor. Itu sekitar 1995 - 1997. Sebelum moneter,” katanya. 

Berburu di hutan Mandailingnatal, harus dihadapkan risiko yang besar. Selain medan yang berat, potensi  serangan hewan buas juga besar. 

Darlis sendiri, sangat sering menemukan jejak harimau sumatra. Di masa itu, Darlis seakan tidak punya rasa takut. Dia meyakini, harimau akan menghindar jika bertemu dengan manusia. 

“Pokoknya harimaunya gak pernah nampak. Tapi jejaknya biasa,” imbuhnya. 

Bukan tanpa alasan Darlis menjadi pemburu. Kala itu, dia tidak ada pilihan lain. Lantaran tidak ada pekerjaan lain, sehingga memilih jalan menjadi pemburu.

Dulu Menjerat, Kini BertaubatDanau Saba Godang di Taman Nasional Batang Gadis, Mandailingnatal. (Mirza Baihaqie for IDN Times)

Dulu  Darlis tidak mengetahui soal terminologi hutan lindung dan satwa di dalamnya. Baginya, semua hutan sama. Berbagai satwa di dalamnya bisa diambil dan dimanfaatkannya. 

Perlahan, Darlis mulai berpikir menjadi pemburu satwa bukan pekerjaan yang baik. Berniat mencari untung, Darlis malah menumpuk utang. Misalnya, ketika hendak berburu, mereka harus mengutang ke warung untuk mendapatkan logistik seperti gula, kopi, rokok dan lainnya. Utang tersebut baru dibayarkan saat hewan buruan Darlis laku. 

Satu ketika, Darlis melihat burung yang menjadi target buruan. Pikirannya lantas bergejolak. Saat itu dia berpikir, bagaimana jika burung yang dijeratnya ternyata punya anak dan menunggu induknya pulang membawa makanan. Padahal sang induk sudah masuk dalam jeratan Darlis. 

“Banyak yang diambil dari hutan. Tapi tidak ada itu semua. Hasilnya kosong. Cuma tinggal lelah saja,” kata Darlis. 

Darlis kembali mengingat kondisi hutan saat dia masih sering berburu. Masih begitu lebat. Satwa juga masih sangat banyak. Kondisi ini juga yang menjadi bahan perenungan Darlis. Dia membayangkan kelak, hutan dan satwa di dalamnya habis. Dia berpikir dampak jangka panjang. Tentunya ini bisa menjadi malapetaka bagi anak cucunya. 

Kegundahan ini kian mendorong tekad Darlis bertaubat. Dia menyesal pernah menjadi pemburu.

Sampai saat ini Darlis masih sering ku luar masuk hutan. Melepas kerinduannya kepada rimba yang saat ini malah dia jaga. Dia juga sering mengingatkan kepada pemburu lain untuk segera berhenti. 

“Kalau sekarang lihat satwa di hutan, hati lebih tenang,”ungkapnya. 

Dulu Menjerat, Kini BertaubatDarlis bersama pengurus Komanja memilah biji kopi sebelum di-roasting. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Candu kopi

Memasuki era 2010-an Darlis sudah berhenti total menjadi pemburu. Dia mencoba peruntungan menjadi pekerja bangunan. Di era ini juga dia bertemu dengan Safruddin Lubis alias  Ucok Godang, salah satu pendiri Koperasi Kopi Mandailing Jaya. Salah satu wadah bagi para petani kopi yang juga berperan dalam upaya konservasi. 

“Diajak Ucok lah kerja. Waktu itu koperasi belum berdiri. Ucok juga yang mengingatkan saya untuk tidak berburu lagi,” katanya. 

Koperasi Kopi Mandailing Jaya (Komanja) kemudian berdiri pada Desember 2015. Visi mereka membuat petani sejahtera  dan menjaga kelestarian hutan.

Awalnya, Darlis hanya ikut - ikutan. Perpindahan kantor koperasi dipercayakan kepada Darlis. Dia membantu pembangunan kantor koperasi, penjemuran dan lainnya.

“Waktu itu di kasih sebungkus kopi saya. Rupanya candu saya dengan kopinya.” katanya. 

Nikmatnya kopi dari Komanja membuatnya tertarik bergabung. Kegiatan di Komanja mulai diikuti. Setelah berladang, dia menyempatkan diri menjemur kopi. Perlahan, dia juga belajar menyangrai (roasting) kopi, hingga memroduksi bubuk. 

“Ladang saya dekat sini. Jadi bisa berkegiatan di koperasi,” ungkapnya. 

Darlis pernah gagal saat mencoba menanam kopi. Kini, dari ladang yang tidak terlalu luas, dia kembali mencobanya. Dia meyakini, bertani kopi menjanjikan untuk memberikan kehidupan lebih baik.

Meski usianya tidak muda lagi, Darlis masih semangat. Dia juga punya keyakinan, kopi yang baik adalah berkat dari hutan yang terjaga. Darlis ingin, masa kelam yang dilaluinya lalu menjadi pelajaran bagi orang lain. Bahwa itu merupakan contoh buruk. Ada risiko yang menanti dirasakan oleh anak cucu mereka.

“Sekarang pikiran sudah tenang. Dari pada seperti berburu dulu. Kalau dulu, dapat uang banyak dari berburu gak ada artinya. Kalau sekarang, dapat sedikit, lebih memiliki arti,” pungkas Darlis.

Dulu Menjerat, Kini BertaubatPetugas Balai Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) memasang camera trap untuk memantau keanekaragaman hayati di hutan lindung. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Perburuan masih mengancam hutan Madina

Kepala Sub Bagian Tata Usaha BTNBG Bobby Nopandry tidak memungkiri aktivitas perburuan di Taman Nasional Batang Gadis masih terus terjadi. Pihaknya, beberapa kali melakukan penanganan kasus perburuan. Kekayaan taman nasional ke-42 di Indonesia itu, memang masih terancam aktivitas perburuan.

Misalnya perburuan rusa. Aktivitas ini masih terus ada karena ada permintaan dari peminatnya. Ada anggapan bahwa memakan hewan liar dan langka itu menjadi kebanggaan dan memiliki nilai sendiri. 

“Padahal tentunya ini berbahaya. Karena satwa itu bisa membawa penyakit,” ujar Bobby. 

Perburuan burung baik yang dilindungi atau pun tidak, diakui Bobby juga masih terjadi. Pihaknya terus gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar tidak melakukan perburuan. Karena akibatnya bisa berujung pada pidana.

TNBG menjadi habitat sejumlah satwa yang masuk dalam daftar terancam punah. Seperti burung rangkong, tapir dan harimau sumatra. 

“Kita (TNBG) merupakan koridor penting sebaran harimau sumatra dan tapir. Jika habitatnya terjaga, mudah-mudahan satwanya terjaga juga,” ungkap Bobby.

Untuk menjaga kawasan seluas 72.803,75 hektare TNBG hanya memiliki 77 petugas. Jumlah ini diakui Bobby tidaklah cukup. Untuk menambah kekuatan, mereka melibatkan partisipasi masyarakat. Baik melalui kemitraan konservasi hingga Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MMP). 

Data temuan Balai TNBG sejak 2015 menunjukkan ada 12 temuan perburuan satwa di dalam kawasan. Kemudian ada 56 temuan pembalakan dan 145 temuan penggunaan kawasan.

Patroli rutin di dalam kawasan juga digencarkan untuk meminimalisir tekanan ke dalam kawasan. Kepala Satuan Polisi Hutan TNBG Atos Febrisyahma mengatakan pelibatan masyarakat dalam penjagaan kawasan cukup efektif untuk mengurangi gangguan terhadap kawasan. 

Kata Atos, perburuan cukup marak terjadi saat COVID-19 merebak. Satwa yang menjadi incaran adalah rusa dan kambing hutan. 

“Kami  aktif melakukan patroli sapu jerat di dalam kawasan. Kondisi saat ini sudah jarang ditemukan jerat di dalam kawasan. Taman Nasional batang gadis ini adalah anugerah Tuhan. Jadi kekayaan alamnya patut dijaga dan dilestarikan. Jadi mari sama-sama kita jaga,” pungkasnya. 

**Liputan ini didukung Pulitzer Center melalui program Rainforest Journalism Fund.

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya