Cerita Juminem, Pernah Hirup Aroma Kejayaan Tembakau Deli Era 1980-an

Juminem bekerja di pabrik tembakau deli lebih dari 20 tahun

Desa Saentis merupakan salah satu wilayah yang tersohor akan nilai sejarahnya di kawasan Deli Serdang. Jika berbicara tentang desa Saentis, maka yang langsung muncul di benak banyak orang adalah kuli kontrak dan sentralnya Tembakau Deli.

Desa yang secara administratif berada di Kecamatan Percut Sei Tuan ini memang terkenal sebagai tempat pengeraman tembakau deli yang dulu dibangun oleh Hindia Belanda tahun 1920.

Maka tak heran jika saat kita masuk ke dalam desa ini maka disambut dengan tugu selamat datang besar bertuliskan “Welcome to Saentis Anno 1926”.

Berdasarkan cerita masyarakat setempat, secara toponimi “Saentis” berasal dari kata “Sains” dan “tis”.

“Sains” dapat dimaknai sebagai ilmu pengetahuan tentang alam. Sementara “tis” memiliki makna sebagai sebutan untuk orang yang pintar tentang urusan pertanian dan teknologi yang datang dari Belanda.

1. Juminem rasakan aroma kejayaan tembakau Deli di Saentis

Cerita Juminem, Pernah Hirup Aroma Kejayaan Tembakau Deli Era 1980-anTampak samping bekas peninggalan gudang tembakau deli yang telah disulap menjadi rumah (IDN Times/Eko Agus Herianto)

IDN Times bertemua seorang mantan pekerja di perusahaan tembakau di Saentis pada tahun 1980-an belum lama ini. Namanya Juminem, perempuan yang lahir tahun 1951 dan kini telah memiliki cicit.

“Saya 20 tahun lebih bekerja sebagai karyawan perusahaan tembakau, tepatnya tukang terima tembakau sejak 1980 sampai tahun 2003. Saya kurang ingat kapan perusahannya benar-benar berhenti beroperasi di Saentis ini. Tahun 2003 saya sudah di PHK dan sejak 2003 sudah mulai banyak pengurangan pegawai,” kata Juminem.

Ia juga mengatakan jika pada masa jayanya, produksi tembakau di Saentis bisa 3 bulan sekali mengalami panen.

“Besar sekali dulu ladang tembakaunya. Bahkan untuk nyemprot pupuk aja menggunakan pesawat capung yang terbang rendah. Bahkan pesawat capungnya beberapa kali pernah jatuh. 3 bulan dulu sudah bisa panen. Di sini panennya tidak langsung bersamaan seluruh wilayah tanamnya. Ada jadwal dan tahapnya. seperti dalam satu (kongsi). Kongsi itu merupakan satu proyek atau satu mandoran yang bisa terdiri dari 30 orang, mandor, staff, dan krani,” katanya.

Juminem mengungkap jika pada masa itu yang bekerja di sini baik sebagai petani tembakau, pemilah, krani, sampai mandor mayoritas adalah orang Jawa. Banyak yang menyebut mereka sebagai kuli kontrak.

“Pekerjanya rata-rata orang Jawa, biasa disebut kuli kontrak. Orang tua saya dan nenek saya juga kerja di sini dulu sebagai petani tembakau. Orang tua dulu nanam tembakau cuma pakai sorongan. Dulu juga ada teknik menanamnya. Jadi, setelah panen, ditanami tanaman kucingan dulu biar tanahnya sejuk, baru boleh ditanam tembakau lagi. Tembakaunya dulu cantik-cantik, tapi lama-kelamaan menyusut jadi kecil. Dan tembakau sekarang mutlak telah ditinggalkan. Dulu saya merasakan jayanya saat zaman Soeharto,” ungkapnya.

2. Juminem akui zaman kolonialisme lebih menderita

Cerita Juminem, Pernah Hirup Aroma Kejayaan Tembakau Deli Era 1980-anJuminem, Petani tembakau tahun 1980-2003 (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Kepada IDN Times Juminem bercerita jika masa setelah Indonesia merdeka lebih enak daripada masa kolonialisme baik Belanda maupun Jepang. Ia menceritakan pengalaman orang tuanya dan kakeknya yang sering dijarah secara paksa.

“Dulu kakek saya nanam tembakau sama Belanda dan NIPPON dimintai. Mereka ngambil paksa. Bahkan kita gak kebagian atau hanya kebagian sedikit. Dulu kakek saya juga kerjanya sebagai petani tembakau. Gak diperbolehkan kerja memakai baju atau kain. Bahkan celananya juga hanya menggunakan goni. Sedih dengarnya,” ungkap Juminem.

Juminem kembali bercerita, meskipun saat Indonesia sudah merdeka upah mereka tak begitu banyak, tapi Juminem merasa senang-senang saja. “Tahun 80-an, gaji sebulan dulu dikit banget. Tapi nenek merasa seneng aja. Zaman dulu kerja kebun, ya, susah. Gak punya banyak duit. Nyangoni anak aja susah untuk ngasih dia jajan. Pokoknya berbedalah nasib orang kebun dulu sama sekarang. Tapi alhamdulillahnya kami juga dikasih jatah tanah dan rumah.”

“Tahun 80-an samiku sering pergi jam 6 nyangkul. Sorenya menanam. Capek memang. Saya juga dulu jam 5 bantuin ngutip tembakau, pulang kerja ikut nanam tembakau. Kalau gak dibantui, kasihan suami,” kata perempuan tua yang memiliki 3 anak ini.

3. Banyak bekas peninggalan perusahaan Tembakau Deli di Saentis

Cerita Juminem, Pernah Hirup Aroma Kejayaan Tembakau Deli Era 1980-anRumah kebun milik petani tembakau deli (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Juminem menerangkan jika saat ini di tahun 2023, bekas-bekas sejarah perusahaan tembakau di Saentis telah rusak. Beberapa sengaja dirusakkan dan dibangun rumah-rumah warga. Hanya ada satu gudang tembakau yang sampai saat ini bangunannya masih utuh.

“Itu di depan rumah saya ada bekas gudang tembakau. Dulu gudang itu digunakan untuk menyimpan tembakau-tembakau yang sudah dipanen. Gudangnya luas. Dulu berjejer banyak membentuk latar ‘U’. Namun sekarang yang tersisa tinggal satu. Itu pun telah disulap menjadi hunian,” ucap perempuan kelahiran tahun 1951 ini.

“Jadi, para pegawai dulu punya rumah dinasnya. Kayak misalnya pimpinannya punya rumah bercorak Belanda yang cantik dan besar, para krani dapat rumah dinas yang sedikit lebih kecil dari pimpinan, sementara kami pekerja dapat rumah kebun saja. Itu sudah syukur kali. Dulu ada yang tidak kebagian jatah rumah kebun. Sejak perusahaannya non-aktif, gudang-gudang dihadiahkan kepada yang tidak dapat jatah rumah. Terus, yang tinggal di gudang itu saat ini ada 6 kepala keluarga,” ujar Juminem.

Lebih lanjut Juminem mengakui jika dulu tembakau besar-besar dan kualitas jempolan. Ia membeberkan jika tembakau-tembakau itu sampai banyak diekspor ke Bremen, Jerman.

“Dulu tembakaunya besar-besar. Gak seperti sekarang. Sekarang payah. Nandur pun payah. Bangsal juga sudah pada habis. Dulu yang namanya bangsal ada yang jaga selama ada tembakaunya di situ. Biasanya yang mau jaga itu orang tua. Dulu enak. Gak kayak sekarang. Gak marak pencurian. Tembakaunya juga dulu cantik-cantik. Sampai banyak diekspor ke Bremen, Jerman,” tukasnya.

Baca Juga: Viral Video Seorang Bapak Antar Pulang 3 Murid SD yang Jalan Kaki

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya