Sekeluarga Hidup di Jalanan: Ibu-Anak Mengamen, Ayah Manusia Silver

Sang anak bercita-cita jadi dokter

Medan, IDN Times - Hari Anak Jalanan Internasional yang jatuh setiap tanggal 12 April mengingatkan bahwa, setiap orang dapat memiliki kesadaran dan mau memperjuangkan hak-hak anak jalanan di seluruh dunia. Serta mendorong gerakan perlindungan untuk memperbaiki kehidupan anak jalanan.

Mereka biasa ditemui di jalanan, emperan toko, stasiun, terminal, pasar, tempat wisata bahkan di makam-makam. Mereka biasa menjadikan lokasi mangkalnya itu sebagai tempat berteduh, berlindung, sekaligus mencari sumber kehidupan, meskipun ada juga yang masih tinggal dengan keluarganya.

Di Kota Medan, terdapat satu keluarga yang memilih hidup di jalanan karena keadaan. IDN Times sempat menyambangi langsung di persimpangan Jalan Juanda Kota Medan. Persimpangan ini memang salah satu tempat yang sering berkumpul anak jalanan.

Berikut IDN Times rangkum cerita R (10) bersama Ayah dan Ibunya yang harus hidup di jalanan.

1. Bertahan hidup meski sering tertangkap oleh Dinas Sosial dan Satpol PP

Sekeluarga Hidup di Jalanan: Ibu-Anak Mengamen, Ayah Manusia SilverRanti, seorang pengamen yang memilih untuk hidup di jalanan Kota Medan sejak kecil (IDN Times/Indah Permata Sari)

Ranti (27), Ibu dari R sejak bocah sudah menjadi pengamen sejak tahun 2010. Tepatnya saat berusia 14 tahun. Dia berasal dari Siantar. Disebutkan Ranti, ia memiliki 4 anak. Namun, 1 telah meninggal dan 1 lagi diambil orang.

“Anak pertama R (10), anak kedua meninggal, anak ketiga di Siantar diambil ayah angkat, dan anak keempat sering dititip sama mertua,” ucap Ranti.

Menurutnya, kehidupan yang saat ini dijalani olehnya bersama keluarga kecil Ranti menjadi pilihan sementara. Meskipun, pendapatan mereka tidak bisa mencukupi biaya kehidupannya. Perhari Rp50 ribu hingga Rp60 ribu.

“Kayak mana lah dibilang. Gak ada lagi kehidupan,” kata perempuan kelahiran tahun 1996 itu.

Diakuinya bahwa, mereka sering tertangkap oleh Dinas Sosial dan Satpol PP.

“Kalau kami ketangkap dipukuli. Kalau kami perempuan di Binjai tempat penampungan Gepeng (gelandang pengemis). Awak (saya) pernah ditahan sehari saja tapi disuruh jalan dari Pinang Baris kesini. Kadang jaminan keluarga,” jelasnya.

2. Putus sekolah sejak kelas 3 SD

Sekeluarga Hidup di Jalanan: Ibu-Anak Mengamen, Ayah Manusia Silverilustrasi lampu merah (vecteezy.com/kanalzdesbilimi73)

Ranti mengatakan, dia merantau dan orangtuanya tinggal di Siantar. Dia tidak bisa bertahan hidup di daerahnya.

“Gak ada kehidupan di Siantar, awak gak pandai meladang. Merantau dari tahun 2000, putus sekolah sejak kelas 3 SD. Ayah awak ketangkap gara-gara judi, jadi awak yang biayai keluarga,” ceritanya Ranti yang sudah menikah di tahun 2013 sejak usia 17 tahun.

Dia berharap kehidupannya bisa maju dan bekerja lebih baik untuk melepaskan kehidupannya yang stagnan.

“Harapan aku mau maju, mau kerja. Gak enak hidup di jalanan, tidur-tidur di emperan. Awak gelandangan. Rumah mertua yang ada, kami gak ada. Anak ku kadang ku titip sama mertua karena angin malam ini kan gawat, sedih kali aku,” terangnya.

3. Bergantian gitar dengan sang anak untuk bisa mengamen

Sekeluarga Hidup di Jalanan: Ibu-Anak Mengamen, Ayah Manusia SilverPara pengamen anak yang memilih hidup di jalanan (IDN Times/Indah Permata Sari)

Ranti mengakui sebelumnya pernah bekerja di walet Polonia, keluar karena merasa tidak cocok dengan tenaga dan gajinya Rp45 ribu mulai dari pukul 07.00 WIB sampai jam 20.00 WIB.

“Sebenarnya sakit kali hidup kayak gini. Belum lagi diusir orang, kita hidup di jalan ini udah pasti orang memandang mata satu (sebelah mata). Tapi intinya awak gak panjang tangan, cuma jual suara. Ya mau dikasih-kasih, gak dipaksa,” katanya.

Saat ini, ada satu orang anaknya yang ikut mengamen di jalanan. Namun, bukan disuruh oleh dia dan suami, melainkan keinginan sendiri. Meskipun, dikatakannya sering menyuruh pulang tapi sang anak bilang mau cari uang jajan sendiri.

“Sedikit banyaknya pengin juga aku di rumah, sama anak-anak, tapi ekonomi sulit. Kalau awak di rumah aja gak mencari gak bisa. Anak ku mau makan apa. Maunya ada yang kasih kami kerja,” katanya.

Dia menunjukkan KTP, KK sebagai identitas bahwa dirinya asli Medan. Dompet lesu berwarna cokelat ditunjukkannya dengan isi lembaran uang kertas Rp2 ribu.

Setiap ingin mengamen, dia dan anaknya harus bergantian karena gitar yang dimiliki hanya satu.

“Beli gitarnya Rp100 ribu, sedangkan uang gak ada. Aku pernah dikasih orang kaya Rp100 ribu senang kali hatiku,” tutupnya.

4. Sang suami akui merasa amat sedih setiap kali jatuh momentum Hari Raya Idul Fitri

Sekeluarga Hidup di Jalanan: Ibu-Anak Mengamen, Ayah Manusia SilverSeorang pria jadi manusia silver di Kota Medan (IDN Times/Indah Permata Sari)

Sang suami, Kerdin yang juga kelahiran tahun 1996, sebagai Kepala Rumah Tangga mencari nafkah dengan menjadi manusia silver sejak tahun 2015. Dia mengakui bahwa dirinya merasa amat sedih setiap kali Hari Raya Idul Fitri, karena tidak bisa memberikan sesuatu untuk keluarganya.

Jangankan bisa mendapatkan THR seperti orang kerja pada umumnya, untuk bertahan hidup dengan menghadapi para Dinas Sosial dan Satpol PP saja dia hari-hari sudah kucing-kucingan. Sehingga, untuk tahun ini pendapatannya berkurang.

“Orang bisa beli apa-apa, awak kerja aja dikejar-kejar sama Dinas Sosial dan Satpol PP. Tahun ini gak ada THR. Paling lepas nasi aja mereka bagikan,” kata Kerdin yang pernah menjadi buruh di salah satu perusahaan minyak makan.

Syukurnya, dia asli warga Kota Medan. Sehingga, tidak ada kata untuk pulang mudik. Kerdin berharap kepada Pemerintah Kota Medan untuk bisa memekerjakannya agar layak dan tidak dianggap sebagai sampah masyarakat.

“Kalau bisa kami yang pengangguran ini bisa mendapat kerja. Kalau bisa kasih kerjaan lah yang penting halal kami gak pilih-pilih. Gak enak juga hidup di jalanan,” katanya.

Sebelumnya, dia pernah bekerja di salah satu pabrik besar Kota Medan. Namun, dikeluarkan karena pengurangan karyawan saat pandemik COVID-19 melanda.

“Pengeluaran cat Rp20 ribu bisa 3 (hari) kali pakai. Pendapatan Rp50 ribu,” jelasnya.

5. Sang anak yang ingin menggapai cita-cita menjadi seorang dokter

Sekeluarga Hidup di Jalanan: Ibu-Anak Mengamen, Ayah Manusia SilverIlustrasi dokter. (pexels.com/Karolina Grabowska)

Kedua orangtua yang harus bertarung di jalanan membuat R juga tak bisa menikmati masa kecilnya. Bocah 10 tahun itu juga ikut serta sebagai pengamen untuk mendapatkan uang jajan secara mandiri. “Umur awak 10 tahun, masih sekolah kelas 4 SD sebentar lagi mau naik kelas 5 SD,” ucap R.

Ia menjelaskan dirinya baru mengamen pada malam hari. Sebelumnya dia tetap bersekolah.

“Baru awak (saya) keluar malam ini. Untuk lagu, kadang nyanyi Allahul Kafi,” kata R.

Meskipun hidup di jalanan, R punya cita-cita yang tinggi. Ia ingin menjadi dokter. Hal inni agar bisa mengobati orangtuanya jikalau sakit.

“Cita-cita mau jadi dokter misalnya orangtua awak sakit bisa awak obati,” tutur R.

Baca Juga: 5 Dampak Negatif jika Orangtua Tak Memercayai Anak

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya