Kisah TWH, Pejuang Kemerdekaan yang Dirikan Museum Perjuangan Pers

Pernah ditugaskan saat Presiden Soekarno rapat di Bireuen

Medan, IDN Times - Muhammad Tok Wan Haria (TWH) merupakan pejuang Kemerdekaan Indonesia, yang saat ini menjadi salah satu veteran Indonesia di Sumatera Utara. TWH lahir di Gedung Samudra Pasai, 15 November 1932. Putra dari Abdurrahman TWH seorang Perjuangan Kemerdekaan, ibunya Hj. Samiyah.

Sejak tahun 2019, dia membuka Museum Perjuangan Pers yang berada di Jalan Darussalam/Sei Alas no. 6 Medan. Di dalam museum tersebut, terdapat banyak koleksi-koleksi koran yang ditempel serta wajah-wajah tokoh pers hingga perjalanan hidupnya dahulu.

IDN Times tidak berkesempatan untuk bertemu dengan TWH langsung dikarenakan kondisinya yang sedang melemah. Namun, IDN Times berkesempatan bertemu dan berbincang dengan Mufti Mutawatir TWH (24 tahun), cucu ke lima dari anak kedua sebagai penerus untuk mengurus Museum Perjuangan Pers.

Sebagai informasi, kini dia memiliki dua yayasan yakni, Yayasan Museum Pers Sumatera Utara dan Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI. Namun disayangkan, para pengurusnya tidak aktif.

Berikut IDN Times rangkum cerita menarik TWH, yang sempat menjadi Tentara dan telah mendapatkan Surat Keputusan tentang Pengakuan, Pengesahan dan Penganugerahan gelar kehormatan Veteran Pejuang Kemerdekaan RI yang ditandatangani tahun 1953 dan piagam dari Pimpinan Pusat Leguin Veteran Republik Indonesia (LVRI) dianugerahi Bintang LVRI tahun 2006.

1. Jejaknya menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia berbekal saat menjadi TPI

Kisah TWH, Pejuang Kemerdekaan yang Dirikan Museum Perjuangan PersMuhammad TWH merupakan salah satu veteran di Sumut (IDN Times/Indah Permata Sari)

Dia menceritakan bahwa dahulunya TWH merupakan Tentara Pelajar Indonesia (TPI) dari asal Aceh. Mengawali jejak pendidikan TWH yakni Volk School, Sekolah Rendah Islam (SRI) di Geudong, Sekolah Menengah Islam (SMI) di Lhokseumawe.

Jejaknya menjadi pejuang kemerdekaan Indonesia berbekal saat dia masuk Tentara Pelajar Indonesia (TPI), dan menjadi Anggota Penerangan Tentara Resimen V Divisi X yang terhitung selama 4 tahunan.

Kemudian menjadi Koresponden Radio Perjuangan “Rimba Raya”, pelaksana penerbit surat kabar stensilan “Suasana” yang memuat berita-berita kemerdekaan diterbitkan oleh penerangan tentara resimen V Divisi X.

Tokoh pers tiga zaman itu juga sempat mendapat penghargaan kepeloporan bidang media yang diserahkan Presiden Jokowi, pada peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Gedung GSG Pancing.

2. Saat menjadi veteran pernah berjuang pada Agresi Militer Belanda II dan tokoh pers

Kisah TWH, Pejuang Kemerdekaan yang Dirikan Museum Perjuangan PersMufti TWH merupakan cucu dari Muhammad TWH (IDN Times/Indah Permata Sari)

Kisahnya menjadi seorang veteran ini, saat berjuang pada Agresi Militer Belanda II dan tokoh pers. Kemudian, kisah tersebut dituliskannya ke dalam buku-bukunya. Saat dirinya berusia belasan tahun harus masuk menjadi tentara dan berperan dalam menerbitkan berita.

Berawal dari perang kemerdekaan, dahulu pada jamannya seluruh pelajar diwajibkan untuk masuk Tentara Republik Indonesia atau Tentara Pelajar Islam (TPI). Saat itu, Belanda merencanakan bumi hangus, dan orang-orang dulu berada di baris belakang di Aceh tahun 1960-an.

TWH kala itu ditempatkan di bagian penerangan dan ditugaskan menjadi Tentara Penerangan, untuk penerimaan berita maupun foto, serta memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kondisi Indonesia pada era kemerdekaan. Perannya di penerangan tentara itu untuk memberitakan suasana penembakan lewat lukisan.

3. Usia 16 tahun, TWH sempat ditugaskan dalam rapat yang dilakukan Presiden Soekarno di Bireuen

Kisah TWH, Pejuang Kemerdekaan yang Dirikan Museum Perjuangan PersMuhammad TWH merupakan salah satu veteran di Sumut (IDN Times/Indah Permata Sari)

TWH saat jadi TPI, pernah ditugaskan dalam rapat yang dilakukan Presiden Soekarno di Bireuen tahun 1948. Saat itu usianya masih 16 tahun.

Setelah Agresi Militer Belanda berakhir, TWH pindah ke Medan. Tahun 1950, dia melanjutkan pendidikan di SMP Josua dan kemudian masuk ke SMA Tagore. TWH berusia 22 tahun, bekerja di Harian Mimbar Umum pada tahun 1954. Ia kembali melanjutkan perjuangan melalui pena. Sebagai tokoh pers konsekuensinya dibenci penjajah. 

Saat itu, sejumlah media dibredel karena mengganggu kepentingan kolonial. Belum lagi saat Partai Komunis Indonesia (PKI) ingin menguasai seluruh surat-surat kabar. Surat kabar nasionalis dianggap musuh.

Dia bersama temannya melawan, dan dipecat dari keanggotaan organisasi wartawan. Karena dianggap kontrarevolusi. Jadi tak bisa kerja di manapun.

TWH beralih profesi jual buku di pustaka mimbar. Saat PKI jatuh pada 1965, TWH kembali menjadi wartawan. Karena perjuangan itu, dia mendapat penghargaan penegak pers pancasila. Ada 14 orang yang dapat bintang tersebut.

Saat menjadi wartawan, TWH fokus menulis. Ia bahkan mengumpulkan karya-karyanya dan dituangkan ke dalam buku. Kala itu, profesinya itu juga membawanya keliling wilayah Asia dan ASEAN. 

Dalam perjalanan karirnya, TWH  pernah menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia untuk meliput pemilihan Presiden Ronald Reagen periode kedua pada tahun 1980-an bersama 27 jurnalis dari seluruh dunia. Tahun 2011, Muhammad TWH mendapatkan "Press Card Number One" atau Kartu Pers Nomor Satu dari PWI Pusat.

Kini ia sudah menerbitkan 25 buku. Buku pertama berjudul Front Barat Medan Area yang diterbitkan tahun 1986.Kini TWH menikmati masa tuanya di rumahnya. Dia mendirikan Museum Perjuangan Pers Sumatera Utara pada tahun 2019 dengan berbagai koleksi yang masih disimpannya rapi.

Baca Juga: Ibu Rumah Tangga Disekap di Dalam Kamar, Seisi Rumah Dijarah Maling

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya