Culas Pemulangan Orangutan Kaka Dari Gudang Kertas

BBKSDA tutupi fakta asal-usul Kaka

Kaka akhirnya pulang dari Kota Bogor ke Sumatra
Primata besar itu sempat dipelihara di  gudang kertas
BBKSDA Jawa Barat membantah, Kaka disebut diserahkan secara sukarela
Dugaan Kaka adalah korban perdagangan ilegal mencuat
Namun otoritas terkait enggan menelusuri

Deli Serdang, Juni 2022

Pesawat Garuda Indonesia asal Bandara Soekarno – Hatta, mendarat mulus di Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, Selasa (31/5/2022). Pesawat bernomor penerbagangan GA182 itu mendarat pukul 09.25 WIB dan merapat ke stasiun kargo untuk menurunkan Kaka. Orangutan Sumatra (Pongo Abelii) yang diselamatkan dari Kota Bogor, Jawa Barat.

Dari dalam kandang angkut, Kaka menatap ke luar. Melihat para pewarta yang mengabadikan momen pemulangannya. Kaka diserahkan oleh Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) Jawa Barat kepada BBKSDA Sumut.

Orangutan berkelamin jantan itu dinyatakan sehat. Usianya diperkirakan 3 tahun. Dia sempat dititiprawat di Pusat Rehabilitasi Satwa Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), Ciapus, Bogor setelah disita pada Jumat 7 Januari 2022 lalu.

Kaka langsung dibawa ke Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan di Batumbelin, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang yang dikelola oleh The Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP).

“Atas inisiasi kita semua, Kaka dikirim ke Sumut untuk  menjalani rehabilitasi di Batu Mbelin. Sehingga nanti bisa dilepasliarkan kembali,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BBKSDA Sumut Irzal Azhar.

Kaka diduga dipelihara di gudang kertas

Culas Pemulangan Orangutan Kaka Dari Gudang KertasSeekor orangutan sumatra (Pongo abelii) bernama penanda Kaka berada di dalam kandang angkut saat tiba di terminal kargo Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara, Selasa (31/5/2022). (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio)

Kaka diduga kuat menjadi korban perdagangan gelap satwa dilindungi. Meski pun Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat hanya menyebut Kaka diserahkan secaa sukarela oleh masyarakat.

Seorang sumber menyebut, jika Kaka selama ini dipelihara di gudang Paperina Warehouse milik PT Paperina Dwijaya, di Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Jawa Barat. Perusahaan ini bergerak di bidang produksi kertas. Nama Paperina cukup dikenal di dalam bisnis publishing.

Di dalam areal gudang, Kaka menghuni kandang yang kawatnya terlihat berkarat. “Sudah tiga bulan itu di sana,” ujar seorang informan yang enggan disebut identitasnya.

Kandang Kaka ditempatkan di bawah pohon di dekat sebuah bangunan besar berliris kelir merah. Kondisinya jauh sekali dari habitat Kaka di hutan. Dia ditempatkan dengan sejumlah satwa lainnya yang terpisah kerangkeng.

Selain orangutan, ada sejumlah jenis burung di sana. Termasuk, beberapa kera.

Kata informan itu, Kaka juga pernah lepas. Kaka mendatangi rumah-rumah penduduk. Ini menguatkan fakta dari video yang pernah beredar. Di mana Kaka sempat mengejutkan warga karena datang ke rumah. Saat itu, Kaka kemudian ditangkap dan dikembalikan ke kandang.

BBKSDA Bogor membantah Kaka dipelihara di gudang kertas

Culas Pemulangan Orangutan Kaka Dari Gudang Kertas[ilustrasi] Sapto, Orangutan anakan yang berhasil dievakuasi oleh petugas Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) dari pemukiman di kawasan Gampong Paya, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Nanggroe Aceh Darussalam. Selasa (22/1/2019) lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

BBKSDA Bogor membantah tudingan bahwa Kaka dipelihara di gudang kertas. “Bukan,” ujar Kepala Bidang KSDA Wilayah I Bogor Lana Sari. Namun Lana enggan mendetil soal siapa masyarakat yang menyerahkan satwa itu. Termasuk sudah berapa lama Kaka dipelihara.

Dicecar soal asal-usul Kaka, Lana berdalih jika mereka tidak menelusuri lebih  jauh. Karena, itu bukan merupakan tugas mereka. “Kala itu tidak tahu,” ujarnya.

Kata Lana, pihaknya mendapatkan laporan dari masyarakat tentang orang yang memelihara orangutan. Sehingga mereka melakukan penindakan secar persuasif.

“Yang bersangkutan mau secara sukarela, kenapa harus represif. Orangutannya yang kita selamatkan. Apakah intinya orangnya kita proses hukum tapi nanti orangutannya mati atau orangutannya hidup. Kalau kami kan BBKSDA bukan penegakan hukum. Kami pentingnya orangutannya selamat,” ketus Lana.

Sementara itu, sumber IDN Times menyebut jika Kaka saat itu dijemput oleh pihak BBKSDA di gudang Paperina Warehouse. Sehingga pihak perusahaan pun menyerahkannya.

Serah terima Kaka tercatat di lokasi lain

Culas Pemulangan Orangutan Kaka Dari Gudang Kertas[Ilustrasi] Satu individu orangutan sumatra bergelantungan di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pelaksana Harian Kepala BBKSDA Jawa Barat Himawan mengatakan pihaknya melakukan upaya persuasif setelah melakukan koordinasi dengan kepolisian dan Balai Gakkum. Orangutan itu disebut bukan merupakan barang bukti atau tengah diselidiki oleh aparat penegak hukum terkait perdagangan ilegal.

“Jadi tidak ada berproses hukum saat itu. Oleh itu kita menerima saran itu, dan kemudian kita melakukan evakuasi, dan kita titiprawat ke YIARI,” ujarnya.

Informan lainnya menyebut Kaka diserahkan oleh seseorang berinisial KS yang diduga merupakan suruhan Paperina Dwijaya. Lokasi penyerahterimaan dilakukan tidak di areal gudang. Melainkan di Kompleks ABRI, Sukasari, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor. Jaraknya sekitar 9,5 Km dari gudang tempat Kaka dipelihara.

Himawan mengonfirmasi kebenaran lokasi penyerahterimaan itu. Termasuk nama orang yang menyerahkannya. “Saya berdasar dokumen,” ujar Himawan.

Himawan juga menyebut video Kaka sempat viral. Ini semakin menguatkan fakta bahwa Kaka pernah berkeliaran ke rumah penduduk saat lepas dari gudang perusahaan. Dari situ, Himawan langsung memerintahkan anggotanya untuk melakukan penindakan. Dia juga tidak mengetahui soal detil dari mana Kaka berasal. Himawan juga curiga, jika orangutan itu sampai di Bogor dengan cara ilegal.

“Kita tidak tahu itu dulu (orangutan) di mana di Sumatra, tiba tiba ada di Bogor. Pasti kan ada perantara,” ungkapnya.

Sayangnya pihak Paperina Dwijaya enggan memberikan klarifikasi terkait dugaan orangutan Kaka dipelihara oleh perusahaan mereka. IDN Times sudah mencoba menghubungi nomor kantor Paperina yang tertera di laman resmi paperina.com. Orang diujung telepon mengarahkan agar IDN Times mengirimkan email kepada seseorang bernama Welly.

IDN Times mengirimkan email kepada alamat  yang diberikan beserta beberapa pertanyaan ihwal Kaka. Sayang, sejak dikirimkan pada 7 Juni 2022, hingga berita ini ditayangkan, pihak Paperina tidak memberikan balasan.

Baca Juga: Jaksa Minta Otak Pelaku Perdagangan Orangutan Segera Disidang

Kaka berasal dari Aceh Bagian Utara

Culas Pemulangan Orangutan Kaka Dari Gudang Kertas[ilustrasi] Sapto, Orangutan anakan yang berhasil dievakuasi oleh petugas Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) dari pemukiman di kawasan Gampong Paya, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Nanggroe Aceh Darussalam. Selasa (22/1/2019) lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sebelum diterbangkan ke Medan, Kaka menjalani serangkaian pemeriksaan kesehatan. Sample darah diperiksa di Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman pada tanggal 23 Februari 2022. Kaka dinyatakan sehat.

Dari tes genetik yang dilakukan, Kaka juga diketahui berasal dari Aceh bagian Utara. Nantinya, jika dinyatakan siap, Kaka akan dikembalikan ke sana.

Untuk diketahui, kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berada di provinsi Aceh. Selain sebagian lagi berada di Sumatra Utara. Ekosistem Leuser, menjadi habitat orangutan selain satwa kunci lainnya, Harimau Sumatra dan Badak. Ditambah satwa eksotis lainnya, seperti burung rangkong, trenggiling, beruang madu dan lainnya. Tindak perburuan satwa dilindungi masih masif terjadi di kawasan ini. Baik dijual di dalam negeri, hingga ekspor ilegal ke luar negeri.

Gagal paham hukum berujung pembiaran

Culas Pemulangan Orangutan Kaka Dari Gudang KertasSatu dari sembilan individu Orangutan Sumatra yang direpatriasi dari Malaysia ke Indonesia. Mereka adalah korban dari perdagangan satwa liar ilegal. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pemulangan secara sukarela para pemilik satwa dilindungi kepada petugas berwenang ibarat menjadi tren. Di satu sisi justru dianggap prestasi. Namun justru, penindakan hukum diabaikan.

Nyaris tidak pernah ada penelusuran dari mana satwa – satwa itu bisa sampai dipelihara, dimiliki oleh orang-orang yang memulangkan. Penegakan hukum mentok karena menganggap orang-orang yang menyerahkan satwa secara sukarela dinilai sudah menyadari tentang konservasi.

Minimnya penelusuran asal-usul satwa justru melemahkan upaya memutus rantai kejahatan kehutanan khususnya satwa liar dilindungi yang masih masif terjadi. Padahal sudah diamanatkan dengan tegas dalam pasal 21 ayat (2) huruf (a) Jo Pasal 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, bahwa setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup diancam dengan hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta.

Dalam kasus Kaka, BBKSDA, Gakkum KLHK dan kepolisian dinilai telah melakukan pembiaran. Pun jika menggunakan dalih restorative justice, tindakan penyerahan sukarela oleh pemilik satwa tidak masuk sebagai prasyarat. Karena ancaman hukumannya, maksimal lima tahun.

 “Undang –undang konservasi tidak mengenal proses secara kekeluargaan. Dalam undang-undang itu itu sudah jelas dikatakan, memelihara, menangkap, memburu dan sebagainya itu dipidana. Ancamannya lima tahun. Artinya, proses hukum harus dijalankan,” kata Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara Roni Saputra, Selasa malam.

Bagi Roni, pengembalian satwa dan penindakan hukum adalah dua hal berbeda. Justru aneh seolah ada pengampunan ketika pemelihara satwa dilindungi malah terbebas dari ancaman proses hukum. Apalagi, orangutan yang berstatus sangat terancam punah (Critically Endangered) itu diperoleh secara ilegal.

Harusnya, kata Roni, BBKSDA sebagai otoritas terkait membuat laporan dugaan pelanggaran hukum itu kepada Gakkum KLHK atau kepolisian agar diproses. Bukan malah seolah melakukan pembiaran dan tutup mata dengan penegakan hukum.

“Bukan karena belum ada proses hukum, lalu mereka (BBKSDA) bisa ambil satwanya. Kan perbuatan (melanggar hukum) ada. Jadi itu keliru prosesnya,” imbuhnya.

Apa yang dilakukan BBKSDA justru menjadi preseden buruk. Ini bisa saja membuat masyarakat berpikir, bahwa memelihara satwa dilindungi itu bisa terbebas dari  jerat  hukum jika mengembalikannya kepada negara saat ketahuan. Ini sungguh tidak baik bagi upaya konservasi. Ini juga menjadi coreng buruk bagi pemerintah dalam upaya penegakan hukum kasus kejahatan lingkungan.

Wajar juga jika masyarakat berpikir, ada ‘sesuatu’ dalam kasus Kaka. Sehingga aparatur terkait seperti enggan melakukan penelusuran hingga berujung proses hukum. Hal yang mustahil jika Kaka tiba-tiba berada di Bogor. Sementara habitat aslinya dari Sumatra.

“Pemidanaan itu bukan untuk perbuatan ke depannya. Tapi untuk perbuatan yang sudah dilakukan. Jadi kalau itu sudah koordinasi dan disebut belum ada proses penegakan hukum, bukan berarti poerbuatan itu sah,” tukas Ronny.

Dalam sejumlah kasus perburuan dan perdagangan, sering kali ditemukan bahwa yang menjadi barangbukti adalah orangutan yang berusia bayi. Untuk mengambil bayi orangutan, biasanya pemburu akan membunuh indukannya. Sungguh kerugian yang besar bagi kelestarian satwa itu.

Roni  mendorong agar penegakan hukum bisa dilakukan. Tidak hanya pada kasus Kaka, melainkan pada kasus-kasus pengembalian satwa dilindungi lainnya. Tentunya, ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Di tengah ancaman kepunahan satwa-satwa itu yang akan memberi pengaruh buruk bagi kelestarian alam.

Perdagangan satwa dilindungi masih masif

Culas Pemulangan Orangutan Kaka Dari Gudang Kertas[ilustrasi] Sapto, Orangutan anakan yang berhasil dievakuasi oleh petugas Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) dari pemukiman di kawasan Gampong Paya, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Nanggroe Aceh Darussalam. Selasa (22/1/2019) lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Perburuan satwa dilindungi masih menjadi ancaman serius untuk kepunahan. Saban tahun, kasusnya masih terus terjadi. Kasus terakhir yang cukup menyita perhatian adalah perdagangan bayi orangutan yang diungkap Polda Sumut pada April 2022 dengan tersangka TOM (18). Penanganannya terkesan lamban. Setelah sebeulan lebih, berkas perkaranya baru dikirim ke Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara. Tersangkanya sampai saat ini tidak ditahan. Kemudian kasus mantan Bupati Bener Meriah Ahmadi dan dua rekannya yang menjual kulit dan tulang harimau sumatra pada Mei 2022.

Menurut data Forest Wildlife Protection Unit (ForWPU) sepanjang 2015 – 2021, kasus tindak pidana kehutanan angkanya cukup tinggi di Sumatra. Dalam kurun waktu itu, ForWPU mencatat, ada 53 kasus. Sebanyak 23 kasus sudah vonis, selebihnya menjalani pembinaan. Ada 92 pelaku yang ditangkap, 37 di antaranya ditahan.

Kasus perburuan satwa liar menempati angka tertinggi. Jumlahnya mencapai 38 kasus. Sedangkan kasus pembalakan liar dan perambahan hutan, jumlahnya masing-masing 8 dan 6 kasus. Dari jumlah itu, kasus perdagangan orangutan yang terungkap menempati posisi kedua dengan 11 kasus. Hanya selisih satu angka dengan kasus perdagangan harimau yang terungkap sebanyak 12 kasus.

Satu persen populasi orangutan hilang berdampak sistemik

Culas Pemulangan Orangutan Kaka Dari Gudang KertasInduk dan anak orangutan sumatra utara saling berbagi makanan sambil bergelantungan di atas pohon di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Saban tahun, populasi orangutan terus menurun. Baik faktor alamiah, atau pun tingginya tekanan kepada habitat mereka di kawasan hutan. Data Population and Habitat Viability Assesment (PHVA) 2016, diperkirakan terdapat 14.630 individu orangutan sumatra. Ditambah spesies orangutan tapanuli (pongo tapanuliensis) yang dideklarasikan pada November 2017 dan langsung masuk dalam status ‘sangat terancam punah’. Saat ini populasinya diperkirakan hanya tinggal 500 sampai 760 individu tersebar pada beberapa blok ekosistem Batang Toru.

Tekanan terhadap habitat terjadi karena masifnya deforestasi karena pembukaan hutan untuk perkebunan, pembalakan dan pemukiman. Menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), dalam 75 tahun terakhir, populasi orangutan sumatera telah mengalami penurunan sebanyak 80 persen. Dalam IUCN Red List, Orangutan Sumatera dikategorikan Kritis (Critically Endangered).

Founder Yayasan Orangutan Sumatra Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL-OIC), jika satu persen saja populasi orangutan hilang, maka akanmemberikan dampak sistemik. Perkembangan jumlah populasi akan berkurang signifikan. Karena dalam siklus hidupnya, perkembangbiakan hidup orangutan begitu lamban.

“Orangutan betina berkembang biak semasa hidupnya paling banyak melahirkan tiga individu. Karena interval perkembangbiakan cukup lama. Sekitar delapan tahun sekali. Karena jika punya anak, dia akan mengurusi anaknya hingga 6-8 tahun,” kata Panut, Kamis (9/6/2022).

Kehilangan populasi juga akan berdampak serius pada perkembangan ekosistem. Orangutan sebagai satwa arboreal pemakan buah terkenal sebagai petani hutan. Karena orangutan memencar biji-biji buah yang dimakannya. Apalagi satu individu orangutan punya daya jelajah yang cukup luas. Orangutan betina, punya daya jelajah hingga 800 Ha. Sedangkan untuk jantan lebih luas mencapai 1.500 Km.

“Ketika orangutan sudah tidak ada lagi, maka proses regenerasi vegetasi menjadi terganggu.  Orangutan menjadi penyeimbang regenerasi hutan. Artinya, dia juga berperan dalam keseimbangan iklim. Karena menjaga hutan tetap bagus,” pungkas Panut.

Baca Juga: Harubiru Surya dan Citra Pulang ke Rumah Baru

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya