Bom Waktu Hilangnya Mangrove Pantai Timur Sumatra

Jika mitigasi tidak dilakukan, manusia merugi

Medan, IDN Times – Medan Belawan mengalami bencana banjir rob terburuknya sepanjang sejarah. Medio Mei 2022, banjir merendam enam kelurahan di Kecamatan yang ada di pesisir Timur Sumatra itu.

Medan Belawan, hanya satu  dari  banyak daerah di Indonesia yang terendam karena banjir rob. Kerusakan lingkungan menjadi pemicu utama. Penyebabnya, mulai dari buruknya tata ruang hingga masifnya pembangunan industri di kawasan Kota Medan bagian Utara itu.

Sejumlah warga yang menjadi korban banjir rob juga menguatkan semakin parahnya rob. Ketinggian pasang muka air lebih dari satu meter. Bencana banjir rob ini membuat perekonomian masyarakat terganggu. Kemiskinan menjadi ancaman. Ibarat menunggu bom waktu  yang suatu  saat bisa saja meledak.

1. Hilangnya lahan mangrove berbuah dampak buruk

Bom Waktu Hilangnya Mangrove Pantai Timur Sumatrailustrasi penanaman mangrove (ANTARA FOTO/Akbar Tado)

Berbagai analisis dari para peneliti ekologi menyebut jika bencana banjir rob diakobatkan oleh hilangnya lahan mangrove secara masif. Onrizal, pakar Kehutanan USU yang memberi perhatian serius pada mangrove juga membenarkannya.

Penelitian Onrizal di Medan Belawan menyebut, ekosistem bakau di kawasan Medan Belawan hanya tersisa 10 persen. Degradasi luas kawasan mangrove di sana sudah terjadi dalam 30 tahun terakhir.

“Kawasan mangrove banyak dikonversi. Baik menjadi tambak, permukiman, dan lainnya. Di sisi lain juga ada laju industrialisasi.  Ada pengambilan air tanah, vegetasinya hilang, secara alami tanahnya turun atau mengalami subsidensi (Land Subsidence). Sehingga dengan posisi relatif air laut tidak naik saja, ketika pasang, sering  terjadi rob. Karena tanahnya turun. Jadi dengan pasang yang memang sama, sekarang sudah tenggelam. Bentengnya mangrove, sudah hilang,” kata Onrizal.

Baca Juga: Potret Banjir Rob Belawan 2022, Terparah Sepanjang Sejarah

2. Laju perubahan iklim memperparah kondisi

Bom Waktu Hilangnya Mangrove Pantai Timur SumatraDua orang anak terlihat mandi menggunakan air dari banjir rob yang merendam kawasan Kelurahan Belawan I, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan, Kamis (19/6/2022). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Selain hilangnya kawasan mangrove, laju perubahan iklim secara global juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya intensitas banjir rob.

“Mangrove rusak itu tadi. Harusnya mampu menyimpan karbon, sekarang lepas. Sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca, sehingga semakin berat perubahan iklimnya,” katanya.

Onrizal mendorong pemko Medan untuk melakukan kajian lebih serius lagi. Memberikan solusi jangka panjang, sehingga bisa meminimalisir dampak buruk hilangnya mangrove.

Onrizal mengkritisi soal rencana pembuatan tanggul oleh pemerintah. Dia mempertanyakan soal efektivitas tanggul menahan laju banjir rob.

Pembangunan langkah yang diambil pemerintah dengan membangun tanggul adalah solusi yang mahal. Menurut onrizal, yang harus dilakukan justru perbaikan kondisi lingkungan dan tata ruang di kawasan Medan Utara. Onrizal justru lebih mendorong pada pemulihan lingkungan yang akan memberikan dampak positif secara jangka panjang kepada masyarakat.

“Apakah efektif (tanggul) itu, kita akan lihat seperti apa juga nanti. Yang jelas itu jauh lebih mahal, dibandingkan memulihkan kondisi lingkungannya. Kemudian, pemerintah harus melakukan tata ruang. Mana yang memang kawasan lindung yang berupa ekosistem alami. Yang  mana  memang boleh ada kegiatan budidaya atau permukiman. Karena kalau kita lihat, tata ruang di pesisir Belawan ini tidak jelas lagi,” ujar Onrizal.

3. Mangrove di Sumut terus berkurang, lahan sawit jadi kontributor penyebab

Bom Waktu Hilangnya Mangrove Pantai Timur Sumatrailustrasi (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

Catatan WALHI Sumut, dalam 20 tahun terakhir, kawasan hutan bakau di Pantai Timur Sumatra Utara mengalami degradasi secara signifikan.

Citra satelit pada 1999 menunjukkan, tutupan hutan di Pantai Timur masih menyentuh angka 60.064 hektare.  Namun pada 2018 luasannya berkurang menjadi 47.499 hektare meliputi kawasan Hutan Lindung dan Hutan Konservasi (KH SUMUT, SK 8088 Tahun 2018). Artinya terdapat penurunan luas kawasan yang mencapai 12.565 ha.

Dari data itu, perkebunan sawit menjadi penyebab kerusakan paling utama sebesar 40 persen. Kemudian tambak 35 persen, pertanian 25 persen dan lainnya 5 persen. Pantai Timur Sumatra bagian Utara menjadi penyumbang angka yang cukup signifikan untuk kerusakan hutan bakau.

Onrizal, dalam penelitiannya menyebut, luas mangrove di kawasan  pesisir Timur Sumatra Utara sampai sebagian Aceh sudah kehilangan 60 persen kawasan. Sementara, jika melihat data global, hutan mangrove hilang sebesar 30 persen dalam tiga dekade terakhir. Onrizal kembali menegaskan, peralihan lahan menjadi tambak dan perkebunan sawit menjadi faktor terbesar. Kondisi ini diperparah dengan ketidakseriusan pemerintah dalam menekan laju kerusakan mangrove.

"Jadi ini sumbangan kita terhadap nasional dan juga global paling besar kalau kita lihat dari proporsinya,” ungkap Onrizal.

Kehilangan 100 hektare mangrove, sambungnya, berakibat pada hilangnya lebih kurang 1,2 ton udang. Karena udang memang bergantung pada ekosistem mangrove yang sehat. Maka tidak heran jika harga udang bisa melambung karena jumlahnya memang semakin sedikit populasinya karena perambahan ekosistem.

Hasil riset lainnya menunjukkan jika dua per tiga biota perairan itu hanya bisa dijumpai di hutan mangrove yang baik.

Kerusakan mangrove juga berakibat pada intrusi air laut. Kondisi air tanah di seputar kawasan pesisir akan menjadi asin. Karena mangrove sebagai penyaringnya sudah hilang. Belum lagi soal abrasi di kawasan pesisir. Kondisi daratan akan semakin berkurang dengan berkurangnya mangrove.

Manfaat mangrove juga terlihat betul pada bencana tsunami di Aceh 2004 silam. Sebanyak 96 persen kawasan yang berada pada hutan mangrove yang baik bisa selamat. Sementara, kawasan yang mangrovenya sudah hilang, dampak kerusakannya begitu besar.

Mangrove juga berguna sebagai penyaring karbon yang baik. Hutan mangrove punya kemampuan menyimpan karbon lima kali lipat dari hutan yang ada di daratan. “Ketika orang bicara mitigasi perubahan iklim, maka langkah yang tepat itu adalah bagaimana melestarikan hutan mangrove-nya,” ungkapnya.

Jika konsisten, paling tidak butuh 15 tahun untuk merehabilitasi satu kawasan hutan mangrove menjadi hutan sekunder. Sementara, untuk kembali menjadi hutan primer bisa butuh waktu hingga seratus tahun.

“Saya sampaikan kemudian kalau kita kehilangan mangrove itu yang terjadi adalah pembunuhan secara perlahan terhadap masyarakat pesisir. Kenapa? Karena kehidupan masyarakat nelayan sangat tergantung kepada hutan mangrove. Ikan, udang dan kepiting sangat tergantung dari hutan mangrove. Saya sering sampaikan hilangnya mangrove sesungguhnya adalah perbuatan silent killer. Orang kota bisa makan seafood karena ada mangrove,” tegasnya.

Baca Juga: Hujan dan Angin Kencang di Siantar, Mobil Tertimpa Baliho 

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya