Mengenal Tradisi Marpangir, Mandi Rempah Jelang Ramadan

Di berbagai daerah di Sumut punya tradisi Marpangir

Sehari jelang Ramadan, masyarakat di Indonesia khususnya di Sumatera Utara biasanya melakukan tradisi mandi kembang yang biasa disebut Marpangir.

Marpangir adalah kegiatan mandi dengan cara tradisional dengan tidak menggunakan wewangian dari sabun mandi atau sabun cair. Melainkan dari paket dedaunan dan rempah yang disebut Pangir.
 
Paket Pangir terdiri dari daun pandan, daun serai, bunga mawar, kenanga, jeruk purut, daun limau, akar wangi, dan bunga pinang. Jika sedang mudah ditemukan, terkadang ada juga yang menambahkannya dengan akar kautsar dan embelu.

Bahkan ada yang menyebutkan yang terpenting ada tujuh macam dedaunan dan rempah di dalamnya. Bahan bakunya pun banyak yang menjual dengan harga yang sangat terjangkau. Pasar-pasar tradisional banyak menjual ini dan hanya ada saat menjelang bulan Ramadan.

Apa sih makna marpangir dan bagaimana sejarahnya? Yuk simak:

Baca Juga: Segarnya Mandi Limau, Tradisi Sambut Puasa di Tapanuli Tengah

1. Asal mula tradisi marpangir

Mengenal Tradisi Marpangir, Mandi Rempah Jelang RamadanErpangir Ku Lau (kebudayaan.kemdikbud.go.id)

Kata dasar ”marpangir” dan ”erpangir” adalah “pangir”, yaitu kata benda dari ramuan yang digunakan untuk mandi keramas. Ramuan pangir itu memiliki variasi antar satu tempat dengan tempat lain, dengan unsur-unsur seperti akar rusa, serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut serta batang kapellon yang mengandung unsur wewangian.

Dengan demikian, balimau, balimau kasai, dan marpangir memiliki makna dan tujuan yang sama, yaitu mandi menjelang masuknya bulan Ramadhan serta ingin memperoleh keberkahan dari Tuhan yang Maha Esa.

Secara harfiah, marpangir merupakan tradisi mandi dan keramas (mencuci rambut) yang mempunyai makna pembersihan diri secara fisik dan batiniah, yang meskipun dilaksanakan berkaitan dengan momen keislaman, namun tidak ditemukan dalam ajaran para nabi.

Ritual-ritual ini dianggap sebagai sisa-sisa dari kepercayaan Hindu, tepatnya tradisi yang dilaksanakan untuk menyucikan diri di Sungai Gangga, India. Akan tetapi dalam kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara, serta etnis lain yang menjalankannya, tradisi ini tidak dirujuk lagi sebagai tradisi yang berasal dari agama Hindu.

Ini merupakan tradisi Islam yang terdapat pada beberapa etnik lain, yang membuat mereka mendapatkan kepuasan batin dan kenyamanan saat akan memasuki serta menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Sebuah tradisi yang tidak akan mudah dihilangkan.

Tradisi “marpangir” (mandi pakai sejenis jeruk purut) sudah lama di kenal oleh masyarakat batak. Hingga kini di daerah Sipirok tradisi marpangir masih dilakukan bahkan merupakan suatu ritual yang di umum dilakukan menjelang bulan puasa. Biasanya umat muslim akan mandi marpangir bersama di batang aek. 

Belakangan tradisi ini mulai di tinggalkan oleh beberapa orang batak toba, tidak jelas mulai kapan tradisi ini menjadi tidak populer, namun diduga karena tradisi marpangir dianggap bagian dari hasipelebeguon (kegelapan/animisme).

Konon para datu (dukun) selalu mensyarakatkan setiap pasiennya untuk marpangir, tentunya unte pangir yang dipakai mandi tersebut sudah harus di bawa ke dukun yang bersangkutan dan di bacakan mantera-mantera. Kemungkinan besar itulah yang membuat sebagian besar orang batak toba (kristen) menganggap marpangir menjadi bagian dari hasipelebeguon.

2. Marpangir punya istilah berbeda-beda di tiap suku

Mengenal Tradisi Marpangir, Mandi Rempah Jelang RamadanGoogle.com/pangir

Pada beberapa kelompok etnik di Sumatera Utara, terdapat istilah-istilah yang berbeda untuk menyebut ritual mandi keramas ini. Pada etnik Melayu Deli dan Mandailing, ritual mandi ini disebut dengan istilah ”marpangir”.

Pada kelompok etnik Minang dan Aceh Singkil, kegiatan yang sama disebut dengan istilah ”balimau”, dan etnik Melayu di Riau menyebutnya dengan ”balimau kasai”. Istilah penyebutan ini memiliki substansi yang sama, yaitu suatu ritual pembersihan diri dan biasanya dilakukan sehari menjelang puasa.

Uniknya, pada etnis Karo yang bukan Islam, kegiatan marpangir (mandi keramas) juga ditemukan. Mereka menyebutnya dengan ”erpangir ku lau”, yang juga bermakna pembersihan diri.

Berbeda dari kelompok etnik Melayu, Mandailing dan Minang, marpangir bagi etnik Karo merupakan tradisi yang tidak ada hubungannya dengan penyambutan Ramadan.

Jika marpangir pada etnis Jawa, Melayu dan Mandailing merupakan ritual yang dilakukan secara individual, tetapi pada etnis Karo ritual ini dilakukan secara kolektif dan ada pemimpin ritualnya.

Bagi etnis Karo, selain bertujuan membersihkan diri, mereka juga dapat melaksanakan ritual ini dalam rangka pengobatan atau penyembuhan penyakit, minta rezeki, penghormatan terhadap leluhur, dan bahkan untuk memanjatkan rasa syukur terhadap Tuhan yang Maha Esa.

Etnik Jawa di Sumatera Utara pun tidak menggunakan istilah khusus untuk menyebut istilah marpangir, dan mereka mengikuti penggunaan istilah yang digunakan oleh etnik setempat seperti Mandailing, Melayu dan Karo.

Padahal di Jawa, daerah asal mereka, sesungguhnya terdapat istilah khusus untuk kegiatan ini, yaitu ”padusan”, yang berasal dari kata dasar ”adus” yang berarti “mandi”. Tetapi orang Jawa di Sumatera Utara tidak mempergunakan istilah padusan lagi.

Ritual yang berkaitan dengan penyambutan Ramadan ini dijalankan secara lengkap oleh kelompok orang Jawa di Sumatera Utara. 

3. Tradisi marpangir, ziarah, dan punggahan tak bisa dipisahkan

Mengenal Tradisi Marpangir, Mandi Rempah Jelang RamadanIlustrasi warga berdoa di makam keluarganya saat melakukan ziarah kubur di pemakaman. (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Selain marpangir, orang Jawa menjalankan ritual ziarah dan punggahan, yaitu upacara yang dijalankan secara kolektif dalam rangka mempersiapkan diri secara lahir dan batin. Ritual ziarah ke makam keluarga yang telah meninggal, marpangir dan punggahan merupakan upacara ritual yang biasanya dijalankan secara berurutan.

Dalam tradisi Jawa, ketiga aktivitas tersebut menjadi satu paket yang sudah menjadi tradisi turun temurun dalam rangka slametan (selamatan) yang berkaitan dengan tanggal-tanggal penting dalam kalender Islam.

Masih ada jenis slametan lain di luar penyambutan Ramadhan. Sebagaimana dikatakan Geertz dalam bukunya ”Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa” (1981), slametan yang dijalankan oleh orang Jawa terbagi dalam empat jenis, yaitu untuk menghormati sekitar krisis kehidupan (kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian), merayakan sesuatu yang ada hubungannya dengan hari-hari Islam, integrasi sosial desa, dan slametan yang diselenggarakan dalam waktu tidak tetap.

Ziarah, marpangir dan punggahan dijalankan berdasarkan kepercayaan orang Jawa yang meyakini adanya integrasi masyarakat dengan alam adikodrati yang diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap nenek moyang atau leluhur.

Meskipun demikian, Islam tetap menjadi kekuatan dominan dalam setiap kegiatan ritual dan kepercayaan orang Jawa di Sumatera Utara. Dalam literatur antropologi, hal itu disebut Woodward (2006:10) sebagai Islam Jawa (dikategorikan sebagai abangan dan priyayi).

Prinsip yang menjadi landasan bagi orang Jawa adalah untuk menciptakan keadaaan slamet, dengan menciptakan sesuatu yang selaras dengan alam. Untuk itu, selain berserah diri pada Tuhan yang Maha Esa secara Islam, juga diperlukan tindakan-tindakan khusus untuk mengintegrasikan manusia dengan alam adikodrati yang dalam hal ini adalah penghormatan terhadap nenek moyang. Marpangir, ziarah dan punggahan sesungguhnya tidak ditemukan dalam ajaran Islam.

Dalam antropologi, menurut Koentjaraningrat (985:243), upacara-upacara ritual, baik secara kolektif maupun individual, pelaksanaannya harus memenuhi komponen tempat upacara, saat upacara, alat-alat upacara, dan orang-orang yang melakukan upacara.

Benda dan alat-alat yang digunakan untuk melakukan marpangir tidak hanya dipilih karena menimbulkan aroma wewangian yang khas sehingga berdampak memberikan kesegaran bagi yang menggunakannya, tapi juga diyakini mengandung kekuatan penyucian diri.

Ramuan-ramuan “pangir” dipadu dengan cara direbus bersama, kemudian diguyurkan dari ujung kepala hingga ke seluruh tubuh. Unsur-unsur seperti serai wangi, bunga pinang, daun pandan, daun nilam, buah dan daun jeruk purut, serta batang kapellon dianggap dapat menginterpretasikan keharuman untuk doa yang dipanjatkan.

Jeruk purut dipercaya sebagai benda yang ampuh untuk membersihkan atau menjauhkan dari dari gangguan makhluk-makhluk jahat. Jenis akar rusa melambangkan keteguhan hati, pertahanan, dan kekuatan, seperti akar yang mengikat pohonnya. Jadi, setiap bahan pangir adalah simbol dari harapan atau doa. Dari pendekatan logika, bahan-bahan khusus tersebut memang memancarkan keharuman yang dapat menenteramkan, menyejukkan, dan memulikan jiwa.

Berkaitan dengan kegiatan puasa pada bulan Ramadhan, setiap jenis benda yang digunakan dalam kegiatan marpangir dianggap mempunyai kekuatan yang ampuh dan berfungsi untuk menyelamatkan penggunanya dari gangguan-gangguan hawa nafsu selama menjalankan ibadah puasa.

Gangguan-gangguan tersebut dipercaya selalu muncul dari makhluk-makhluk jahat yang tidak kelihatan, dan makhluk-makhluk ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam hidup mereka.

Hal ini mencerminkan nilai-nilai yang merepresentasikan suatu pengharapan keberkahan dan keselamatan bagi yang menggunakannya, serta terhindar dari marabahaya. Agar kegatan ini berjalan sukses, maka unsur pangir harus lengkap.

Baca Juga: Mengenal Ritual Erpangir Ku Lau dari Karo untuk Hindari Malapetaka

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya