Di Balik Korupsi Eradikasi Lahan Perkebunan Sumatera Utara

Mantan Direktur PT PSU dihukum 9,5 Tahun bersama 2 koleganya

Medan, IDN Times - Pengadilan Negeri (PN) Medan mengadili 3 terpidana dalam kasus korupsi eradikasi lahan PT Perkebunan Sumatera Utara (PSU). Kasus ini telah merugikan negara Rp34 Miliar.

Eradikasi merupakan tindakan pemusnahan atau pemberantasan yang dilakukan secara berkelanjutan untuk menghilangkan sesuatu secara permanen pada tanaman.

Diketahui, sejak tahun 2019 sampai dengan tahun 2020 terseret ada 3 nama yang menjadi terpidana yakni, Mantan Direktur PT Perkebunan Sumatera Utara (PSU) periode 2019-2022 Gazali Arif, Ketua Primer Koperasi Kartika Karyawan dan Veteran Babinminvetcad Kodam I/Bukit Barisan (BB), Letnan Kolonel Infanteri (Purn) Sahat Tua Bate'e dan juga terdakwa Febrian Morisdiak Bate’e selaku Direktur PT Kartika Berkah Bersama (KBB).

Dari ketiga terpidana, saat itu Gazali Arif berperan membuat perjanjian kerja sama, yang kemudian menerbitkan surat eradikasi lahan perkebunan milik PT PSU di Tanjungkasau. 

Surat perjanjian tersebut menjadi modus untuk bisa menjual tanah ke proyek jalan tol melalui vendor-vendor. Total tanah yang dikeruk sebanyak 2.980.092 meter kubik. Berdasarkan penghitungan akuntan nilai tanah tersebut per meter kubik Rp17.500. Sehingga total nilai lahan mencapai Rp52.152.610.000. Dari jumlah itu, PT PSU menerima Rp1,7 miliar lebih untuk membayar tanah disposal. Akibatnya, mengalami kerugian sebesar Rp50 miliar lebih.

Mantan Direktur PT Perkebunan Sumatera Utara (PSU) periode 2019-2022 Gazali Arif, mendapat hukuman 9 tahun 6 bulan penjara, karena terlibat korupsi. Vonis untuk Gazali dibacakan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai M Yusafrihardi Girsang, Selasa (12/6/2204).

Dalam persidangan, hakim mengatakan Gazali, terbukti secara sah melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Gazali Arif selama 9 tahun dan 6 bulan penjara (118 bulan) dan denda sebesar Rp 350 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 5 bulan," ujar M Yusafrihardi Girsang membacakan vonis pada Selasa (12/6/2024).

Hukuman ini hanya memenuhi setengah dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelumnya JPU menuntut Gazali dengan hukuman 18 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan penjara.

Bahkan Gazali dan terdakwa lainnya Sahat Tua Bate'e juga dituntut membayar total uang pengganti Rp 43.126.901.564.

Dalam persidangan itu, hakim juga membacakan vonis untuk 2 terpidana lainnya. Mereka yakni Ketua Primer Koperasi Kartika Karyawan dan Veteran Babinminvetcad Kodam I/Bukit Barisan (BB), Sahat Tua Bate'e dan juga terdakwa Febrian Morisdiak Bate’e.

Sama dengan Gazali, terpidana Sahat dan Febrian, juga divonis 9 tahun 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp350 juta. Namun bedanya Sahat diwajibkan membayar biaya uang pengganti Rp6,289 miliar sedangkan Febrian membayar uang pengganti Rp3,398 miliar. Terkait putusan hakim baik terdakwa dan jaksa menyatakan pikir-pikir.

Korupsi yang menjerat Gazali, Sahat dan Febrian terjadi pada rentang waktu Juli 2019 hingga Oktober 2020. Mereka didakwa sudah menjual tanah galian lahan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan PT PSU di Tanjung Kasau, Kabupaten Batubara, Provinsi Sumut.

Pertemuan Sahat dengan Direktur Utama PT Perkebunan Sumatera Utara Gazali Arief

Di Balik Korupsi Eradikasi Lahan Perkebunan Sumatera UtaraPengadilan Negeri Medan mengadili 3 terpidana dalam kasus korupsi eradikasi lahan PT Perkebunan Sumatera Utara (IDN Times/Indah Permata Sari)

Dari pertemuan itu, Gazali Arief membuat kesepakatan dengan Sahat. Isi perjanjian berupa mengerjakan pembersihan lahan bekas penumbangan tanaman karet terkena penyakit (eradikasi) di lokasi PT PSU Unit Kebun Tanjung Kasau. Lalu pada tanggal 11 Juli 2019 keduanya menandatangani Surat Perjanjian Kerja (SPK) No: 920 / Dir - RU / SKP / PT - PSU / 2019. Saat pembersihan lahan, pengerukan tanah juga dilakukan. 

Terpidana Sahat mengajak saksi Febrian Morisdiak Bate’e, selaku Direktur PT Kartika Berkah Bersama (KBB) untuk menyediakan peralatan alat berat berupa excavator sebanyak dua unit. Mereka kemudian menjual tanah yang telah dikeruk kepada pengembang jalan Tol  Indrapura Kisaran, Tebing-Indrapura, Indrapura-Kuala Tanjung. Adapun pengembangnya PT PP Presisi, PT Hutama Karya dan PT Waskita melalui vendor-vendor.

Tanah tersebut dari kurun waktu tahun 2019 sampai dengan 2020. Total tanah yang sudah dikeruk mencapai 2,9 kubik dengan estimasi nilai Rp52 miliar. Namun, berdasarkan fakta persidangan hakim menyebut kerugian negara yakni Rp34 miliar lebih.

Ada 3 perusahaan yang terkait dalam kasus koneksitas eradikasi lahan PT PSU

Di Balik Korupsi Eradikasi Lahan Perkebunan Sumatera UtaraPengadilan Negeri Medan mengadili 3 terpidana dalam kasus korupsi eradikasi lahan PT Perkebunan Sumatera Utara (IDN Times/Indah Permata Sari)

Sementara itu, saat ditemui Hendry sebagai Jaksa mengatakan ada 3 perusahaan yang disebutkannya dalam kasus ini yakni, Hutama Karya (HK), PT PP Presisi, dan PT Waskita. Dari ketiga perusahaan ada banyak vendor. Namun, yang difokuskan adalah pengambilan tanah di PT PSU yang lebih dari 10 vendor.

Waskita membeli tanah melalui dari vendor. Setiap wilayah berbeda-beda perusahaan, mulai dari Kualatanjung ke Kisaran, Indrapura-Kisaran, Kualatanjung-Indrapura, Tebing Tinggi-Kuala Tanjung, baru Kualatanjung-Indrapura, Indrapura-Kisaran. Namun untuk wilayah Indrapura-kisaran itu dipegang oleh PT Presisi. Dari 3 terpidana yakni, Gazali sebagai Direktur PT PSU. 

Tanah lahan PT PSU dijualnya menjadikan tanah timbun melalui primkopat. Dan yang satu lagi PT Kartika Berkah Bersama. PSU yang memiliki lahan, dan yang mengorek tanah itu PT. Kartika Berkah Bersama, bersama dengan Primkopat.

Tanah tersebut dikorek dan dijual untuk timbun jalan tol melalui vendor. Sementara tanah yang dijual uangnya masuk ke PT. Kartika Berkah Bersama dengan Primkopad. Artinya, PSU dirugikan karena dijual untuk ditimbun. Sementara yang PSU tidak mendapatkan uang.

Nama mantan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut sempat tersebut oleh Sahat Bate'e

Di Balik Korupsi Eradikasi Lahan Perkebunan Sumatera UtaraPengadilan Negeri Medan mengadili 3 terpidana dalam kasus korupsi eradikasi lahan PT Perkebunan Sumatera Utara (IDN Times/Indah Permata Sari)

Nama mantan Wakil Gubernur Sumut, Musa Rajekshah atau akrab disapa Ijeck itu sempat tersebut Sahat Tua Bate’e. 

Menurut Hendry, berawal saat Ijeck melihat adanya tanah yang dikorek. Kemudian kasus ini terbongkar. Hal itu membuat semuanya diperiksa. Ada 3 titik lokasi lubang besar bekas dari galian tanah di PT PSU dengan banyak blok. Itu ada sekitar 80 hektare. 

Namun, Sahat meminta untuk Ijeck dipanggil dalam persidangan. Sudah 2 kali Ijeck dipanggil tapi belum berhadir. Sedangkan mantan Gubernur Edy tidak diminta untuk berhadir saat itu oleh Sahat.

Berbeda hal dengan penjelasan dari Roza sebagai PH Sahat pada saat itu. 

Roza menjelaskan bahwa, nama Edy Rahmayadi sebagai mantan Gubernur Sumut hanya bersifat sebagai pimpinan dari yang mengeluarkan surat izin IUP. Kemudian, surat izin tersebut ditandatangani oleh Kepala Dinas Perizinan Sumatera Utara pada saat itu (Faisal Arif Nasution). 

Mengenai waktu itu terkait permasalahan ini ada perintah oleh Gubernur kepada komisaris utama PT PSU untuk melakukan investigasi terkait eradikasi ini. Sehingga, kalau di berita acara pemeriksaan berkas jaksa, untuk Wakil Gubernur saat itu yaitu Musa Rajekshah ada sebagai saksi.

Sahat kecewa tidak hadirnya Edy dan Ijeck di sidang

Di Balik Korupsi Eradikasi Lahan Perkebunan Sumatera UtaraPengadilan Negeri Medan mengadili 3 terpidana dalam kasus korupsi eradikasi lahan PT Perkebunan Sumatera Utara (IDN Times/Indah Permata Sari)

Sahat Tua Bate’e sebagai terdakwa kasus korupsi koneksitas eradikasi lahan PT Perkebunan Sumatera Utara (PSU). Dia sempat menceritakan pengakuannya kepada awak media. 

Pengakuan ini diceritakannya usai Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai M Yusafrihardi Girsang membacakan putusan sidang vonis Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang digelar di ruang cakra 2, Pengadilan Negeri (PN) Medan, pada Rabu (12/6/2024).

Sahat mengatakan bahwa, proyek ini memiliki izin galian seluas 25 hektar di Desa Laut Tador yang berdampingan dengan PT Perkebunan Sumatera Utara pada Maret tahun 2019. Kemudian, Sahat berkenalan dengan Gazali untuk dapat bekerjasama.

“Kami sudah mulai bekerja mengeluarkan produksi itu, mengeluarkan produksinya dari area perkebunan Sumatera Utara. Nah, untuk menimbun jalan bantalan kereta api yang ada di Kuala Tanjung. Kemudian Pak Gazali Arif datang ke tambang kami melihat tambang kami minta tolong,” katanya.

Dia mengatakan aliran dana sudah diminta dan diterima oleh Gazali dengan alasan untuk Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar Rp1,7 Miliar.

"Untuk THR sudah diminta mereka Rp1.710.000.000, mereka yang dimaksud itu adalah PT PSU seluruh pejabat PT PSU kan untuk biaya THR tahun 2019 mereka minta ke saya, ya udah saya serahkan dan masuk ke rekeningnya,” jelasnya.

Sebelumnya, Sahat sempat menyebut nama kedua mantan pejabat Sumatera Utara dalam persidangan dan merasa kecewa karena tidak dihadirkan dalam persidangan. Meskipun, sudah memohon diminta untuk kehadiran keduanya kala itu kepada Majelis Ketua Hakim Pengadilan Negeri Medan.

Namun, saat dikonfirmasi Edy Rahmayadi belum dapat memberi keterangan saat tim KJI mencoba menghubungi. Sedangkan Ijek menyatakan bahwa dirinya membantah sebagai pemegang saham yang dimaksud oleh Sahat. Artinya, Edy dan Ijek hanya memiliki kapasitas sebagai Gubernur Sumut dan Wakil Gubernur Sumut pada saat itu, dikarenakan PT PSU masih dibawah naungan Pemprov Sumut.

Kemudian, saat disinggung media massa apa kaitan dengan nama mantan Gubernur Sumut Edy Rahmayadi dan mantan Wakil Gubernur Sumut, Musa Rajekshah. Sahat mengatakan bahwa Edy dan Ijeck merupakan pemegang saham di PT. PSU.

“Maksudnya gini ini kan mereka pemegang saham kalau dinyatakan ini kerugian negara mereka kenapa tidak dipanggil,” kata Sahat.

Diakuinya, tidak ada aliran dana kepada Edy dan Ijeck. Saat ini, menurutnya, Perkebunan Sumatera Utara seluas 87 Hektar sudah berbuah pasir.

“Kalau itu (aliran dana) tidak ada. Cuma karena pemegang saham beliau ya bertanggungjawab lah dengan kejadian ini, karena kami sudah menata kebun Sumatera utara itu 87 hektar tahun 2019 sekarang sudah berbuah pasir," ungkapnya.

Dia juga merasa dirugikan karena tidak dihadirkan kedua mantan pejabat Sumut. Sebab, dia menilai menjadi korban dan semua pekerjaan ini diketahui banyak pihak.

“Ya saya dirugikan, karena ini semua pekerjaan tahu komando saya, melalui Kolonel Suryo. Kolonel Suryo tahu ini, kenapa saya yang dikorbankan. Kodam tahu ini sampai ke Panglima,” kata Sahat.

Untuk diketahui, Ketua Pusat Koperasi Kartika A Kodam I BB, Kolonel Infantri Suryo Suprapto pernah melakukan kegiatan yang diwakili Ketua Badan Pengawas, Mayor Infantri Sahat Tua Bate'e untuk menyerahkan satu ton beras di Posko Gugus Tugas percepatan penanganan Covid-19, di Rumah Dinas Bupati di Seirampah, dan diterima Bupati Sergai diwakili Sekdakab HM Faisal Hasrimy selaku Koordinator Aksi didampingi Asisten Ekbangsos H Kaharuddin, selaku Ketua Logistik Gugus Tugas.

Pada Kamis (7/8/2014), Kolonel Infantri Suryo Suprapto menjadi KaBabinminvetcaddam I/BB.

Kolonel Infantri Suryo Suprapto (Akmil 1989) baru-baru saja menerima sertijab menjadi Pamen Kodam I/BB (dalam rangka pensiun) digantikan oleh Pamen Ahli Bidang Jemen Sishanneg Sahli Pangdam I/BB, pada Rabu (8/5/2024).

Usai pembacaan putusan, dia mendesak agar semua pihak yang mengetahui proyek ini untuk tidak tebang pilih kepada dirinya.

“Dibuka lebar. Jangan tebang pilih kepada saya orang kecil. Dibuka. Semua digeret, jangan saya saja letnan Kolonel mantan pensiunan dijadikan begini padahal Kodam tahu ini, ada buktinya semuanya sama saya,” ujarnya.

Terkait bakal banding atau tidak, Sahat mengatakan masih berpikir terlebih dahulu.

“Nah, itu kami pikir-pikir dulu. Jadi, PT Perkebun Sumatera Utara sudah bagus sekarang. Sudah ditata bagus 87 hektare sudah berbuah pasir bisa dilihat di sana. Kami membuat surat supaya di  sampai sekarang tidak diizinkan. Harus dibuktikan kebenaran jangan disembunyikan,” tutupnya.

Hingga sampai saat ini, para pengacara Sahat telah berganti-ganti yang sebelumnya Roza Harahap dan Sudi Panggabean yang juga merupakan pengacara Moris. Keduanya tidak ingin ditemui lagi untuk wawancara. Sedangkan kelanjutan banding atau tidak kasus ini juga belum dijawab oleh Sudi Panggabean.

Putusan banding dari hakim kepada 3 pidana

Di Balik Korupsi Eradikasi Lahan Perkebunan Sumatera UtaraPengadilan Negeri Medan mengadili 3 terpidana dalam kasus korupsi eradikasi lahan PT Perkebunan Sumatera Utara (IDN Times/Indah Permata Sari)

Dalam putusan banding, Hakim tetap tidak membebankan Gazali untuk membayar uang pengganti (UP). Sebab, Gazali dinilai tidak menikmati uang yang menjadi kerugian negara.

Sedangkan Sahat dan Febrian dibebankan untuk membayar UP. Sahat diwajibkan membayar UP sebanyak Rp6,2 miliar lebih. Dengan ketentuan, apabila UP tidak dibayar dalam waktu sebulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita dan dilelang oleh JPU untuk menutupi UP tersebut. 

Namun, apabila harta benda Sahat juga tidak mencukupi untuk menutupi UP tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan.

Lalu, untuk Febrian diharuskan membayar UP sebesar Rp3,3 miliar lebih dengan ketentuan, apabila UP tidak dibayar dalam waktu sebulan setelah putusan inkrah, maka harta bendanya akan disita dan dilelang oleh JPU untuk menutupi UP tersebut.

Kemudian, apabila harga benda Febrian juga tidak mencukupi untuk menutupi UP tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.

SAHdaR menilai PT PSU lemah dalam tata kelola

Di Balik Korupsi Eradikasi Lahan Perkebunan Sumatera UtaraPengadilan Negeri Medan mengadili 3 terpidana dalam kasus korupsi eradikasi lahan PT Perkebunan Sumatera Utara (IDN Times/Indah Permata Sari)

Sementara itu, Koordinator Sentra Advokasi untuk Hak dasar Rakyat (SAHdaR), Ibrahim mengatakan bahwa perusahaan milik Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ini menunjukan kelemahan yang serius dalam tata kelola.

“Berdasarkan asesmen pada tahun 2022-2023 yang dilakukan oleh SAHdaR dan Transparency International Indonesia (TII), ditemukan bahwasanya PT PSU tidak memiliki pakta integritas bagi pegawai dan direksi untuk menegaskan komitmen bebas korupsi. Ketiadaan mekanisme pelaporan dugaan korupsi serta kebijakan whistleblower yang melindungi pelapor juga menjadi masalah besar, karena tanpa sistem ini, praktik korupsi tidak terdeteksi dan tidak terlaporkan,” jelasnya.

Selain itu, menurutnya kurang transparansi dalam laporan tahunan dan program Corporate Social Responsibility (CSR) semakin memperburuk kondisi. 

“PT PSU juga tidak memiliki aturan terkait Politically Exposed Persons (PEPs) yang dapat mengidentifikasi individu-individu dengan pengaruh politik, yang terbukti dengan keterlibatan Letkol. (Purn) Sahat Tua Bate’e dalam kasus ini. Ketiadaan mekanisme cooling-off period serta aturan revolving door memperbesar risiko konflik kepentingan dan korupsi,” kata Ibrahim.

Lebih jauh lagi, baginya kebijakan anti-money laundering (AML) yang tidak efektif memperparah situasi dengan memungkinkan pencucian uang hasil aktivitas korupsi. 

“Dengan kondisi ini, tata kelola PT PSU yang lemah menciptakan peluang besar bagi terjadinya korupsi tanpa hambatan. Kasus ini harus menjadi pelajaran penting bagi perusahaan milik daerah lainnya untuk memperbaiki tata kelola, membangun sistem pelaporan yang transparansi dan akuntabel, serta memperkuat komitmen anti-korupsi,” pungkasnya.

Pemberitaan ini tidak hanya melakukan investigasi mendalam terhadap perkara yang diadili. Namun, setidaknya mengambil bagian agar PT PSU dapat berbenah diri menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Sumut yang lebih baik.

Apalagi, balakangan terjadi demo pegawainya untuk menuntut hak mereka atas dugaan terjadi pengelolaan manajemen yang semrawut. 

Dalam pemantauan di persidangan, tercium bahwa PT PSU pada kasus ini sudah salah manajemen alhasil tidak untung. 

Berdampak juga pada gaji karyawan yang tak ditunaikan, tujuannya untuk menyegarkan keuangan PT PSU. Namun, diduga salah kelola sehingga potensinya jadi kasus korupsi. 

 

Catatan Redaksi:

Artikel ini merupakan liputan mendalam yang dilakukan secara bersama oleh Tim KJI Sumut, dengan IDN Times Sumut sebagai salah satu anggota, serta organisasi masyarakat sipil yaitu SAHdAR.

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya