Dokter Gigi Spesialis di Sumut Minim, Biaya Jadi Tantangan

PDGI Medan berharap pemerintah ambil peran

Medan, IDN Times – Minimnya jumlah dokter spesialis di Indonesia menjadi isu serius. Tidak sedikit fasilitas layanan kesehatan mengalami kekosongan dokter spesialis.

Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), per 6 Desember 2022 baru ada sekitar 54,1 ribu dokter spesialis di dalam negeri. Angka ini mencakup dokter dari 47 kelompok spesialisasi. Mulai dari spesialis anak (Sp.A), spesialis bedah (Sp.B). Begitu juga ada kelompok kelompok spesialis gigi seperti spesialis ortodonti (Sp.Ort) dan odontologi forensik (Sp.OF).

Kondisi dokter gigi spesialis termasuk yang memiliki jumlah paling sedikit. Hal ini diakui oleh Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kota Medan Ranu Putra Armidin. Dia juga mengungkap sejumlah tantangan yang menjadi penyebab minimnya jumlah dokter gigi spesialis.

Data yang dilansir dari databoks.katadata.co.id, jumlah dokter gigi spesialis di Sumatra Utara jumlahnya hanya 198 orang per Desember 2022.

Apa tantangan yang dihadapi untuk menjadi dokter spesialis dan setelah menjadi dokter spesialis gigi?

Berikut wawancara ekslusif IDN Times dengan Ranu Putra Armidin, Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kota Medan. Yuk simak:

Baca Juga: Kesulitan Kenal Huruf, Ini Solusi untuk Anak yang Mengalami Disleksia

1. Pendidikan dari S1 hingga spesialis memakan waktu lama

Dokter Gigi Spesialis di Sumut Minim, Biaya Jadi TantanganRanu Putra Armidin, Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kota Medan (Dok. IDN Times)

Ranu bercerita minimnya jumlah dokter gigi spesialis juga dipengaruhi oleh masa pendidikan yang cukup lama. Ini menjadi salah satu tantangan bagi seorang dokter gigi untuk mencapai jenjang spesialis.

Dia mengilustrasikan untuk menyelesaikan jenjang strata 1, rata-rata mahasiswa menghabiskan waktu 4-5 tahun. Kemudian mereka harus melanjutkan ke jenjang Cooperative Assistant (co-ass) atau biasa dikenal sebagai pendidikan profesi dokter gigi. Pada jenjang ini, bisa menghabiskan hingga empat semester, bahkan lebih.

“Sangat variatif. Ada yang sarjananya lama, tapi di pendidikan profesi bisa cepat. Begitu juga sebaliknya,” kata Ranu kepada IDN Times, Rabu (5/1/2023).

Setelah merampungkan pendidikan profesi, mereka kemudian mengikuti Ujian Kompetensi Dokter Gigi (UKDGI). Setelah lulus, mereka baru bisa mengurus Surat Tanda Registrasi (STR) untuk berpraktik. Baik berpraktik di rumah sakit, atau membuka praktik mandiri.

2. Sarpras pendidikan kedokteran gigi masih minim

Dokter Gigi Spesialis di Sumut Minim, Biaya Jadi TantanganRanu Putra Armidin, Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kota Medan (Dok. IDN Times)

Untuk menjalani pendidikan sebagai dokter gigi, para mahasiswa juga masih terkendala dengan minimnya sarana dan pra sarana layanan kesehatan khusus gigi. Karena, layanan kesehatan harusnya menjadi wahana bagi para calon dokter gigi untuk berpraktik.

Di Sumatra Utara, ungkap Ranu, hanya beberapa daerah saja yang memiliki wahana yang baik untuk kedokteran gigi. Selain Rumah Sakit Gigi dan Mulut yang dimiliki Universitas Sumatra Utara. Lokasinya ada di beberapa kota seperti, Medan dan Pematang Siantar.

3. Menjadi dokter gigi spesialis prosesnya panjang, biayanya juga besar

Dokter Gigi Spesialis di Sumut Minim, Biaya Jadi TantanganIlustrasi Dokter Gigi di Tengah Pandemik COVID-19 (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Ranu juga bercerita soal jalan panjang dan tantangan untuk menjadi dokter gigi spesialis. Setelah merampungkan strata 1 dan profesi, seorang dokter gigi bisa mengambil jenjang spesialis.

Untuk mengambil spesialisasi ada sejumlah syarat juga yang harus dipenuhi. Pada umumnya, mereka harus sudah bekerja sebagai dokter gigi selama setahun. Kemudian, mereka harus mendapat rekomendasi dari tempat dia bekerja untuk mengikuti pendidikan spesialis. Kemudian seorang dokter gigi mengikuti ujian. Setelah dinyataka lulus, dia harus menjalani pendidikan spesialis hingga 3 tahun. Khusus pada bedah mulut, pendidikannya mencapai 5 tahun.

Ranu mengatakan, selain prosesnya yang panjang, pendidikan spesialis menuntut pembiayaan yang tidak murah. Ketua Umum HMI Cabang Medan 2007 – 2009 itu menyebut, pendidikan spesialis bisa menghabiskan dana hingga Rp500 juta.

“Jujur, biayanya mahal. Itu mulai dari biaya SPP, klinik, penelitian dan lainya,” katanya.

Tidak hanya spesialis, selama pendidikan strata 1 hingga menjadi dokter yang memiliki tempat praktik mandiri juga membutuhkan dana besar. Bayangkan, saja harga satu dental unit harganya bisa mencapai ratusan juta. Belum termasuk perlengkapan lain serta bahan praktik.

Kebanyakan, dokter yang mengambil spesialis gigi adalah orang – orang yang memiliki perekonomian cukup mapan. Meski pun ada jalur lainnya melalui berbagai beasiswa. Namun, peluangnya sangat kecil.

4. Butuh pemerataan dokter gigi hingga ke daerah

Dokter Gigi Spesialis di Sumut Minim, Biaya Jadi TantanganIlustrasi Dokter Gigi di Tengah Pandemik COVID-19. (IDN Times/Irfan Fathurohman)

Saat ini PDGI senidiri memiliki sekitar 1.300-an anggota di Kota Medan. Tidak kurang dari 60 persen memiliki tempat praktik sendiri. Sayang, kondisi sebaran praktik diakui belum merata. Sehingga berpotensi terjadi persaingan yang kurang sehat.

Ini menjadi tantangan bagi PDGI. Fenomena yang terjadi di lapangan, potensi singgungan etik antar sejawat. Ini bertolak belakang dengan nilai luhur dari kedokteran gigi sendiri.

“Kita selalu lakukan edukasi etik ke para anggota. Kita ini adalah profesi luhur, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Karena kita menawarkan upaya. Bukan hasil,” tukasnya.

Bagi Ranu, cara yang paling efektif adalah melakukan pemerataan dokter gigi hingga ke daerah-daerah. Pemerintah harus andil dalam kondisi tersebut.

5. Pemerintah juga harus dukung penuh untuk menambah kuantitas spesialis gigi

Dokter Gigi Spesialis di Sumut Minim, Biaya Jadi Tantanganilustrasi pengobatan gigi berlubang oleh dokter gigi (pexels.com/Evelina Zhu)

Melihat kondisi minimnya dokter gigi spesialis, Ranu mendorong pemerintah untuk memberikan dukungan. Bisa dengan berbagai metode. Termasuk memberikan lebih banyak lagi beasiswa.

Kemudian, penerimaan dan pemerataan dokter gigi di daerah-daerah selain perkotaan juga harus ditingkatkan.

Baca Juga: Penyu Lekang Ditemukan Mati di Pantai Aceh Jaya Terkena Jaring Nelayan

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya