Diskusi STFJ, Menakar Solusi Konflik Harimau Sumatra dengan Manusia

Pengandangan ternak jadi solusi sementara

Medan, IDN Times – Konflik Harimau Sumatra dengan manusia di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara menjadi alarm penanda jika ada yang tidak beres di alam. Solusi konkrit harus segera dilakukan untuk meminimalisir potensi konflik.

Konflik kian memanas. Setelah lima ternak warga mati dalam semalam di kawasan Desa Batujonjong, Kecamatan Bahorok, kasus teranyar terjadi di Desa Lau Damak, Bahorok. Satu ekor lembu di sana nyaris disantap harimau pada Sabtu (16/1/2021) dini hari. Di malam sebelumnya satu ekor lembu juga mati dimangsa. Jarak lokasi kejadian dengan pemukiman warga juga semakin dekat.

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatra Utara menyebut, sepanjang 2020 hingga Januari 2021, lebih dari 20 kali konflik terjadi di Langkat. Intensitasnya pun terus meningkat belakangan. 

Untuk menyikapi semua persoalan yang terjadi, perlu solusi bijaksana. Paling tidak, Harimau Sumatra yang diambang punah tidak tersakiti, terlebih manusia yang juga hidup berdampingan dengan habitatnya.

Dengan konflik yang terjadi, para jurnalis yang tergabung di dalam Sumatra Tropical Journalist (STFJ) Sumut menggagas diskusi bertajuk Telusur Jejak Harimau Sumatra di Langkat. Dalam diskusi ini STFJ mencoba menggali lebih jauh lagi, mengapa konflik semakin masif.

Diskusi ringan itu digelar di Sekretariat STFJ, Jalan Melinjo Raya, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, Jumat (15/1/2021) petang. STFJ juga mengundang lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan konflif di Kabupaten Langkat.

Lembaga seperti Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah I Stabat ikut hadir memberikan testimoni dan berbagai gambaran solusi. Begitu juga dengan beberapa perwakilan pegiat konservasi antara lain, Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP), Sumatra Tiger Project, Leuser Conservation Partnership (LCP) dan sejumlah jurnalis yang aktif dalam isu-isu konservasi lingkungan. Diskusi ini digelar atas kerjasama STFJ dengan Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatera).

1. BBKSDA sebut penyebab harimau masuk ke wilayah kelola masyarakat karena ternak yang dilepas

Diskusi STFJ, Menakar Solusi Konflik Harimau Sumatra dengan ManusiaDiskusi STFJ dengan para pemangku kebijakan dan pegiat konservasi membahas konflik Harimau Sumatra dengan manusia di Kabupaten Langkat. (Dok STFJ)

Kepala BBKSDA Sumut Hotmauli Sianturi yang juga ikut dalam diskusi mengatakan jika, kesimpulan sementara soal konflik harimau itu terjadi karena masyarakat melepas ternaknya di perkebunan. Kawasan yang sejatinya hutan itu, memang selama ini diusahai oleh masyarakat dengan berkebun. Kawasan ini juga sejatinya berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) sebagai habitat Harimau Sumatra.

Kata Hotmauli, masyarakat harusnya merubah pola peternakan yang ada saat ini. Ternak-ternak itu harus dikandangkan. Meskipun itu menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat. Karena pola beternak dengan melepas di perkebunan sudah sangat lama dilakukan.

Harus ada kerja sama lintas pihak untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat.Hotmauli pun berharap Dinas Peternakan di daerah setempat juga memberikan perhatian kepada para peternak.

“Mengubah pola peternakan ini sangat penting dilakukan. Sehingga masyarakat tidak lagi merasa dirugikan dengan kehilangan ternaknya karena dimangsa oleh harimau,” ungkap Hotmauli.

Hotmauli mengapresiasi langkah STFJ yang menggagas diskusi lintas lembaga di tengah maraknya konflik satwa.

“Saya pikir ini sangat bagus. Diskusi seperti ini harus sering dilakukan. Ini juga merupakan peran jurnalis untuk bisa mengedukasi masyarakat. Ke depan boleh lagi dan melibatkan stakeholder lainnya yang lebih banyak,” bebernya.

2. Kandang jebak sudah dipasang, akan dilakukan translokasi jika harimau masuk

Diskusi STFJ, Menakar Solusi Konflik Harimau Sumatra dengan ManusiaDiskusi STFJ dengan para pemangku kebijakan dan pegiat konservasi membahas konflik Harimau Sumatra dengan manusia di Kabupaten Langkat. (Dok STFJ)

Saat ini, sejumlah stakeholder bersama para pegiat sudah memasang kandang jebak di seputar kawasan konflik. Nantinya  jika harimau masuk, maka akan dilakukan translokasi. Harimau akan dipindahkan ke lokasi yang jauh masuk ke dalam habitat.

Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan pada BBTNGL Rinaldo mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan tabulasi masalah mengapa harimau bisa muncul dan aktifitasnya meningkat di kawasan TNGL. Di antaranya adalah kerusakan lahan,  perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan hingga ternak warga yang tidak dikandangkan.

“Perlu sosialisasi masyarakat, disarankan masyarakat melakukan pengandangan satwa ternak,” ungkap Rinaldo.

Baca Juga: Harimau Diduga Semakin Dekat ke Pemukiman Warga di Langkat

3. Upaya persuasif terus dilakukan kepada masyarakat

Diskusi STFJ, Menakar Solusi Konflik Harimau Sumatra dengan ManusiaDiskusi STFJ dengan para pemangku kebijakan dan pegiat konservasi membahas konflik Harimau Sumatra dengan manusia di Kabupaten Langkat. (Dok STFJ)

Selama ini, berbagai pihak juga terus melakukan upaya persuasif kepada masyarakat untuk tidak melakukan perburuan satwa di dalam hutan. Itu juga membuat pakan satwa buas seperti harimau bisa berkurang. Apalagi, kuat dugaan populasi harimau juga mengalami peningkatan di kawasan TNGL.

Pengandangan memang menjadi salah satu solusi cepat untuk meminimalisir potensi konflik.  Meskipun para pemangku kebijakan harus membahas solusi lebih jauh agar tidak ada pihak yang tercederai. Pun begitu, solusi pengandangan ternak juga memiliki tantangan.

Program Manager WCS-IP Tarmizi mengatakan, program pengandangan ternak ini terkendala lahan. Ada juga masyarakat yang memiliki ternak tapi tidak memiliki lahan untuk kandangnya.

“Ini menjadi PR kita bersama. Solusi lainnya yang juga bisa ditambahkan, masyarakat harus diberikan pemahaman tentang bagaimana menanam pakan ternak sendiri. Sehingga tidak lagi melepas ternaknya di perkebunan,” ungkap Tarmizi.

Kandang kolektif juga bisa menjadi salah satu solusi untuk dipertimbangkan oleh pemerintah setempat. Sehingga bisa menghemat biaya pembangunannya.

4. Harus ada satgas penanganan konflik harimau

Diskusi STFJ, Menakar Solusi Konflik Harimau Sumatra dengan ManusiaKondisi Sri Nabilla, Harimau Sumatra Betina yang dievakuasi karena masuk ke pemukiman warga di kawasan Tapanuli Selatan. (dok. BBKSDA)

Khairul Azmi dari Sumatra Tiger Project bependapat, pemerintah perlu membentuk satuan tugas penanganan konflik harimau. Kepala daerah setempat yang harusnya berkewenangan membentuk Satgas ini.  Sehingga ada langkah cepat dan koordinasi yang baik dalam penanganan konflik.

Sebelumnya BBKSDA menyimpulkan jika Harimau Sumatra masuk ke wilayah kelola masyarakat karena ada mangsa yang lebih mudah untuk ditangkap. Yakni ternak warga yang tidak dikandangkan.

Ada ratusan ternak yang memang dilepaskan begitu saja  oleh masyarakat di kebun yang dikelolanya. Sementara itu, kebun yang dikelola tersebut sebenarnya sudah masuk dalam kawasan hutan dan wilayah jelajah harimau yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Dan bukan waktu yang sebentar masyarakat sudah mengelola kawasan yang merupakan buffer zone dari kawasan TNGL. Hal itu pun tidak dipungkiri oleh KPH Wilayah I Stabat.

“Kita akan terus melakukan sosialisasi kepada  masyarakat jika kawasan itu merupakan home range dari harimau. Artinya memang perlu pendekatan yang lebih intensif kepad  masyarakat,” ujar Kepala UPT KPH Wilayah I Stabat Puji Hartono.

5. Jurnalis berperan penting dalam konservasi lingkungan

Diskusi STFJ, Menakar Solusi Konflik Harimau Sumatra dengan ManusiaIlustrasi: Harimau Sumatera. IDN Times/Andri NH

Direktur STFJ Rahmad Suryadi menjelaskan, diskusi ini diselenggarakan berawal dari kegelisahan para  jurnalis yang melihat meningkatnya konflik harimau yang terjadi.  Bukan hanya di Kabupaten Langkat, seperti kasus teranyar terjadi di Dusun Sigalapang, Desa Meranti Timur, Kecamatan Pintu Pohan Meranti, Kabupaten Toba. Harimau memangsa ternak warga pada 13 Januari 2021 lalu.

“Kondisi ini tentunya menjadi tanggung jawab bersama lintas pihak. Sehingga perlu rumusan solusi yang bijak dalam penanganannya. Paling tidak bisa meminimalisir dampak konflik yang terjadi di sejumlah daerah. Kita sebagai jurnalis juga punya tanggung jawab itu untuk bisa sama-sama berkontribusi dalam upaya konservasi lingkungan,” ujar Rahmad usai diskusi.

Rahmad berpendapat, sinergisitas antara lembaga begitu penting dalam upaya konservasi. Masing-masing pihak harus membangun koordinasi yang baik sehingga upaya konservasi atau pun penanganan konflik bisa terlaksana dengan maksimal. 

“Begitu juga dengan jurnalis yang punya tanggung jawab edukasi kepada masyarakat luas. Sehingga masyarakat juga memahami soal pentingnya menjaga alam. Manusia harus menghargai alam, supaya alam tetap baik kepada manusia,” pungkas Rahmad.

Baca Juga: Harimau Makan Ternak di Langkat, WALHI Menduga Ada Kerusakan Habitat

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya