Bawa Bukti Perusakan Lingkungan, Masyarakat Adat Toba Geruduk DPRD

Konsisten mengawal penutupan PT. Toba Pulp Lestari

Medan, IDN Times - Gabungan masyarakat adat di wilayah Danau Toba didampingi oleh Bakumsu, PW Aman Tano Batak, Aliansi Gerak Tutup TPL, dan beragam komunitas lain beramai-ramai sambangi DPRD Sumatra Utara (Sumut), Kamis (18/04/2024). Ratusan massa aksi melayangkan protes terkait status PT.Toba Pulp Lestari (TPL) yang mereka nilai sebagai perusahaan yang dapat merusak lingkungan di kawasan Danau Toba.

Gelombang protes dilayangkan beriringan dengan keresahan mereka atas diusirnya masyarakat adat dari wilayahnya sendiri. Mereka ingin DPRD Sumut mewadahi aspirasi yang sudah mereka gaungkan sejak lama terkait kondisi lingkungan hidup dan masyarakat adat.

1. Keluhkan kepada wakil rakyat soal perambahan hutan yang dilakukan PT. TPL

Bawa Bukti Perusakan Lingkungan, Masyarakat Adat Toba Geruduk DPRDMassa aksi minta PT. Toba Pulp Lestari dicabut izin konsesinya (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Ratusan massa aksi yang terdiri dari beberapa kelompok masyarakat di wilayah Simalungun ini bertolak sejak Kamis dini hari menggunakan bus. Selain meminta DPRD Sumut untuk memberi perhatian terhadap masyarakat adat, mereka juga ingin kasus kerusakan lingkungan menjadi perhatian serius.

Bagi masyarakat adat, kehadiran PT. TPL di Tanah Batak selama 30 tahun lebih telah merampas hak-hak mereka, karena hutan adat yang selama ini menjadi sumber hidup telah berganti menjadi pohon-pohon ekaliptus yang tidak memberikan manfaat. Setelah tanah adat mereka dirampas, hutan ditebang, dan masyarakat mengalami langsung pencemaran sumber air bersih dan bencana alam lain yang menghantui.

"Di wilayah kita, PT. TPL tak hanya menghancurkan secara materi, tapi juga merusak hutan. Hutan tempat kita mencari hidup, kita harus tegas menyuarakan ini karena perambahan hutan nyata terjadi di Tano Batak. Akhir 2023 kita lihat situasi dramatis di Danau Toba, banyak bencana yang terjadi akibat perambahan hutan salah satunya yang dilakukan PT. TPL," ujar Cavin, sekretaris Aliansi Gerak Tutup TPL.

Sebagai reaksi dari peristiwa yang menimpa masyarakat adat, setidaknya ada 10 tuntutan yang mereka sampaikan kepada DPRD Sumut. Salah satunya adalah mereka ingin Pemerintah segera mencabut izin PT. TPL, membebaskan Sorbatua Siallagan tanpa syarat, menghentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang berjuang atas haknya, hingga menuntut segera disahkannya RUU masyarakat adat.

"DPRD itu wakil rakyat, yang saat kampanye mengemis suara dari kami masyarakat adat. Kami ingin mereka menampung aspirasi kami terhadap kejahatan lingkungan," lanjutnya.

Baca Juga: Jalan Terjal Masyarakat Adat Kawasan Toba Lawan PT Toba Pulp Lestari

2. Aksi ini diklaim sebagai imbas pemberian izin konsesi kepada PT. TPL

Bawa Bukti Perusakan Lingkungan, Masyarakat Adat Toba Geruduk DPRDMassa aksi melakukan long march untuk menarik atensi masyarakat (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Massa aksi menusuk masuk kantor DPRD Sumut. Ini merupakan aksi keempat mereka setelah Sorbatua ditangkap oleh Polda dan hingga hari ini mereka menuntut pembebasan ketua adat tersebut yang berupaya membela haknya, meskipun status Sorbatua telah ditangguhkan.

"Masyarakat adat di tanah Batak telah turun temurun hidup di wilayah tanah adat mereka dengan memegang teguh nilai-nilai dan aturan adat. Mereka ini menjaga alam dan lingkungan dengan bijaksana, kehidupannya sangat tergantung dengan alam. Nah pada situasi krisis iklim saat ini mereka telah terbukti sebagai pelindung alam. Oleh karena itu masyarakat adat seharusnya mendapat dukungan atas upaya yang mereka lakukan untuk perlindungan bumi kita yang semakin hari semakin terpuruk," kata Ketua Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL, Anggiat Sinaga.

Di depan awak media dan massa aksi dirinya mengatakan jika dalam perjuangan masyarakat adat, mereka kerap dihadapkan dengan situasi yang serius, karena adat sebagai identitas budaya telah dirampas secara paksa oleh perusahaan-perusahaan besar seperti PT. TPL.

"Ini adalah imbas dari pemberian izin pemerintah yang tidak pernah melibatkan masyarakat adat sebagai pemangku wilayah adat. Sehingga masyarakat adat mengalami diskriminasi, kriminalisasi, dan terputusnya akses mereka terhadap wilayah adat sebagai ruang hidup," tambahnya.

3. 30 tahun lebih PT. TPL berdiri masyarakat adat klaim tak dapat manfaat, alih-alih kerusakan

Bawa Bukti Perusakan Lingkungan, Masyarakat Adat Toba Geruduk DPRDRatusan masyarakat adat wilayah Danau Toba beramai-ramai geruduk kantor DPRD Sumut, Kamis 18/04/2024 (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Hadirnya PT. TPL bagi masyarakat tak memberikan dampak yang baik. Sebelum Lebaran Idul Fitri misalnya, mereka telah menghelat aksi protes di Parapat dan menunjukkan jika isu ini menjadi hal yang sangat besar urgensinya.

"PT. TPL sampai hari ini sejak 30 tahunan lebih tidak pernah berdampak apa-apa dalam hal kebaikan. Namun justru menimbulkan konflik horizontal, perampasan, kriminalisasi, longsor di mana-mana, hingga bencana alam lain," ujar Anggiat.

Dirinya yang setia mengawal kasus ini dari awal menganggap jika konflik yang terjadi di Danau Toba tidak pernah dilihat secara utuh oleh pemangku kebijakan. Anggiat mengklaim jika masyarakat adat di sana justru tinggal sedikit lahannya, berbanding terbalik dengan wilayah PT. TPL yang luasnya bahkan sampai ribuan hektar.

"Hari ini kami ingatkan para pejabat sebagai sebuah masukan agar perjuangan ini tidak terhenti sampai di sini saja. Poin terbesar dari tuntutan hari ini adalah tutup PT. TPL, hanya itu saja. Tapi kan dari kehadiran PT. TPL ini banyak," pungkasnya.

Baca Juga: Duta Inspirasi Indonesia, Wadah Milenial Mengabdi ke Masyarakat

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya