Penjual Orangutan Divonis Ringan, GJI: Ini Hukuman yang Bercanda

Kejahatan lingkungan belum jadi perhatian serius

Medan, IDN Times – Eddy Alamsyah Putra divonis delapan bulan penjara dan denda Rp100 juta oleh Pengadilan Negeri Binjai, Selasa (24/5/2022). Dia terbukti bersalah karena terlibat dalam perdagangan orangutan sumatra (pongo abelii).

Vonis majelis hakim yang diketuai oleh Teuku Syarafi lebih rendah dari tuntutan jaksa. Meski pun jaksa menuntut Eddy dengan hukuman hanya satu tahun penjara.

Tuntutan ini dinilai sangat rendah. Mengingat apa yang dilakukan oleh Eddy adalah kejahatan lingkungan yang memberikan dampak serius.

Baca Juga: Penjual Orangutan Hanya Dihukum 8 Bulan Penjara

1. Hukuman rendah, tidak akan ada efek jera

Penjual Orangutan Divonis Ringan, GJI: Ini Hukuman yang Bercandasatu individu orangutan sumatra diselamatkan dari perdagangan ilegal, di Kota Binjai awal Februari lalu. (Dok/IDN Times)

Direktur Green Justice Indonesia (GJI) Dana Prima Tarigan menyayangkan vonis delapan bulan yang dijatuhkan kepada pelaku. Menurutnya ini sangat rendah.

“Ini tidak memberikan efek jera. Orangutan merupakan satwa terancam punah dan menjadi kekayaan Indonesia. Ini hukuman yang bercanda,” ujar Dana, Rabu (25/5/2022) malam.

Hukuman yang sangat rendah itu, kata Dana, justru membuat orang akan semakin seenaknya melakukan kejahatan lingkungan. Padahal sudah jelas, dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara.

2. Penegakan hukum belum berpihak pada perlindungan ekosistem

Penjual Orangutan Divonis Ringan, GJI: Ini Hukuman yang Bercanda[ilustrasi] Sapto, Orangutan anakan yang berhasil dievakuasi oleh petugas Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) dari pemukiman di kawasan Gampong Paya, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Nanggroe Aceh Darussalam. Selasa (22/1/2019) lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Ringannya hukuman pada kasus kejahatan lingkungan bukan hanya terjadi pada Eddy. Dalam kasus – kasus serupa, hukuman ringan yang diberikan kepada pelaku, sudah dianggap hal yang biasa.

Menurut Dana, ringannya hukuman terhadap pelaku kejahatan lingkungan justru  menunjukkan belum tegasnya penegakan hukum. Khususnya pada perlindungan ekosistem.

“Kita jadi bertanya. Apakah para penegak hukum kita ini paham dengan kasus yang terjadi, dan dampaknya jika tidak ada perhatian khusus,” kata Dana.

Terpisah, Founder Yayasan Orangutan Sumatra  Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) Panut Hadisiswoyo memberikan  pendapat tegas. Kata dia, hukuman ringan kepada pelaku semakin menunjukkan tidak seriusnya aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kejahatan lingkungan.

“Ini seolah kasus-kasus satwa liar dilindungi tidak menjadi atensi serius,” katanya.

3. Pengungkapan didesak dilakukan sampai tuntas

Penjual Orangutan Divonis Ringan, GJI: Ini Hukuman yang Bercanda[ilustrasi] Sapto, Orangutan anakan yang berhasil dievakuasi oleh petugas Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) dari pemukiman di kawasan Gampong Paya, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Nanggroe Aceh Darussalam. Selasa (22/1/2019) lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Eddy Alamsyah Putra di Kota Binjai, Selasa (1/2/2022). Eddy ditangkap setelah polisi menciduk tiga orang yang membawa orangutan Sumatra di Terminal Binjai, Jalan Ikan Paus, Kelurahan Tanah Tinggi, Kecamatan Binjai Timur, Kota binjai dinihari di  hari yang sama.

Tiga orang yang ditangkap antara lain, Sonny Putra, Toris Panjaitan dan Doddy Prawira Atmajaya. Namun status hukum ketiganya sampai saat ini belum juga jelas.

Dalam dakwaan kepada Eddy, ketiganya mengaku sebagai suruhan Eddy. Sementara, Eddy diduga sebagai anggota Irawan Shia alias Min Hua yang  kini mendekam di penjara di Pekanbaru karena kasus perdagangan satwa. Perdagangan satwa yang menjerat Eddy praktis dikendalikan Min Hua dari dalam penjara. Orangutan itu dibeli dari seseorang bernama Thomas senilai Rp12 juta. Rencananya, Orangutan Sumatera ini akan dijual kepada warga negara asing yang bernama Zainal sebesar Rp50 juta.

Kasus ini menurut panut belum selesai.  Eddy hanyalah bagian kecil dari perdagangan satwa dilindungi. Dia mendorong penegak hukum agar mengungkap aktor utama perdagangan itu. Apalagia dalam dakwaannya disebutkan beberapa nama yang diduga terlibat.

“Harus ada pengembangan, sehingga bisa melakukan upaya hukum lebih tegas. Saya pikir kepolisian kita punya kemampuan untuk itu,” pungkasnya.

Kasus perdagangan satwa terus terjadi setiap tahunnya. Angka kasus yang terungkap masih terbilang tinggi. Belum lagi jika menukil kasus-kasus yang tidak terungkap.

Data Forest Wildlife Protection Unit (ForWPU) ada 38 kasus perdagangan ilegal satwa dilindungi dalam kurun waktu 2015-2021. Orangutan, menempati posisi kedua dengan sebelas kasus. Hanya selisih 1 kasus dengan perdagangan harimau dengan total 12 kasus. Kemudian disusul gajah 2 kasus, badak 1 kasus, beruang madu 1 kasus,   kukang 1 kasus,   macan dahan 2 kasus, trenggiling 1 kasus, rangkong 1 kasus dan burung lainnya 6 kasus.

Bagi Panut, harus ada kolaborasi bersama dalam penanganan kasus – kasus satwa liar dilindungi. Sehingga ada upaya bersama untuk menekan angka kasus di setiap tahunnya.

Baca Juga: 5 Oknum Polisi Tidak Terlibat Kasus Kerangkeng di Rumah Terbit Rencana

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya