Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Sudah Ada Sejak Tahun 1661, Ini Kisah Hoaks Pertama di Dunia

Ilustrasi hoaks (IDN Times/Sukma Shakti)

Medan, IDN Times - Rangkaian Webinar Literasi Digital di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara kembali bergulir dengan tajuk “Bangun Masyarakat Digital Berbudaya Indonesia” beberapa waktu lalu.

Pada webinar yang menyasar target segmen mahasiswa dan masyarakat umum, dihadiri oleh sekitar 292 peserta daring ini, hadir dan memberikan materinya secara virtual, para narasumber yang berkompeten dalam bidangnya, yakni Gushevinalti, Dosen Ilmu Komunikasi dan Penggiat Literasi Digital, Dr. Lintang Ratri Rahmiaji, Dosen Ilmu Komunikasi Undip.

Lalu ada Muhammad Rahmat Hidayat, Dosen Universitas Teuku Umar dan Pegiat Komunitas Kitabaca, serta Simon Patar Rizki Manalu, Dosen Universitas Tjut Nyak Dhien

Apa saja yang dibahas? Yuk simak:

1. Ini kisah hoaks pertama di dunia

ilustrasi hoax (IDN Times/Sukma Shakti)

Simon Patar Rizki Manalu, menuturkan sejarah hoaks pertama yang berhasil dicatat sejarah ditemui pada tahun 1661. Namun istilah hoaks muncul pertama kali sekitar tahun 1808 dan merupakan istilah dari bahasa inggris.

Saat itu, di tahun 1661, seorang tuan tanah bernama John Mompesson mengatakan dirinya selalu mendengar suara drum di sekitar rumahnya.

Hal ini bermula setelah Mompesson memenangkan kasus di pengadilan melawan seorang drummer band bernama William Drury dan menuduh Drudry yang menyebabkan adanya suara drum di sekitar rumahnya.

Seorang penulis bernama Glanvill mendengar kisah Mompesson dan mendatangi rumahnya kemudian mengaku kalau ia juga mendengar suara tersebut.

Glanvill lalu menulis cerita tersebut menjadi tiga buah buku dan mengatakan kalau kisah yang ditulisnya adalah kisah nyata. Cerita yang ditulis Glanvill ini berhasil menarik perhatian banyak orang yang percaya, nih.

Namun di buku ketiga akhirnya pak Glanvill mengakui kalau cerita yang ditulisnya adalah cerita bohong.

Menurut Simon, yang dimaksud dengan hoaks adalah informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi sebenarnya, informasi yang sengaja disesatkan tetapi dijual sebagai kebenaran, pemutarbalikan fakta menggunakan informasi, tindakan mengaburkan informasi yang sebenarnya, informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi seolah-olah benar dan informasi yang tidak berdasarkan kenyataan tetapi tersaji seolah-olah fakta yang sesuai kenyataan.

2. Perlu berpikir kritis dalam bermedia sosial

mashable.com

Dr. Gushevinalti, menyampaikan pengguna memiliki kuasa dan peran penting membangun sistem kewargaan digital melalui kompetensi teknis dan berpikir kritis dalam bermedia sosial.

Sedangkan Dr. Lintang Ratri Rahmiaji, mengatakan fear of missing out atau fomo, yang merupakan ketakutan seseorang yang merasa tertinggal dari yang lain atau ketertinggalan hal-hal seru.

Mereka akan risau karena belum membuka sosial media seperti Instagram dan lainnya.

Lalu bagaimana cara mengatur pola desain yang harus diterapkan dalam memberikan pemahaman literasi digital pada masyarakat umum?

Lintang menjelaskan dapat dimulai dengan memberikan penjelasan mengenai penggunaan internet yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan banyak orang yang dimana komentar yang diberikan dapat berupa komentar positif maupun negatif.

"Membekali mereka mengenai kesiapan menghadapi dunia luar tentang cyber bullying," jelasnya.

3. Ada empat tingkat literasi Indonesia

unsplash

Muhammad Rahmat Hidayat, menjelaskan indikator tingkat literasi saat ini mengalami perubahan. Yang dimana terdapat empat tingkat literasi Indonesia.

Pertama, kemampuan seseorang mengakses ilmu pengetahuan melalui buku. Kedua, kemampuan memahami apa yang tersirat dari yang tersurat.

“Ketiga, kemampuan mengungkapkan ide atau gagasan baru, kreativitas, inovasi dan menganalisis informasi dan menulis buku. Yang terakhir, kemampuan menciptakan barang atau jasa yang bermutu yang bisa dipakai dalam kompetisi global,” ungkapnya.

Afini Putri Rahmatika selaku Key Opinion Leader menyampaikan jangan mudah percaya dengan berita yang beredar. Tidak semua orang bisa kita percaya, tidak semua hal dapat kita bagikan kepada orang lain.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us