Orangutan dan Hujaman Pelor Airsoft Gun (Bagian 1)

Peluru bersemayam dan potensi kematian

Menjelang medio Maret 2019, dunia konservasi dikejutkan dengan penemuan Orangutan Sumatra atau Pongo Abelli, yang terluka di perkebunan warga dalam Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam, Aceh, 10 Maret 2019.

Kondisi hewan endemik Indonesia berusia 30 tahun tersebut kritis. Banyak terdapat bekas luka tembak di tubuhnya. Orangutan berjenis kelamin betina itu lalu dievakuasi ke Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan, di Batu Mbelin, Sibolangit, Sumatera Utara (Sumut).

Hasil pemeriksaan X-Ray, di dalam tubuh orangutan yang belakangan diberi nama Hope tersebut bersarang 74 butir peluru senapan angin. Tidak hanya itu, satwa liar dilindungi ini juga alami buta dan patah tulang.

Hope bukan satu-satunya orangutan korban tembakan senapan angin yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Ada belasan individu dari satwa liar dilindungi tersebut jadi korban. Bahkan, ada pula yang berujung kematian.

Orangutan Sumatra merupakan spesies orangutan terlangka. Populasinya diperkirakan lebih kurang sekitar 14 ribu ekor. Hal ini membuatnya berstatus kritis atau Critically Endangered (CR) berdasarkan daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Gunawan Alza mengatakan, secara hukum nasional orangutan juga dilindungi berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

“Orangutan kalau statusnya secara undang-undang ya dilindungi dan termasuk empat satwa kunci,” kata Gunawan, kepada IDN Times, pada Senin (17/4/2023).

Peluru bersemayam dan potensi kematian

Orangutan dan Hujaman Pelor Airsoft Gun (Bagian 1)Hasil rontgen tubuh Hope, Orangutan Sumatra yang alami penembakan senapan angin. (Dokumentasi BKSDA Aceh untuk IDN Times)

Potensi kematian orangutan akibat tembakan senapan angin atau airsoft gun memang tidak terlalu besar. Akan tetapi, keberadaan senjata non-organik dapat mengancam keberlangsungan hidup satwa liar dilindungi sekaligus kunci tersebut.

drh Yenni Saraswati, tim medis hewan Yayasan Ekosistem Lestari Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP) menyampaikan, senapan angin dengan peluru ukuran kaliber tertentu tidak langsung bisa membuat orangutan mati usai terkena tembak.

Tembakan bisa menyebabkan kematian bila pelor yang dilontarkan senapan angin menembus dan merusak organ vital orangutan. Kematian baru terjadi beberapa hari kemudian karena luka infeksi sekunder yang dialami.

“Nanti lama-lama lubang ini menjadi pintu masuk infeksi lain, kan kuman di mana-mana ada,” kata drh Yenni, Kamis (17/4/2023).

Secara umum, orangutan dikatakan drh Yenni, memang memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Bahkan prosesnya terbilang lebih baik dibandingkan dengan satwa lain.

Tak heran bila satu individu orangutan terkadang mampu mengandung puluhan hingga sampai ratusan peluru senapan angin dalam tubuhnya. Pelor-pelor itu menghujam tidak hanya berasal satu senjata saja.

Pengakuan serupa juga dibenarkan oleh Gunawan. Dikatakannya, ketiak di lapangan, tim hanya bisa mendapati peluru di tubuh orangutan dengan cara meraba. Tetapi ketika setelah di X-Ray, baru diketahui sebaran pelor di dalam tubuh satwa dilindungi tersebut.

“Itu dia ditembak bukan karena satu waktu, tetapi dia secara beruntun,” ucap kepala BKSDA Aceh.

Ditemukan ratusan peluru tertanam

Orangutan dan Hujaman Pelor Airsoft Gun (Bagian 1)Hasil rontgen tubuh Hope, Orangutan Sumatra yang alami penembakan senapan angin. (Dokumentasi BKSDA Aceh untuk IDN Times)

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mencatat ada 13 individu orangutan korban penembakan senapan angin yang ditangani sepanjang 2018-2022 bersama YEL-SOCP.

Berdasarkan data tersebut, sembilan butir peluru ditemukan dari tiga individu orangutan yang diselamatkan pada 2018. Lalu 100 butir peluru dari tiga individu pada 2019 dan penemuan 140 butir peluru dari tiga individu di 2020.

Selanjutnya, pada 2021 ditemukan lima butir peluru dari dua individu orangutan dan 36 butir peluru dari penyelamatan dua individu pada 2022.

Sementara, daerah tertinggi kasus penembakan orangutan menggunakan senapan angin terjadi di Kabupaten Aceh Selatan, yakni lima individu. Lalu disusul Kota Subulussalam tiga individu.

Selanjutnya Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur masing-masing dua individu, dan Kabupaten Aceh Tenggara satu individu.

“-Tinggi konflik- berada di daerah pantai barat selatan Aceh. Salah satunya seperti di kondisi suaka margasatwa,” ujar kepala BKSDA Aceh.

Selama lima tahun terakhir, 13 individu orangutan yang diselamatkan, empat di antaranya memiliki lebih di atas 20 pelor tertanam di dalam tubuhnya. Di antaranya, pada 21 November 2019 (24 butir), 9 September 2020 (138 butir), dan 5 Maret 20 (33 butir).

Tim medis hewan YEL-SOCP mengaku, hingga saat ini pihaknya bersama BKSDA Aceh telah membahas terkait konflik antara manusia dengan orangutan di Kabupaten Aceh Selatan.

Sebab, rata-rata konflik yang terjadi disebabkan karena manusia merasa terganggu akan kehadiran orangutan di kebun miliknya. Sedangkan orangutan, sudah tidak tahu lagi harus mencari makanan karena belantara telah disapu rata.

“Ini menjadi PR sendiri kemarin juga pernah kita bahas dengan BKSDA, di Aceh Selatan masih menempati urutan pertama korban senapan,” ucap drh Yenni.

Bertahan hidup di pusat rehabilitasi

Orangutan dan Hujaman Pelor Airsoft Gun (Bagian 1)Orangutan Sumatra bernama Hope, ketika menjalani perawatan medis. (Dokumentasi BKSDA Aceh untuk IDN Times)

Orangutan yang terluka termasuk akibat tembakan senapan angin dan belum bisa dilepasliarkan ke habitatnya akan dibawa ke Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan, di Batu Mbelin.

drh Yenni menceritakan, menangani orangutan korban konflik terbilang sulit. Penanganan tidak hanya fisik, mental juga termasuk. Sebab, satwa primata ini punya emosional dan kedekatan dengan manusia sehingga memiliki trauma yang cukup besar.

Hal ini dikatakannya, membuat tim medis hewan YEL-SOCP terkadang terutama jika menangani orangutan korban tembakan senapan angin. Ditambah lagi, orangutan yang ditembak dewasa dan liar.

“Ini dia membuat mereka semakin takut dengan keberadaan manusia,” ujar dokter hewan YEL-SOCP.

Penanganan satwa liar dilindungi termasuk orangutan yang menjadi korban konflik dikatakan drh Yenni, cukup berbeda antara di lapangan dengan tempat karantina atau rehabilitasi. 

Di lapangan, tim berusaha menangani secepat mungkin untuk ambil tindakan darurat guna menyelamatkan satwa yang terluka. Sementara di rehabilitasi, tim lebih intensif lagi bekerja memberikan perawatan.

Misal satwa korban konflik. Perawatan dikatakan, dilakukan lebih mendetail, mulai dari X-Ray, analisa darah, pengecekan malnutrisi hingga potensi terjadinya infeksi.

“Kalau di lapangan kita penangannya fokus kepada emergency secepat mungkin jika kondisi satwa kritis. Kalau pusat rehabilitasi tentu perlengkapannya lebih lengkap,” ucap drh Yenni.

Sehubungan dengan itu, sejak 2018, dari 13 individu orangutan yang diselamatkan BKSDA dan YEL-SOCP beserta instansi terkait lainnya, hanya 10 berhasil kembali ke habitat atau dilepasliarkan.

“Dari 13 kasus tadi, yang mati cuma satu, yang tidak bisa dilepasliarkan ada dua, selebihnya semuanya sudah kembali ke habitatnya,” ungkap drh Yenni.

Baca Juga: Warga Cemas, Harimau Sumatra Diduga Mangsa Anak Sapi di Tangkahan 

Tempat kedamaian itu bernama Orangutan Haven

Orangutan dan Hujaman Pelor Airsoft Gun (Bagian 1)Satu individu orang utan bermain di ranting pohon dalam kawasan Stasiun Penelitian Ketambe, Aceh Tenggara, Aceh (IDN Times/Muhammad Saifullah)

Adapun penyebab orangutan korban penembakan senapan angin tidak mampu bertahan hidup sehingga enggan untuk dilepasliarkan karena kondisi satwa primata dilindungi itu sendiri.

Misalkan dikatakan drh Yenni, orangutan yang sempat direhabilitasi tersebut mengalami buta akibat terkena tembakan senapan angin. Kondisi ini membuatnya tidak bisa lagi untuk mencari makan di alam liar atau habitatnya.

Meski orangutan yang buta maupun terluka tidak bisa kembali lagi ke alam liar, YEL-SOCP kini menyediakan satu tempat untuk primata tersebut agar manusia berdamai dengan mereka, yakni Orangutan Haven.

Tempat tersebut merupakan pulau buatan yang sengaja dibangun untuk Orangutan Sumatra. Khususnya, untuk yang tak bisa lagi dilepasliarkan di hutan karena terkendala fisik akibat buta.

“Bentuknya tidak berupa kandang lagi, lebih ke berupa pulau-pulau. Jadi orangutan ini akan tinggal dalam pulau tersebut,” jelas drh Yenni.

“Meskipun dia buta, dia bisa tetap merasakan hidup bebas di luar kandang,” imbuhnya.

Orangutan Haven disampaikan drh Yenni, juga menjadi tantangan terbaru bagi pihaknya karena harus mengajarkan satwa primata dilindungi tersebut. Sebab, orangutan yang bakal menempati dalam kondisi buta, habitat asing dan badan tidak normal.

***

Sebagian orang mungkin bakal beranggapan bahwa orangutan hanyalah hewan. Keberadaannya kerap dianggap hama sehingga sering terjadi penyerangan terhadap satwa dilindungi tersebut.

Padahal, satwa primata ini memiliki peran penting dalam ekosistem dan menjaga hutan. Orangutan lebih paham menjaga hutan yang notabene adalah habitatnya. 

drh Yennni menegaskan, selama ini hutan tidak membutuhkan manusia, tetapi kita adalah insan yang butuh hutan. Manusia tidak bisa menjaga hutan dengan baik, tetapi satwa dapat melakukannya.

Baca Juga: [WANSUS] Perjuangan Delima Silalahi untuk Hutan Adat di Sumatra Utara

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya