Pertukaran Mahasiswa, Fery Syok dengan Logat Anak Medan yang Keras 

Kaget lihat angkot dan kendaraan ugal-ugalan dijalan

Medan, IDN Times - Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) merupakan salah satu program dari Kemendikbud yang berorientasi pada mobilitas mahasiswa selama satu semester untuk mendapatkan pengalaman belajar di perguruan tinggi di seluruh penjuru Indonesia.

Program ini bermanfaat dalam membentuk pengalaman baru terhadap nilai-nilai kebhinekaan, menjalin pertemanan lintas budaya dan adat istiadat, mengembangkan soft skill, sampai kebebasan memilih mata kuliah lain di luar radar program studi asal.

Di Sumut, PMM tahun ini telah berjalan selama sekitar sebulan. Di mana banyak dari mahasiswa luar provinsi yang selama satu semester akan mengikuti rangkaian pelajaran di perguruan tinggi yang ada di Sumut. Tentu, para mahasiswa pertukaran yang berasal dari provinsi yang berbeda-beda akan secara langsung bersinggungan dengan lingkungan di Medan yang terkenal keras itu.

Kali ini, IDN Times merangkum cerita dari mahasiswa pertukaran luar Sumut yang mengalami culture shock saat mereka telah tiba di tanah Melayu Deli ini.

1. Tidak terbiasa dengan logat Medan yang terkenal keras

Pertukaran Mahasiswa, Fery Syok dengan Logat Anak Medan yang Keras Fery mahasiswa pertukaran asal Makassar (dok.Istimewa)

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia asal Universitas Negeri Makassar (UNM), Fery Ardinal, mengaku cukup kaget dengan ciri bahasa Medan yang terkenal keras dan vokal. Mahasiswa yang selama satu semester ini berkuliah di Unimed itu menerangkan jika dirinya mengalami culture shock pada gayakomunikasi, meskipun diakuinya bahwa daerah asalnya juga memiliki logat yang cukup keras namun tak sekeras yang ia cermati di Medan.

“Saat berkomunikasi dengan orang Medan, awalnya saya mengira kalau saya sedang dimarahi. Masyarakat Medan jika berbicara intonasinya, kan, keras. Sempat kaget juga. Walaupun logat Medan keras, namun banyak masyarakatnya yang masih aware dan membantu ketika saya tanya jalan. Orang-orang lokalnya juga rata-rata baik-baik dan dapat membantu saya ketika saya butuh bantuan karena mengalami gegar budaya,” ungkap Fery.

Lebih lanjut Fery juga mengaku bahwa sesekali ia dan teman-teman PMM-nya kerap mengikuti gaya berbicara orang Medan dalam berkomunikasi satu sama lain.

“Di Medan ada beberapa bahasa yang berbeda dengan daerah saya. Sepeti ‘motor’ di sini disebut ‘kereta’, ‘pasar’ itu disebut ‘pajak’, kalau di daerah saya ‘BBM’ di sini disebut ‘minyak’, bahkan ‘SPBU’ orang Medan menyebutnya ‘galon’. Jadi saya kerap terkendala dengan leksikon-leksikon seperti itu yang hanya dimengerti orang Medan saja,” aku Fery.

Adanya culture shock dalam berkomunikasi membuat Fery harus menyesuaikan diri dengan lingkungan di Kota Medan. Fery menganggap momen ini cukup menarik, sebab ia mengaku tidak akan tahu hal-hal seperti perbedaan cara berkomunikasi jika dirinya tidak datang langsung di Medan.

Baca Juga: Ini Potret Taman TPA Terjun yang Viral, Selalu Ramai Pengunjung

2. Kaget melihat angkot dan kendaraan lain sering ugal-ugalan

Pertukaran Mahasiswa, Fery Syok dengan Logat Anak Medan yang Keras angkot berjejer di tempat ngetem (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Selama sebulan di Medan, sampai saat ini Fery masih belum bisa menormalisasi cara mengemudi sebagian masyarakat Medan. Ia menilai bahwa fenomena masyarakat Medan berkendara di jalanan cukup ugal-ugalan. Bahkan ia kaget hal yang sama juga diterapkan oleh banyak angkutan umum.

“Cara masyarakat Medan berkendara cukup ugal-ugalan. Fenomena ini lah yang merupakan salah satu hal yang membuat saya mengalami culture shock. Contohnya saat pertama kali saya menginjak kota ini, arus kendaraannya memang tidak terlalu padat, namun banyak pengendara ugal-ugalan seakan tak memberikan kita jalan untuk menyeberang,” kata Fery mengisahkan momen perdananya melihat kondisi jalanan di Kota Medan.

Fery kemudian melanjutkan betapa terkejutnya ia saat melihat banyak angkutan umum yang berhenti tiba-tiba. Bahkan ia tak habis pikir melihat angkutan umum yang ngetem terlalu ke tengah jalan.

“Jujur, saya kaget melihat angkot di Kota Medan ini, mereka ngetem dan berhenti terlalu memakan jalan, bahkan hampir di tengah jalan yang dapat mengganggu pengendara lain,” kata mahasiswa angkatan 2021 ini.

3. Sulit menemukan makanan berkuah ringan

Pertukaran Mahasiswa, Fery Syok dengan Logat Anak Medan yang Keras Ilustrasi sayur sop (instagram.com/idha_setiarini)

Mahasiswa PMM lain yang berasal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dian Agustini, mengatakan jika dirinya kerap kesulitan menemukan makanan-makanan berkuah ringan. Apalagi bagi dirinya yang sering mengonsumsi makanan itu saat di Jawa.

“Saya kesulitan menemukan makanan berkuah ringan seperti sop atau sayur bening. Di kawasan sini ada, tapi yang jual hanya di warung BPK. Di warung-warung biasa, saya biasanya hanya menjumpai sayur jipang yang menggunakan kuah kental,” ujarnya.

Dian juga menjelaskan bahwa dirinya sebelum pergi ke Medan telah banyak berdiskusi dengan temannya. Salah satunya adalah temannya yang asli orang Medan. Hal ini dilakukannya untuk antisipasi agar dirinya tak begitu kaget saat menginjakan kaki di tanah Melayu Deli ini.

“Sebelum berangkat, dulu saya tanya-tanya soal bagaimana kultur dan suasana di Medan, untuk antisipasi. Namun, pengetahuan karena pengalaman orang lain dan pengalaman sendiri tidak bisa disamakan. Jadi ada beberapa hal yang tidak sempat disebutkan teman saya, tetapi saya kesulitan menjalaninya. Seperti soal makanan berkuah ringan yang sulit didapatkan,” kata mahasiswa asal UGM ini.

4. Positifnya, Medan dinilai sebagai kota yang beragam

Pertukaran Mahasiswa, Fery Syok dengan Logat Anak Medan yang Keras Ilustrasi keberagaman (IMR 2022/IDN Times)

Saat berada di Medan, Dian kerap kaget melihat hal-hal yang berbeda di banding kotanya. Bahkan Dian mengaku beberapa kali ia dan teman-temannya mendapat catcalling di jalanan, bahkan termasuk di lingkungan kampus sendiri.

“Seolah, mereka tidak segan mengkomunikasikan apapun yang terlintas di pikiran mereka, tetapi tidak disaring terlebih dahulu. Sebenarnya bukan culture shock, sih. Saya tidak yakin budayanya yang memang begini atau memang hanya perilaku segelintir orang saja. Saya masih belum bisa beradaptasi dengan kefrontalan orang Medan,” katanya.

Di samping banyak kekisruhan Medan yang cukup membuat pendatang tidak nyaman, Dian mensyukuri betapa beragamnya kota yang ia sambangi selama satu semester ini.

“Di sini banyak tempat ibadah dari agama yang berbeda, arsitekturnya juga beragam. Pemandangan ini jarang saya temui di Jawa, biasanya cuma ada gereja atau masjid yang desainnya begitu-begitu saja. Di sini kerennya saya bisa menjangkau vihara, tempat ibadah orang Sikh, kuil, dan gereja dengan berjalan kaki saja karena jaraknya berdekatan semua. Kayak, wah banget keberagamannya,” ujar perempuan yang lahir di Lombok ini.

5. Singgung adanya perbedaan sistem belajar dengan kampus asal

Pertukaran Mahasiswa, Fery Syok dengan Logat Anak Medan yang Keras Kampus USU (Dok. IDN Times/Sumber: www.usu.ac.id)

Tak hanya berbeda dalam gaya berbicara dan fenomena yang ada di jalan raya, sektor pendidikan di Medan juga dinilai Dian memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan kota asalnya. Terkhusus bagaimana sistem perkuliahan berlangsung.

Dian menilai jika di USU proses belajar mengajarnya masih kurang efektif. “Saya mengambil 5 mata kuliah, semuanya tidak ada RPS (Rencana Pembelajaran Semester), sehingga mahasiswa tidak tahu gambaran akan belajar apa satu semester ke depannya. Ini membuat saya kesulitan memetakan, ini belajar apa, output-nya mau bagaimana, referensinya pakai apa. Di kampus asal saya, wajib ada RPS dan target pembelajaran yang wajib dituntaskan, sehingga pembelajaran lebih terstruktur dan sistematis,” katanya.

Lebih lanjur ia juga menyayangkan jadwal kuliah yang tidak beraturan. Bahkan di awal masuk Dian mengaku kaget karena ada kelas jam setengah 9 malam.

“Di kampus saya, jadwal setiap hari itu sama semua, tidak boleh ada yang lewat jam 4 dan tidak ada yang mengganggu jam makan siang,” ucap Dian.

Di samping sistem perkuliahan yang Dian rasa tidak efektif, ia berharap jika dirinya dapat mengambil kesan yang baik dalam proses belajarnya tentang budaya-budaya yang ada di Sumatra Utara.

“Semoga kehidupan saya di sini membuat saya menjadi pribadi yang lebih adaptif dan terbuka terhadap perbedaan budaya. Lebih aware lagi terhadap karakter orang-orang yang berbeda sehingga tidak bersikap judgemental,” pungkas Dian.

Baca Juga: Insiden 7 September, Guru Jaga 324 Siswa saat Bentrok Relokasi Rempang

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya