Pulang Malu Tak Pulang Rindu, Kisah Budi Mencari Rejeki di Ujung Ufuk

Kemudi kapal menentukan nasibnya untuk makan

Medan, IDN Times - Dari kelas 3 SD sudah belajar ambil kerang ijo atau biasa disebut kemudi kapal di laut. Meski tidak sekolah dan gak berpendidikan, tapi harus tahu sopan santun.

Beginilah kalimat dari Budi (43) seorang nelayan di salah satu pantai di Serdang Bedagai, Sumatera Utara kepada IDN Times.

Profesi menjadi nelayan telah digeluti Budi sejak ia berhenti kelas 3 SD (Sekolah Dasar).

“Kami cuma nelayan kecil, tapi kami tahu mana baik ataupun buruk,” cetusnya yang merupakan warga Kampung Nelayan, Belawan.

IDN Times bertemu Budi saat menawarkan kerang ijo yang diletak ya dalam plastik asoi transparan. Saat itu, cuaca sangat terik.

Di bawah pohon rindang, ia tanpa ragu berjalan untuk menjajakan dagangannya kepada seluruh pengunjung pantai berharap laku secepatnya dan ada yang memborong.

Sebanyak 10 kantong plastik asoi tangan kanan dan kirinya yang tak diketahui berapa berat kemudi kapal yang dijual setiap 1 plastik asoi. Namun, untuk 5 plastik ditawarkan harga Rp20ribu.

Jangankan memiliki timbangan untuk memastikan berat dagangan yang dijual oleh Budi, bisa makan saja baginya cukup amat syukur. Baju yang dikenakan Budi tampak lusuh dan kusam ini tampak tak terganti sudah 3 bulan hingga celana robek di pahanya masih saja digunakan.

1. Keberuntungan ada di musim kemarau atau terik matahari

Pulang Malu Tak Pulang Rindu, Kisah Budi Mencari Rejeki di Ujung UfukIlustrasi Laut (IDN Times/Lia Hutasoit)

Keberuntungan Budi ada di musim kemarau atau terik matahari, karena ia bisa mendapatkan banyak seafood.

“Kalau cuaca cerah dan cantik, ombaknya juga begini. Alhamdulillah masih bisa kerja, untuk makan lepas. Tapi jangan untuk ngirim uang ke istri dan anak ya,” tuturnya.

Budi mengatakan pencarian kemudi kapal yang dilakukannya ini sangat sulit bagi orang-orang yang tak terbiasa. Ada risiko besar menurutnya, untuk mendapatkan kemudi kapal.

Menurut Budi, setelah didapat harus dijual dan penjualan kemudi kapal tak seperti kacang goreng, atau yang lainnya. Artinya, tak semudah itu.

“Menjualnya pun setengah mati. Lihat manusianya juga, kadang kalau punya hati nurani dibelinya, tapi kalau gak punya hati nurani mungkin gak rejeki dan jangan dipaksa,” jelas Budi.

2. Berpegang teguh pada pepatah orangtua, lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah

Pulang Malu Tak Pulang Rindu, Kisah Budi Mencari Rejeki di Ujung UfukBudi, seorang nelayan di salah satu pantai Sersangan Begadai (IDN Times/Indah Permata Sari)

Meskipun hidupnya penuh dengan kekurangan, namun bagi Budi tetap menjalankan pepatah orangtuanya yaitu lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah.

“Lebih baik saya memberi daripada meminta,” ungkapnya.

Pulang malu tak pulang rindu, itu menjadi kalimat yang sangat berat bagi Budi.

“Kalau ada duit pulang, kalau gak ada ya di sini saja,” terangnya.

Ia juga pernah pulang karena tak dapat menahan rindu kepada istri dan anak, maka memilih untuk jalan kaki dengan melipir-liput di pinggir pantai.

“Dari sini saya sampai ke Belawan, Insyallah kalau ada jalan,” kata Budi.

Sedangkan teman-temannya yang lain naik kapal, selalu tak menawarkan untuk pulang bersama mereka karena tak ada uang.

“Saya gak punya ongkos. Makan saja di sini saya terancam,” tutur Budi.

Ia juga mengakui sering jalan kaki untuk pulang ke rumah. Total ongkos perjalanannya untuk pulang ke rumah Belawan mencapai Rp150 ribu hingga Rp200 ribu.

“Ongkos saja. Lain lagi makan,” ucapnya.

Menurutnya pengeluaran ini cukup besar diluar dari makan, dan harus menanggung sendiri tanpa adanya toke (bos).

“Satu kali makan di sini Rp30ribu malam saja saya makan. Kalau ada yang pagi saya makan harganya Rp20ribu. Jadi kalau 2 kali makan semuanya Rp50ribu habis,” tutur Budi yang mengakui kerap makan air garam karena pekerjaannya.

Sementara itu, pendapatan Budi paling banyak pernah mencapai Rp100ribu.

“Itu Rp100 ribu kotor, belum makan. Kalau bersihnya Rp30ribu karena makan bayar,” jelasnya.

Kebutuhan di rumah tak dapat disanggupinya untuk istri dan 2 orang anaknya di Belawan. Terakhir kali, Budi mengirim uang Rp50ribu untuk 3 bulan hingga saat ini belum pulang ke rumahnya.

“Paling banyak itu lah,” kata Budi.

3. Berharap ada perubahan dalam hidupnya yang lebih baik

Pulang Malu Tak Pulang Rindu, Kisah Budi Mencari Rejeki di Ujung UfukBudi, seorang nelayan di salah satu pantai Sersangan Begadai (IDN Times/Indah Permata Sari)

Budi mengatakan untuk mencari kemudi kapal ini bisa ke tengah laut dengan kedalaman 25 meter.

Setiap mencari kemudi kapal, Budi hanya bermodalkan batu yang pas dan mengenakan selam kompresor yang disewa Rp20ribu.

Untuk tempat tinggal Budi selama mencari kemudi kapal, ia gabung bersama temannya yang juga nelayan dengan menyewa gubuk.

“Tempat tidurnya bayar Rp30ribu dalam semalam per orang,” ujarnya.

Budi mengakui setiap hari harus menyelam untuk mendapatkan kemudi kapal tersebut hingga mengakibatkan dirinya sering sesak nafas.

“Karena yang masuk ke perut cuma asin. Dari pagi sampai sore cuma air asin, tidak ada makanan, roti, minum. Langsung menyelam dan makannya malam,” ucapnya.

Budi mengakui selama ini tak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, dan berharap ada perubahan hidupnya yang lebih baik.

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya