Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Rio Capella: KPK Jadi Lembaga Pesanan untuk Menetapkan Koruptor

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers dan sejumlah tersangka kasus OTT Bupati Kutai Timur di gedung KPK Jakarta, Jumat (3/7/2020) malam. ANTARA/HO-KPK/aa. (humas KPK)

Medan, IDN Times - Kasus suap terhadap puluhan anggota DPRD Sumatra Utara sudah bergulir sejak 2015 lalu dan hingga kini belum semua penerima suap diadili. Total sudah ada 64 yang dijadikan tersangka, sebagian sudah ada yang selesai menjalani hukuman, dan ada juga yang baru divonis beberapa bulan lalu.

Namun kasus ini menyisakan banyak kejanggalan. Salah satu politisi nasional yang terimbas dari kasus ini adalah Politisi Nasdem, Patrice Rio Capella.

Ia menilai dari kasus ini, sangat kelihatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pesanan untuk menetapkan tersangka korupsi.

"Jadi proses awalnya (KPK) mencari orangnya dulu yang tidak disukai, dicari kesalahannya, mencari kesalahan. Makanya KPK cari jalan pintas dengan menyadap, kalau penyelidikan butuh waktu yang lama," ujar Patrice Rio Capella saat menjadi pembicara dalam webinar yang diselenggarakan Lazzaro Law Firm, Kamis (10/6/2021).

Seperti apa penjelasannya, yuk simak:

1. Rio dituduh KPK menghentikan kasus Gatot

Patrice Rio Capella saat menjadi pembicara dalam webinar yang diselenggarakan Lazzaro Law Firm, Kamis (10/6/2021).

Patrice Rio mengakui sepanjang kasus berjalan ia melihat banyak cacat hukum yang terjadi dan dilakukan KPK. Namun menurutnya yang lebih menarik adalah hal di luar hukum.

"Pertama, bahwa dalam setiap rezim pasti ada label yang dipakai untum mendown grade lawan politik atau orang yang tidak disukai dalam lembaga. Di zaman orde lama, dengan meletakkan labeling tentara revolusioner. Zaman orde baru dengan melabeli seseorang dengan tidak anti PKI, tidak bersih diri, dll. Saat ini setelah reformasi, labeling paling mudah dengan memasang label koruptor. Maka patut diduga menyadap itu (yang dilakukan KPK) adalah pesanan. Karena menyadap orang tanpa ada pidananya itu seperti fasis, tidak ada privasi," ungkapnya.

Kemudian dilakukan operasi tangkap tangan untuk dipermalukan dan melekatkan label koruptor pada seseorang. Hal ini bukan tanpa alasan, menurut RIo ia juga pernah mengalaminya sendiri. Ia dituduh KPK menghentikan kasus Gatot, kemudian terlibat menghentikan proses hukum Evi Diana yang hingga kini belum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

"Kemudian terjadilah OTT Gatot. Saya juga diperiksa ditanyakan terkait suap Gatot. Jadi proses awalnya (KPK) mencari orangnya dulu yang tidak disukai, dicari kesalahannya, mencari kesalahan. Makanya KPK cari jalan pintas dengan menyadap, kalau penyelidikan butuh waktu yang lama. Jadi menurut saya kasus DPRD Sumut itu menjadi sebuah kapitalisasi politik yang dilakukan Novel Baswedan dkk. Ketika sepi pemberitaan OTT sepi, maka Sumut diambil dua, kemudian kalau sepi lagi berita, diambil lagi dua, jadi kelihatan KPK bekerja. Namun aneh kasus Evi Diana kok malah dihentikan," jelasnya.

2. OTT sengaja dilakukan untuk mempermalukan para politisi

IDN Times/Gregorius Aryodamar P

Menurutnya OTT sengaja dilakukan untuk mempermalukan para politisi, termasuk dirinya. Iapun merasa aneh mengapa dirinya disidang terlebih dahulu daripada Eks Gubernur Sumut Gatot Puo Nugroho dan tersangka lain.

Menurutnya, tindak pidana korupsi dari kacamata KPK ada 33 poin, namun anehnya tidak disosialisasikan. Sehingga orang tidak tahu korupsi versi KPK itu apa.

"Saya bukan kena pasal 12 tapi pasal 11. Jadi saya dikenakan hukuman karena isi pikiran orang lain dituduhkan ke saya," tegasnya.

3. Andi Hamzah: Kenapa hanya penerima suap saja yang menjadi tersangka?

Webinar yang diselenggarakan Lazzaro Law Firm, Kamis (10/6/2021).

Guru Besar dalam ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta, Andi Hamzah yang juga jadi pembicara dalam acara ini mengatakan banyak yang janggal dari keputusan yang menyatakan 64 anggota DPRD Sumut menjadi tersangka disebabkan menerima suap.

"Saya bilang janggal, karena kenapa hanya penerima suap saja yang menjadi tersangka? yang memberi toh masih berkeliaran di luar," katanya.

Sehingga Andi Hamzah menyarankan KPK untuk tegas dalam menindak kasus-kasus suap. Sebab, seringkali Pasal-pasal yang diterapkan untuk menjerat pemberi dan penerima suap kurang tepat.

"Secara kasat mata, KPK kelihatan ingin memberikan efek jera secara maksimal kepada penerima suap. Tapi, dalam praktiknya KPK cenderung kurang memperhatikan detail pasal sehingga banyak kasus suap seperti lepas begitu saja. Kepada pemberi suap, KPK menerapkan pasal yang ringan, sedangkan penerimanya diganjar pasal berat," ujarnya.

4. Pemilik uang, yang membagikan, yang mengumpulkan, dan otak pelaku tidak jadi tersangka

Rinto Maha selaku kuasa hukum sejumlah mantan anggota DPRD yang terjerat hukum kasus suap Mantan Gubernur Sumut Gatot Pujonugroho (Dok. IDN Times)

Sementara itu, Advokat, Rinto Maha mengatakan ada beberapa kejanggalan dalam kasus suap tersebut, namun yang paling mencolok dan tidak logis adanya barang bukti yang hanya di ceklis tanpa paraf saat menerima suap.

"Saleh Bangun, Ajib Shah, Chaidir Ritonga CS dijadikan tersangka tanggal 3 November 2015 yang didakwa semua menerima suap sesuai catatan Ali Hafiah, Anehnya catatan itu bukan hanya di ceklis tanpa paraf, namun diantarkan Randiman dan Alinafiah setelah penetapan tersangka tanggal 5 November 2015 ke kantor penyidik dan itu menjadi bukti, dan diterima," ujarnya.

Inilah rekayasa paling tidak masuk akal tapi bisa memasukkan 64 anggota DPRD Sumut menjadi tersangka, yang punya uang, yang membagikan, yang mengumpulkan, yang menyuruh dan yang menjadi otak dari semua ini, semua tidak tersangka dan masih bebas hingga sekarang," pungkasnya.

Selain Andi Hamzah dan Rinto Maha, pembicara lainnya yakni Advokat, Patrice Rio Capella dan pakar hukum pidana dari UKI Jakarta, Mompang Panggabean.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Arifin Al Alamudi
EditorArifin Al Alamudi
Follow Us